Pada
dasarnya, tabanni dan istilhaq bertujuan untuk memberikan pelayanan, perawatan,
pemeliharaan dan pendidikan dan kesejahteraan terhadap anak. Tabanni -yang dianjurkan
oleh Islam- adalah tabanni dalam arti luas,[1] tidak hanya terbatas pada
pengangkatan anak oleh sebuah keluarga yang tidak mempunyai keturunan, tetapi
kepentingan anak juga harus diperhatikan.
Begitu
pula dengan istilhaq yang lebih tepatnya untuk memberikan maslahat kepada
seorang anak, apa lagi anak yang ditelantarkan oleh orang tuanya. Pemberian
nafkah diharapkan mampu memberikan kesejahteraan dan maslahat kepada setiap
anak. Artinya, pemberian nafkah dapat membantu anak dalam memenuhi kebutuhan dan
kepentingannya hingga ia dewasa dan mampu mandiri.
Pemberian
nafkah terhadap anak angkat, sebenarnya bukan merupakan kewajiban ayah
angkatnya. Namun, tabanni yang dilakukan oleh sebuah keluarga menyebabkan
adanya peralihan tanggung jawab dalam memberikan nafkah dari orang tua kandung
kepada orang tua angkat, terlebih orang tua kandung tidak mampu secara ekonomi.
Adanya hubungan timbal balik ini karena anak angkat nantinya juga akan berjasa
dalam keluarga, yaitu sebagai pelengkap keluarga yang tidak mempunyai
keturunan.
Akibat
yuridis dari tabanni ini adalah terciptanya hubungan kasih sayang dan beralihnya
tanggung jawab dalam memberikan nafkah. Di samping itu, tabanni dalam arti
mendidik, dan memelihara anak yang terabaikan hak-haknya karena kefakiran dan
kemiskinan juga bisa dijadikan sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah
SWT.
Sedangkan
dalam pengukuhan anak, pemberian nafkah merupakan suatu kewajiban yang menjadi
konsekuensi yang ditimbulkan. Adanya hubungan ayah dan anak melahirkan adanya
hak dan kewajiban di antara keduanya, begitu juga sebaliknya. Orang tua (secara
syar’i) berkewajiban untuk memberikan pendidikan, pelayanan dan nafkah kepada
anaknya (mustalhaq lah). Ini juga sebagai usaha agar orang tuanya dapat
menghindarkan anak tersebut dari kefakiran dan kemiskinan.
Namun,
pengakuan secara tidak langsung yang masih membutuhkan pembenaran dari pihak
ketiga, tidak selamanya melahirkan kewajiban ayah terhadap anak. Apabila
pengakuan tersebut tidak dibenarkan oleh pihak ketiga, maka kewajiban untuk
memberikan nafkah berada di bawah tanggungan orang yang mengakuinya, misal
orang yang mengaku saudara. Hubungan hanya terbatas hubungan kekeluargaan saja,
seperti memberi nafkah, memelihara, dan memberikan pendidikan secukupnya tanpa
adanya hubungan nasab dengan pihak ketiga.
[1] Tabanni dalam Islam konteksnya lebih tepat
disebut anak asuk yang diperluas. Rifyal Ka’bah menyebutnya dengan istilah
hadhanah yang diperluas, anak asuh yang diperluas, karena dalam pengangkatan
anak harus melalui proses penetapan pengadilan, sedangkan pengasuhan anak tidak
memerlukan suatu proses penetapan pengadilan.
No comments:
Post a Comment