Sistem
kewarisan dalam Islam tidak sama dengan sistem kewarisan hukum sekuler dan
kewarisan ala Tionghoa. Sistem kewarisan islam sangat memperhatikan aspek
maslahah dalam aplikasinya. Sehingga, dalam pandangan Islam, ahli waris yang
berhak mendapatkan harta warisan hanyalah orang-orang yang mempunyai hubungan
kekerabatan (nasab) baik dari golongan furû, ushûl dan hawâsyî,
perkawinan (al-mushâharah).[1]
Kewarisan
yang berlaku dalam hukum sekuler tidak memperhatikan hal tersebut, sehingga
anak angkat menjadi bagian ahli waris dari keluarga angkatnya. Begitu juga
dengan kewarisan ala (adat) Tionghoa yang menyisihkan keluarga yang mempunyai
hubungan nasab dari pada keluarga angkatnya. Bisa dipastikan, bahwa hal ini
akan melahirkan konflik dalam sebuah keluarga, karena adanya perselisihan dalam
penentuan ahli waris.
Islam
yang sangat memperhatikan maslahat, tetap memperhatikan hubungan nasab dan
perkawinan (al-mushârah) dalam menentukan ahli waris. Artinya, siapapun
yang tidak mempunyai hubungan darah, tidak bisa menjadi ahli waris. Sehingga
anak angkat yang tidak masuk dalam kategori nasab dan perkawinan, tidak berhak
mendapatkan tirkah dengan cara waris. Ia tidak mempunyai hubungan nasab dengan
orang tua angkatnya, dan tidak pula dilahirkan dari rahim orang tua angkatnya.
anak angkat tetap menjadi ahli waris dan mendapatkan warisan dari orang tua
kandungnya saja.
و أولو الأرحام بعضهم
أولى ببعض في كتب الله إن الله بكل شيئ عليم
“orang-orang
yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat di dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al-Anfal: 37)
Masuknya
anak angkat sebagai ahli waris akan melahirkan kecemburuan sosial di antara
keluarga (ahli waris), sebab ahli waris akan merasa dirugikan dengan kehadiran
anak angkat sebagai ahli waris. Dengan masuknya anak angkat sebagai ahli waris
juga akan mengurangi bagian harta warisan para ahli waris.[2]
Namun
mengingat hubungan yang sudah akrab antara anak angkat dengan orang tua angkatnya,
apalagi kalau yang diangkat itu diambil dari keluarga dekat sendiri, serta memperhatikan
jasa baiknya terhadap rumah tangga orang tua angkatnya, maka dia bisa
mendapatkan harta orang tua angkatnya dengan cara hibah pada waktu orang tua angkatnya belum
meninggal dan cara wasiat setelah orang tua angkatnya meninggal.
Pemberian
wasiat tidak tidak boleh melebihi sepertiga harta dihitung dari total harta
yang ditinggalkan oleh pemberi wasiat. Apabila orang tua angkatnya mempunyai
ahli waris, maka ia tidak boleh mewasiatkan lebih dari sepertiga. Jika wasiatnya
lebih dari sepertiga harta yang ditinggalkan, maka tidak boleh dilaksanakan
kecuali atas izin dari ahli waris.
Apabila
orang yang meninggal tidak meninggalkan wasiat, sedang hartanya banyak, maka
penguasa (ulil amri) berhak mengeluarkan kebijakan yang tidak perlu disandarakan
kepada ada atau tidaknya seseorang meninggalkan wasiat pada masa hidupnya,
tetapi kepada hukum atau undang-undang yang berlaku. Hal inilah yang disebut
dengan wasiat wajibah. Tujuan dari wasiat wajibah ini yaitu untuk membantu anak
angkat tetap bisa bertahan dan mampu menafkahi dirinya sendiri.
No comments:
Post a Comment