Sebab
milik yang dimaksudkan adalah sebagai berikut, yaitu pertama apabila seseorang
mempunyai budak baik laki-laki atau perempuan[1] dan kedua binatang
peliharaan, apakah itu binatang ternak (lembu, kerbau, dsb), ayam, burung dan
kucing, maka binatang tersebut harus dipeliharanya dengan baik, diberinya
makanan yang cukup, dan dibuatkan tempat tinggal (kandang) dengan baik.
Walhasil tidak boleh disia-siakan.[2]
Sabda
Nabi SAW.:
عن ابن عمر رضي الله
عنهما أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال عذبت امرأة في هرة حبستها حتى ماتت
“Dari
Ibn Umar bahwasannya nabi SAW. bersabda: “telah disiksa seorang perempuan sebab
menyandra seekor kucing (dan tidak diberinya makan dan minum), sehingga kucing
itu mati”. (H.R. Bukhari Muslim).[3]
Adapun
sebab dan syarat memperoleh nafkah tersebut secara lebih tegas dan ringkas juga
di sebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yakni pada pasal 77 ayat 3 “suami
isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik
mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya”.
Kalimat
“suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka,
baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan
agamanya” secara hakikat terkandung dua pihak, yakni suami dan isteri. Maksudnya
adalah kedua pihak tersebut memiliki kesamaan kewajiban dalam memelihara
anak-anak mereka, termasuk dalam pendidikan.
Konsekuensinya
adalah adanya kebolehan isteri untuk membantu suami manakala suami kurang dapat
atau bahkan tidak dapat memenuhi kebutuhan nafkah pendidikan anak. Dalam pasal
80 ayat 4 juga mengklasifikasikan sesuai dengan penghasilan suami menanggung:
a. Nafkah kiswah dan tempat kediaman
bagi isteri.
b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan
dan pengobatan bagi isteri dan anak.
c. Biaya pendidikan bagi anak.[4]
Hal
tersebut juga dijelaskan syarat wajibnya memberikan nafkah untuk anak-anak,
yaitu:
a. Anak itu masih kecil (belum
baligh).
b. Bahwa anak itu miskin, tiada
mempunyai harta sendiri untuk nafkahnya.[5]
Apabila
anak itu telah baligh dan telah kuasa berusaha, maka bapak tiada wajib memberi
nafkah anak itu. Begitu juga ketika itu mempunyai harta sendiri untuk
nafkahnya, meskipun dia masih kecil, maka tiada wajib bapak memberi nafkahnya.
Hal
itu juga di klasifikasikan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 98 ayat 1 “batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun,
sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah
melangsungkan perkawinan”.[6]
Sehingga
sangatlah jelas bahwa seorang suami adalah kepala rumah tangga yang mempunyai
kewajiban memenuhi kebutuhan rumah tangga dengan memberikan nafkah,
perlindungan kepada semua anggota keluarga, memberi biaya perawatan dan
pengobatan bagi istri dan anak serta biaya pendidikan anak-anaknya.
Hal
tersebut juga di jelaskan di Undang undang perkawinan mengatur hak dan
kewajiban antara orang tua dan anak yang menyangkut beberapa hal. Pertama
mengatur tentang kewajiban pemeliharaan dan pendidikan, bahwa kedua orang tua
wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
Kewajiban
orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin
atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan
antara kedua orang tua putus.[7] Ketentuan ini di atur di
dalam pasal 45 ayat 1 dan 2 dan pasal 47 ayat 1 undang-undang perkawinan No 1
tahun 1974 disebutkan sebagai berikut:
Pasal
45:
Ayat (1) : Kedua orangtua wajib
memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya.
Ayat (2) : Kewajiban orangtua yang
dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat
berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua
orangtua putus.
Pasal
47
Ayat (1) : Anak yang belum mencapai
umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada
dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya.[8]
Dari
penjelasan di atas dapat diketahui bahwa nafkah yang diberikan oleh ayah
(suami) pada pokoknya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Lingkup
keluarga terdekat yang harus dipenuhi nafkahnya oleh para orang tua adalah
isteri dan anak-anaknya dengan klasifikasi sebagaimana disebutkan dalam Pasal
80 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan UU perkawinan pasal 45 ayat 1 dan 2
dan pasal 47 ayat 1.
[1] Idris Ahmad, Fiqh Menurut
Madzhab Syafi’i, Jakarta: Wijaya Djakarta, t. th., hlm. 283.
[2] As'ad, Abdul Muhaimin, Risalah
Nikah, Surabaya: Bintang Terang, t.th, hlm. 92.
[3] Ibid.
[4] Abdurrahman, Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, Edisi I, 1992, hlm. 133
[5] Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan
Dalam Islam, Jakara, Hidakarya Agung, Cet. X, 1983, Hlm. 127
[6] Tim Redaksi FOKUSMEDIA,
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Cet. II, 2007, hlm. 34
[7] Sudarsono, Hukum Perkawinan
Nasional, Jakarta, Rineka Cipta, Cet. I, 1991, hlm. 188
[8] Amak F.Z, Undang-undang
Perkawinan No 1 Tahun 1974, Bandung, PT Al-Ma’arif, Cet. 1, 1976, hlm. 146-147
No comments:
Post a Comment