Yaitu
orang yang masih ada hubungan keturunan atau nasab sebab dan terjadinya suatu
akad perkawinan, baik ke atas maupun ke bawah, baik yang termasuk ahli waris
maupun tidak termasuk ahli waris. Sebutan lain dari kerabat adalah family.[1]
Adapun
yang dinamakan kerabat, apabila memenuhi criteria sebagai berikut:
a. Mahramiyah, artinya; harus dari
kerabat yang haram dinikah.
b. Adanya kebutuhan untuk meminta dari
kerabat.
c. Disyaratkan lemahnya orang yang
meminta nafkah kecuali dalam nafkah yang wajib bagi orang tua kepada anak.
d. Disyaratkan mampu memberi nafkah
kepada salah satu orang tua atas anak laki-lakinya dan nafkah anak atas
bapaknya.[2]
Maka
memberi nafkah karena kerabat bagi seseorang juga merupakan kewajiban. Apabila
mereka cukup mampu dan karib kerabatnya itu benar-benar memerlukan pertolongan
karena miskin dan lain sebagainya. Sebagaimana firman Allah:
“Dan
berikanlah kepada kerabat-kerabat yang dekat akan haknya (juga kepada)
orang-orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu
menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros”. (Q.S. al-Isra’: 26).[3]
Maksud
dari ayat di atas adalah: berikanlah olehmu wahai kaum mukallaf, kepada
kerabatmu segala haknya yaitu: hubungan kasih saying dan bergaul dengan baik
dengan mereka. Jika mereka berhajat kepada nafkah, berilah sekedar menutupi
kebutuhannya. Demikian juga berilah pertolongan akan orang miskin dan musafir
yang berjalan untuk sesuatu kepentingan yang dibenarkan syara’, agar maksudnya
tercapai.
Hubungan
karib kerabat itu selalu akan menimbulkan satu hak dan kewajiban, di mana
kerabat yang mampu berkewajiban membantu kerabatnya yang tidak mampu, di mana hidupnya
dalam keadaan serba kekurangan. Sebaliknya kerabat yang tidak mempunyai
kemampuan mempunyai hak untuk memperoleh bantuan dari kerabat yang mampu.
Telah
dijelaskan juga di dalam al-Qur'an yang menyuruh untuk memperkuat hubungan
kerabat ini dengan mengadakan hubungan baik (silaturahmi) dan tolong menolong,
baik moril maupun materiil, urusan kebendaan dan kerohanian. Akan tetapi
hubungan erat dengan kerabat itu tidak boleh sampai menghilangkan rasa
keadilan, atau hanya adil untuk kerabat yang kaya dan tidak adil terhadap
kerabat yang miskin.[4]
Sebagaimana
firman Allah SWT.:
“Sesungguhnya
Allah memerintahkan supaya menjalankan keadilan, berbuat baik dan memberi
kerabat-kerabat. Allah melarang perbuatan keji, pelanggaran dan kedurhakaan.
Dia mengajarkan supaya kamu mengerti”. (Q.S. al-Nahl: 90).[5]
Seseorang
yang hidup di tengah-tengah keluarga dan kerabatnya tidak dapat melepaskan diri
dari kewajiban memperhatikan resiko keluarga dan kerabatnya itu, maka seorang
kerabat wajib ikut serta memikirkan dan berusaha meningkatkan kualitas keluarga
dan kerabat, sebagai sarana pembangunan keluarga baik di bidang mental
spiritual maupun di bidang fisik materiil.
Hubungan hukum yang bersifat
materiil terhadap kerabat dan keluarga dekat ialah hubungan kecintaan, penghormatan,
kebajikan, mendoakan, sikap rendah diri, belas kasih, bersilaturahmi, tenggang
rasa dan ikut serta bertanggung jawab terhadap nama baik dan kebahagiaan serta
kesejahteraan seluruh kerabat dan keluarga atas dasar cinta kasih dan kasih
sayang. Sebagaimana firman Allah SWT. sebagai berikut:
“Mereka
menanyakan kepada engkau: apakah yang akan mereka nafkahkan? Katakanlah: apa
saja kebaikan yang kamu nafkahkan adalah untuk ibu bapak, karib kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang yang dalam perjalanan. Apa saja
kebaikan yang kamu kerjakan, sesungguhnya allah maha tahu tentang itu”.
(Q.S. al-Baqarah: 215).[6]
Kerabat
merupakan salah satu sebab adanya nafkah bagi keluarga dekat sebagai kewajiban
atas keluarga dekat yang mampu. Pada umumnya para ulama sepakat bahwa yang
wajib diberi nafkah ialah: keluarga yang dekat yang memerlukan nafkah saja,
tidak keluarga jauh.
Bila
seseorang cukup mampu dalam hal membiayai kehidupannya, maka dia juga
berkewajiban menafkahi sanak keluarganya yang miskin terutama mereka yang
bertalian darah dan bersaudara serta berhak untuk memperoleh bagian warisan
pada saat kerabat yang melarat itu wafat.
Seseorang
yang kaya juga diwajibkan membantu dan menafkahi orang-orang yang miskin dan
yang membutuhkan yang tinggak di daerahnya, tanpa membedakan kedudukan,
kepercayaan ataupun warna kulit, kalau dia mampu melakukan hal yang sedemikian
itu.[7] Sebagaimana firman Allah
SWT,
“Dan
kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang
patut. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena
anaknya dan warispun berkewajiban demikian”. (Q.S. al-Baqarah: 233).[8]
Adapun
syarat-syarat kewajiban memberi nafkah kepada kerabat adalah sebagai berikut:
1) Adanya orang yang berhak menerima
nafkah
Orang
yang wajib diberi nafkah itu membutuhkan nafkah tersebut. Dengan demikian,
tidak wajib memberi nafkah pada orang yang tidak membutuhkannya.
Anggota
kerabat itu tidak mempunyai kesanggupan untuk berusaha dan tidak mempunyai
harta untuk kebutuhan nafkahnya sehingga dapat menjaga kelangsungan hidupnya.
Berdasarkan pendapat ulama Hanafi dan Syafi’i berpendapat: ketidak-mampuan
bekerja tidak merupakan syarat bagi kewajiban memberi nafkah kepada para ayah dan
para kakek.
2) Adanya orang yang berkewajiban
memberi nafkah.
Menurut
kesepakatan seluruh mazhab kecuali Hanafi, persyaratan orang yang berhak
memberi nafkah itu haruslah orang yang berkecukupan dan mampu. Tetapi Hanafi
mengatakan bahwa persyaratan orang yang memberikan nafkah itu harus kaya, hanya
berlaku bagi kaum kerabat yang tidak terletak pada jalur pokok.
3) Disyaratkan harus seagama.
Apabila
salah seorang diantaranya muslim dan lainnya non muslim maka menurut Hambali
tidak ada kewajiban memberi nafkah sedangkan menurut Maliki dan Syafi’i tidak
disyaratkan harus seagama. Seorang muslim wajib memberi nafkah kepada
kerabatnya yang bukan muslim, sebagaimana halnya dengan nafkah untuk isteri yang
beragama ahli kitab, sedangkan suaminya seorang muslim.
Akan
tetapi Hanafi berpendapat kaitannya dengan ayah dan anak, tidak disyaratkan
harus seagama, sedangkan bila bukan ayah dan anak diharuskan seagama. Dengan
demikian seseorang tidak wajib memberi nafkah kepada saudaranya yang bukan
muslim dan sebaliknya.[9]
Adapun
urutan orang-orang yang berhak dan berkewajiban diberi nafkah, sebagaimana
syarat-syarat di atas, maka yang paling utama diberi nafkah ialah kerabat yang
tidak mempunyai harta untuk menjaga kelangsungan hidupnya dan ia belum
memperoleh usaha dan pekerjaan yang dapat menghasilkan sesuai untuk nafkahnya.
Tentu saja kerabat yang paling dekat lebih utama diberi nafkah dari kerabat
yang agak jauh.
Persoalan
timbul jika derajat hubungan kerabat yang memerlukan nafkah itu adalah sama.
Kemungkinan itu ialah:
a) Jika seorang mempunyai ayah, ibu
dan anak.
Dalam
hal ini didahulukan anak karena anak adalah milik ayahnya, berdasarkan hadits:
قال رسول الله صلى
الله عليه و سلم انت و ملكك لأبيك
“Bersabda
Rasulullah SAW.: “engkau dan harta engkau adalah milik bapak engkau”.[10]
Jika
seorang harus menafkahi ayah dan ibu (karena manafkahi keduanya tidak sanggup),
maka ia wajib mendahulukan ibunya, berdasarkan hadits:
و عن طارق المحاربي
رضي الله عنه قال قدمنا المدينة فإذا رسول الله صلى الله عليه و سلم قائم على
المنبر يخطب الناس و هو يقول يد المعطي العليا و ابدأ بمن تعول أمك و أباك و أختك
و أخاك ثم أدناك أدناك محتصر
“Dari
Thariq al-Muharabi semoga Allah SWT. meridhainya, ia berkata: “aku datang dari
Madinah, maka apabila Rasulullah s.a.w. berkhutbah beliau berkata: “tangan
memberi adalah mulia dan mulialah orang yang lebih berhak engkau beri nafkah,
yaitu ibu engkau, bapak engkau, saudara perempuan engkau dan saudara laki-laki
engkau kemudian yang agak dekat dan yang agak dekat denganmu”. (H.R. Nasa’i
dan Ibn Hiban).[11]
Dari
hadits di atas juga dipahamkan bahwa jika dua orang kerabat sama tingkat dan
kewarisannya, maka kerabat yang wanita didahulukan dari kerabat laki-laki, dan
kakek serta nenek termasuk ushul, maka urutannya setelah orang tua.
b) Setelah kerabat furu’ dan ushul
barulah kerabat hawasy.
Hawasy
yaitu kerabat yang dalam hubungan garis ke samping, sesuai dengan hadits di
atas maka didahulukan saudara perempuan, kemudian saudara laki-laki, kemudian
bibi, kemudian paman dan seterusnya.[12]
Kewajiban
memberi nafkah kepada kaum kerabat adalah dalam jumlah yang bisa menutupi
kebutuhan pokok yaitu berupa gandum (nasi), lauk-pauk, pakaian dan tempat
tinggal. Sebab, hal itu diwajibkan dalam rangka mempertahankan hidup dan
menghindari bencana. Besar nafkah diukur dengan hal itu.[13]
[1] M. Abdul Mujib dan Mabrur
Tholhah, Kamus Istilah Fiqh, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994, hlm. 155.
[2] M. Abu Zahrah, al-Ahwalal-Syakhsiyah,
Mesir: Daar al-Fikr, t.th., hlm. 487.
[3] Departemen Agama RI, al-Qur'an
dan Terjemahnya, Semarang: CV. Al-Waah, t.th., 428.
[4] Fahruddin HS., Ensiklopedi
al-Qur'an, Jilid I, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1992, hlm. 599.
[5] Departemen Agama RI, loc.cit,
415
[6] Ibid., hlm. 52
[7] Basri Iba Asghary dan Wadi
Masturi, Perkawinan dalam Syari’at Islam, Jakarta: PT. Rineka Cipta, cet. I,
1992, hlm. 129.
[8] Departemen Agama RI, loc.cit.,
hlm. 57.
[9] M. Jawad Mughniyah, Al-ahwal
al syahsiyah, Dar al Ilmiah, Beirut, t. th., hlm. 117-118.
[10] Ibid., hlm. 199.
[11] Ibid hlm. 61
[12] Departemen Agama RI, Ilmu
Fiqh, hlm. 201.
[13] Muhammad Jawad Mughniya,
op.cit,. hlm. 116.
No comments:
Post a Comment