PENGERTIAN TABANNI


Istilah Tabanni sebenarnya sudah menjadi tradisi dikalangan mayoritas masyarakat Arab. hal ini juga pernah dilakukan Nabi SAW terhadap Zaid bin Haritsah. Dalam kamus al-Munawwir, istilah tabanni diambil dari kata al-Tabannî yang berasal dari bahasa arab (تبنّى – يتبنّى - تبنّيا) mempunyai arti mengambil, mengangkat anak atau mengadopsi.[1] Sedangkan dalam Ensiklopedi Hukum Islam, tabanni disebut dengan “adopsi” yang berarti “pengangkatan anak orang lain sebagai anak orang lain.[2]

Secara terminologis, Ahmad al-Ghandûr memberikan definisi tabanni dengan:[3]

ان يتخذ الإنسان ابن غيره المعروف نسبه إبنا له

“...pengambilan anak orang lain oleh seseorang yang diketahui nasabnya, kemudian di-nasab-kan sebagai anaknya..”

Senada dengan apa yang diungkapkan Ahmad al-Ghandûr, Muhammad Muhyiddîn Abdul Hamîd dalam sebuah kitabnya memberikan definisi:[4]

ان يعمد رجل ما الى ولد معروف النسب الى أبيه فينسبه الى نفسه او ان تعتمد امرأة الى ولد معروف النسب الى أمه فينسبه الى نفسها

“..pengambilan anak yang dilakukan oleh seseorang terhadap anak yang jelas nasabnya, kemudian anak itu dinasabkan kepada dirinya”.

Dalam pengertian lain, tabanni adalah pengambilan anak oleh seseorang baik laki-laki atau perempuan yang dengan sengaja me-nasab-kan seorang anak kepada dirinya, sedangkan anak tersebut mempunyai nasab yang jelas.

Muhammad Thaha Abul Ela Kalifah dalam bukunya juga mendefinisikan al-Tabannî  dengan:[5]

 “.............adopsi (tabanni) ialah menasabkan seorang anak kepada dirinya, baik laki-laki mapun perempuan dan bukan anak kandung.”

Pada hakikatnya, definisi di atas terdapat kesamaan dalam memberikan pengertian yaitu pengambilan anak oleh seseorang, baik laki-laki maupun perempuan terhadap anak (bukan anak kandung) yang diketahui nasabnya, kemudian me-nasab-kannya. Dari pengertian ini, dapat diketahui bahwa titik temu adalah pe-nasab-an anak angkat kepada orang yang mengangkatnya.

Sedangkan Syekh Mahmûd Syaltût memberikan dua pengertian tabanni yang berbeda, yaitu:[6]

(1). Seseorang yang mengangkat anak, yang diketahui bahwa anak itu termasuk anak orang lain, kemudian ia memperlakukan anak tersebut sama dengan anak kandungnya, baik dari kasih sayang mapun nafkah (biaya hidup), tanpa ia memandang perbedaan. Meskipun demikian, agama Islam tidak menganggap sebagai anak kandung, karena ia tidak dapat disamakan statusnya dengan anak kandung; dan

(2). Seseorang yang tidak memiliki anak kemudian menjadikan seseorang anak orang lain sebagai anaknya, padahal ia mengetahui bahwa anak itu bukan anak kandungnya, lalu ia menjadikannya sebagai anak sah.

Dari dua pengertian yang diberikan oleh Mahmûd Syaltût, tabanni dalam pengertian yang pertama lebih didasarkan pada hati nurani untuk merawat seorang anak yang tidak mampu agar bisa diberikan pendidikan, ekonomi dan perlindungan yang layak sehingga anak tersebut tumbuh dengan baik.

Sedangkan al-Tabannî dalam pengertian yang kedua lebih dititik beratkan kepada pe-nasab-an seorang anak kepada orang tua angkatnya. Hal ini dilarang oleh Islam, karena dapat mengkaburkan status seseorang atau ada unsur pemalsuan asal-usul seorang anak, sehingga status ajnabi menjadi hilang dan berganti menjadi mahram.

Maka dalam hal ini, secara ringkas istilah tabanni mempunyai dua pengertian yaitu:

1). Pengangkatan anak orang lain yang diketahui nasabnya oleh seseorang dan di-nasab-kan kepadanya, dan

2). Pengangkatan anak orang lain yang diketahui nasabnya oleh seseorang yang untuk dipelihara dan diberikan kasih sayang seperti layaknya anak sendiri.




[1] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 111.
[2] Abd. Aziz Dahlan (et.al), Eksiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996). Jilid 2, 27.
[3] al-Ghandûr, Al-Akhwâl al-Syakhshiyah fi al-Tasyri’ al-Islâmî (Beirut: maktabah al-Falah, 2006), 583.
[4] Muhammad Muhyiddin Abdul Hamîd, al-Ahwal al-Syakhshiyah fî al-Syarîah al-Islâmiyah (Beirut: Maktabah ilmiah, 2003). 387.
[5] Muhammad Thaha Abul Ela Khalifah, Pembagian Warisan Berdasarkan Syariat Islam (Cet. 1; Solo: Tiga Serangkai, 2007), 649.
[6] Mahmut Syaltut, al-fatâwâ, (t.t.: t.p., 2004), 275-276.

No comments:

Post a Comment