Tabanni
atau pengangkatan anak sudah dikenal dan berkembang sebelum kerasulan Nabi
Muhammad SAW, khususnya tabanni dalam pengertian kedua. Tradisi pengangkatan
anak sebenarnya jauh sebelum Islam datang telah dikenal oleh manusia, seperti
pada bangsa Yunani, Romawi, India, Bangsa Arab sebelum Islam (jahiliah). Imam
al-Qurtubi (ahli tafsir klasik) menyatakan bahwa sebelum kenabian, Rasulullah
SAW pernah mengangkat Zaid bin Haritsah menjadi anaknya, bahkan beliau tidak
lagi memanggilnya berdasarkan nama ayahnya (Haritsah), tetapi ditukar oleh
Rasulullah menjadi nama Zaid bin Muhammad. Rasulullah juga mengumumkan pengangkatan
Zaid sebagai anak angkatnya di depan kaum Quraisy dan menyatakan bahwa dirinya
dan Zaid saling mewarisi.[1]
Ibnu
Umar menceritakan dalam sebuah riwayat: “kami tidak memanggil Zaid bin Haritsah
kecuali dengan nama Zaid bin Muhammad” (HR. Abu Daud). Hal ini terus berlanjut
sampai beliau di angkat menjadi Rasul. Setelah Nabi diangkat sebagai Rasul,
maka turunlah firman Allah surah al-Ahzab (33) ayat 4-5 yang berbunyi:
و
ما جعل أدعيائكم أبنائكم ذلكم قولكم بأفواهكم و الله يقول الحق و هو يهدي السبيل
ادعوا لأبائهم هو أقسط عند الله فإن لم تعلموا ءابآءهم فإخوانكم في الدين و
مواليكم و ليس عليكم جناح فيما أخطأتم به و لكن ما تعمدت قلوبكم و كان الله غفورا
رحيما
“...
dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri)
yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan
yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka
(anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang
lebih adil disisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka,
maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama atau maula-maulamu
(sahabat-sahabatmu). Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf
kepadanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu...”
Berdasarkan
kedua ayat ini, jumhur ulama menyatakan bahwa hubungan antara ayah/ibu angkat
dan anak angkatnya tidak lebih dari hubungan kasih sayang. Hubungan ayah/ibu
angkat dan akan angkat tidak memberikan akibat hukum yang berkaitan dengan
warisan, nasab, dan tidak saling mengharamkan perkawinan. Dengan demikian,
pe-nasab-an Zaid bin Haritsah menjadi
Zaid bin Muhammad dibantah oleh ayat tersebut.[2]
Untuk
memperkuat bantahan terhadap anggapan bahwa status anak angkat sama dengan anak
kandung, Allah SWT memerintahkan kepada Rasulullah SAW untuk menikahi Zainab
binti Jahsy, seorang bekas istri dari Zaid bin Haritsah. Hal ini tertuang dalam
surah al-Ahzab ayat 37 yang berbunyi:
فلما
قضى زيد منها وطرا زوّجنكها لكي لا يكون على المؤمنين حرج في أزواج أدعيائهم اذا
قضوا منهن وطرا و كان أمر الله مفعولا
“......
Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap Istrinya (menceraikannya),
Kami kawinkan kamu dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi orang mukmin
untuk (mengawini) isteri-isteri anak-anak angkat mereka, apabila anak-anak
angkat itu telah menyelesaikan keperluannya daripada isterinya dan adalah
ketetapan Allah itu pasti terjadi.”[3]
Dengan
demikian, ayat tersebut dapat dijadikan sebagai justifikasi kebolehan menikahi
bekas istri anak angkat karena al-Tabannî tidak mempengaruhi kemahraman antara anak angkat dengan orang tua
angkatnya, sehingga kedua belah pihak tidak ada larangan untk saling mengawini
dan saling mewarisi.
Tabanni
(pengangkatan anak) di negara-negara Barat, berkembang setelah berakhirnya
Perang Dunia II. Saat itu banyak anak-anak yang kehilangan orang tua kandungnya
karena gugur dalam medan pertempuran, disamping banyak pula anak-anak yang
lahir dari hubungan yang tidak sah. Karena sistem hukum Barat (Belanda) berlaku
di Indonesia, tabanni (pengangkatan anak) di Indonesia pada awalnya dijalankan
berdasarkan Staatsblad (Lembaran Negara) Tahun 1917 No. 129, dalam ketentuan
ini tabanni tidak hanya terbatas pada anak yang jelas asal-usulnya, tetapi juga
berlaku kepada anak yang lahir dari hubungan tidak sah.[4]
Tata
cara pengangkatan anak menurut ulama fiqh, adalah dengan dasar ingin mendidik
dan membantu orang tua kandungnya agar anak tersebut bisa mandiri di masa
mendatang, dan tidak dikenal yang namanya perpindahan nasab dari ayah kandung
ke ayah angkatnya. Ia tetap bukan mahram dari orang tua angkatnya sehingga
tidak ada larangan kawin dan saling mewarisi.
Apabila
pengangkatan anak diiringi dengan perpindahan nasab anak dari ayah kandung ke
ayah angkatnya, maka konsekuensinya, antara dirinya dengan ayah angkatnya ada
larangan kawin, sehingga apabila anak tersebut ingin menikah maka yang menjadi
wali nikahnya adalah anak angkatnya.[5]
Dilihat
dari aspek perlindungan dan kepentingan anak, lembaga pengangkatan anak
(tabanni) memiliki konsepsi yang sama dengan pengangkatan anak (adopsi) yang
dikenal dalam hukum sekuler. Perbedaannya terletak pada aspek mempersamakan
anak angkat dengan anak sendiri, menjadikan anak angkat menjadi anak sendiri,
memberikan hak waris yang sama dengan hak waris anak kandung.[6]
Pengangkatan
anak dalam konsep hukum adat Tionghoa yang menyisihkan hak waris dan kedudukan
orang tua kandung dan saudara kandung orang tua angkat dalam hukum kewarisan
tidak terbantahkan lagi bahwa hal demikian akan menimbulkan bibit-bibit konflik
dan permusuhan antara orang tua dan saudara kandung orang tua angkat dengan
anak angkat.
Di
Indonesia yang belum memiliki undang-undang pengangkatan anak secara khusus,
telah lama mengenal lembaga pengangkatan anak sebagai bagian dari kultur
masyarakat sejak zaman dahulu dengan cara dan motivasi yang berbeda, sesuai
dengan sistem hukum dan perasaan hukum yang hidup di daerah masing-masing.
Hukum Islam menghargai hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
hukum Islam, bahkan menempatkannya sebagai bagian dari sumber hukum Islam al-‘adat
al-Muhakkamah.[7]
[1] Abd. Aziz Dahlan (et.al), Ensiklopedi
Hukum Islam, Cet. 1, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve., 1996), 27.
[2] Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), 84.
[3] Ibid
[4] Abd. Aziz Dahlan (et.al), Op.
cit., 28.
[5] Ibid
[6] Andi Syamsu Alam dan M.
Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Cet. 1; Jakarta: Kencana,
2008), ed. 1, 26.
[7] Ibid, 30-31.
No comments:
Post a Comment