KHIYAR DALAM JUAL-BELI


Khiyar ialah mencari kebaikan dari dua perkara; melangsungkan atau membatalkan.[1] Sedangkan khiyar dalam jual-beli menurut hukum Islam ialah diperbolehkannya memilih apakah jual-beli itu diteruskan ataukah dibatalkan, karena terjadinya sesuatu hal. Khiyar ialah.[2]

Dasar hukum khiyar dijelaskan pada hadist berikut :

عن ابن عمر يقول قال رسول الله صلى الله عليه و سلم كل بيعين لا بيع بينهما حتى يتفرقا إلا بيع الخيار

Bersumber dari Ibnu Umar, ia berkata : Rasulullah bersabda : Masing-masing penjual dan  pembeli, tidak akan  terjadi jual-beli di antara mereka sampai mereka berpisah, kecuali dengan jual-beli khiyaar”.[3]

Macam-macam khiyar dalam jual-beli ialah:

1. Khiyar Majelis, yaitu apabila akad dalam jual-beli telah terlaksana dari pihak penjual dan pembeli maka kedua belah pihak boleh meneruskan atau membatalkan selama keduanya masih berada dalam tempat akad (majlis).[4]

2. Khiyar Syarat, adalah penjualan yang didalamnya disyaratkan sesuatu baik oleh penjual maupun pembeli.[5]

 Sebab-sebab berakhirnya khiyar syarat adalah sebagai berikut :

a. Adanya pembatalan akad.

b. Melewati batas waktu khiyar yang ditetapkan.

Ada perbedaan pendapat tentang batas waktu khiyar, menurut Imam Syafi’i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa jangka waktu khiyar ialah tiga hari sedangkan menurut Imam Malik dan Abu Hanifah ialah jangka waktu khiyar ialah sesuai dengan kebutuhan.[6]

c. Berubahnya obyek akad, berkurangnya atau bertambahnya barang yang diakadkan dan tidak sesuai dengan akadnya.

d. Meninggalnya pihak-pihak yang melakukan khiyar.

3. Khiyar ‘Aibi (cacat), yaitu yang dimaksudkan ialah apabila barang yang telah dibeli ternyata ada kerusakan atau cacat sehingga pembeli berhak mengembalikan barang tersebut kepada penjual.[7]




[1] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah (Alih Bahasa Oleh Kamaluddin A. Marzuki), Jilid 12, Bandung: Alma’arif, hlm. 100.
[2] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002, hlm. 83.
[3] Imam Abu Husein Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim (Terjemah Oleh Adib Bisri Mustofa),  Jilid III, Semarang: CV. Assyifa’, 1993. hlm. 4
[4] Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 101.
[5] Hendi Suhendi, op. cit., hlm. 84.
[6] Sayyid Sabiq, op. cit., hlm.102.
[7] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Cet. 17, Jakarta: Attahiriyah, 1976, hlm. 277.

No comments:

Post a Comment