PROBLEMATIKA AKAD DALAM JUAL-BELI


1. Pengertian Akad

Akad (al ‘aqd) secara bahasa berarti al-rabth: ikatan, mengikat.[1] Sedangkan pengertian ‘aqad menurut istilah adalah suatu perikatan antara ijab dan qabul dengan cara yang dibenarkan dalam syara’ yang menetapkan hukum pada objeknya.[2]

Akad dalam jual-beli ialah ikatan antara penjual dan pembeli, jual beli belum dikatakan sah sebelum ijab qabul dilakukan karena ijab qabul akan menunjukkan kerelaan (keridlaan).[3]

Dalam referensi lain disebutkan akad jual-beli berarti melepaskan obyek tertentu yang memiliki nilai legal bagi sesuatu yang sama nilainya (yang disebut harga). Konsep penjualan juga meliputi tukar menukar satu barang dengan barang lain (yang nilainya sepadan).[4]

2. Sighat Akad dan Macam-macamnya

Salah satu rukun akad adalah sighat akad (ijab dan qabul),[5] sighat akad yaitu : dengan cara bagaimana ijab dan qabul itu dinyatakan.[6]

Sighat akad tidak hanya dilakukan dengan menggunakan lesan seperti jual beli yang mana pihak penjual dan pembeli bertemu dan langsung mengadakan transaksi dengan menggunakan lesan, lalu bagaimana apabila para pihak mengalami kekurangan yang menghambat adanya akad dengan lesan misal jual-beli pada tempat yang sangat ramai, salah satu atau kedua pihak adalah seorang tuna rungu, atau para pihak berada dalam jarak atau wilayah yang jauh. Hal ini tentunya sulit untuk dapat berakad dengan lesan. Sehingga diperlukan media lain agar akad tersebut dalam terlaksana sesuai dengan kehendak para pihak.

Adapun cara sighat akad dapat dilakukan dengan cara lesan, tulisan, isyarat, dan perbuatan.[7] Penjelasannya sebagai berikut :

a. Sighat akad dengan lesan (‘aqad bil lisan)

Sighat akad dengan lesan tentunya tidak asing lagi, mayoritas dalam transaksi (akad) jual-beli menggunakan lesan, dalam bahasa apapun boleh dilakukan asalkan kedua belah pihak paham dan mengerti yang dimaksudkan dalam akad. Akad dengan lesan tidak hanya dengan bertatap muka atau berhadap-hadapan namun juga dapat dilakukan dengan menggunakan media lain seperti telepon, videophone dan yang lainnya. Pihak-pihak yang menggunakan media ini berada pada tempat yang berlainan atau tempat yang jauh.

b. Sighat akad dengan tulisan (‘aqad bil kitabah)

Selanjutnya sighat akad dengan menggunakan media tulisan dapat dilakukan ketika salah satu atau para pihak berada dalam kondisi yang sulit untuk dapat melakukan akad dengan lesan. Misal para pihak berada pada tempat yang jauh sehingga para pihak melakukan akad dengan menggunakan surat atau yang telah menjamur selama ini ialah SMS (Short Message Service) pesan singkat melalui telephone genggam (Hand phone), Hal ini juga dijelaskan oleh Wahbah Zuhaily yang dikutip oleh Ghufron A. Mas’adi tentang pendapat Fuqoha’ Hanafiyah dan Malikiyah, yaitu sah melakukan akad melalui tulisan bagi orang cacat wicara maupun tidak.[8]

c. Sighat akad dengan isyarat (‘aqad bil isyarah)

Kemudian akadnya orang yang tuna wicara, mereka bisa melakukan akad dengan isyarat karena orang tuna wicara sulit untuk berakad dengan menggunakan lesan namun tidak menutup kemungkinan juga bisa berakad dengan tulisan yang intinya isyarat-isyarat atau tulisan itu dapat dimengerti oleh para pihak.[9]

d. Sighat akad dengan perbuatan (‘aqad bi al-Muathah)

Selain akad dengan lesan, tulisan, isyarat ada juga dengan perbuatan-perbuatan yang dapat dimengerti oleh para pihak yang berakad. Menurut al-Jaziri yang dikutip oleh Hendi Suhendi dalam buku Fiqh Muamalah menyebutkan :

المعاطة و هي الأخذ و الإعطاء بدون كلام كان يشتري شيئا ثمنه معلم له فالأخذ من البائع و يعطيه الثمن و هو يملك بالقبض

Aqad bi al Muathah ialah : mengambil dan memberikan dengan tanpa perkataan (ijab dan qabul), sebagaimana seorang membeli sesuatu yang telah diketahui harganya, kemudian ia mengambilnya dari penjual dan memberikan uangnya sebagai pembayaran”.[10]

Misal di swalayan (self service) dimana barang-barang yang diperjualbelikan sudah diberi banderol (daftar) harga dan pembeli sepakat dengan harga barang itu kemudian pembeli mengambil barang itu dan membayarnya senilai dengan harga itu kepada penjual, maka akad tersebut telah terbentuk dengan sendirinya walaupun tidak ada ijab dan qabulnya karena akad ini sudah menjadi kebiasaan dan kemudahan. 

Penulis dapat menarik kesimpulan tentang bentuk-bentuk akad di atas. Bahwasannya akad dapat dilakukan dengan media lesan, tulisan, isyarat, maupun perbuatan, media yang digunakan oleh para pihak yang berakad beragam sesuai dengan situasi dan kondisinya, apabila salah satu atau kedua pihak yang berakad mendapati kesulitan maka diperkenankan menggunakan media lain untuk berakad, misal pihak yang berakad tunarungu maka boleh berakad dengan menggunakan isyarat atau tulisan.

Hal yang terpenting dalam sahnya akad ialah isi yang dimaksud atau penyampaian kehendak dalam akad (ijab qabul) tersebut tidak berubah yaitu adanya pengertian, kejelasan dan kesepakatan dalam akad tersebut.




[1] Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002. hlm. 75.
[2] Ahmad Basyir, Asas-asas Hukum Muamalah (Hukum Perdata Islam), Edisi Revisi, Yogyakarta: UII Press, 2000, hlm 65.
[3] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, hlm.70.
[4] A. Rahman I, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah), Cet I, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 455.
[5] Gufron A. Mas’adi, op. cit., hlm.79.
[6] A. Rahman I, op. cit., hlm. 68.
[7] Ahmad Basyir, op. cit., hlm. 68-70.
[8] Gufron A. Mas’adi, op. cit., hlm. 92.
[9] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah (Alih Bahasa Oleh Kamaluddin A. Marzuki), Jilid 12, Bandung: Alma’arif, hlm. 51.
[10] Hendi Suhendi, op. cit., hlm. 74.

No comments:

Post a Comment