KRITERIA MISKIN MENURUT ISLAM

  
Al-Qur’an dan Hadits tidak menetapkan angka tertentu dan pasti sebagai ukuran kemiskinan namun al-Qur’an menjadikan setiap orang yang memerlukan sesuatu dengan fakir atau miskin, sehingga para pakar Islam berbeda pendapat dalam menetapkan standar atau tolak ukur kemiskinan dan berusaha menemukan sesuatu dalam ajaran Islam yang dapat digunakan sebagai tolak ukur kemiskinan, yakni dengan menggunakan zakat.

Zakat adalah bagian dari pendapatan dan kekayaan masyarakat yang berkecukupan yang diperoleh dari usaha di berbagai sektor seperti pertanian, perdagangan, jasa yang menjadi hak dan harus diberikan kepada orang yang berhak dengan taraf yang berbeda-beda yang dipotong dalam hitungan setahun, tetapi distribusinya dapat dilakukan sepanjang waktu.

Dalam zakat terdapat ketentuan bahwa suatu pendapatan atau kekayaan itu wajib dizakati jika dalam setahun sudah memenuhi nishab. Nishab untuk zakat maal adalah pendapatan atau kekayaan setara 89 gr emas setahun. Jika harga emas 24 karat itu Rp 24.650/gr maka nilai 89 gr emas murni adalah Rp 2.293.850 setahun. Inilah garis batas dalam kriteria pendapatan antara yang miskin dan berhak menerima zakat dan yang cukup dan wajib berzakat. Zakatnya adalah 2 ½ % yang berarti Rp 54.846 per tahun. Jika pendapatannya Rp 182.821 per bulan, maka zakatnya Rp 4.571 per bulan.[1]

Sajogyo menjadikan perolehan beras bagi setiap penduduk menjadi takaran dengan batas minimum 20 kg per orang per bulan bagi yang tinggal di pedesaan. Sedangkan yang menetap di daerah perkotaan batas minimum 30 kg per orang per bulannya. Kalau sudah memperoleh ketentuan dan melebihi 20 kg bagi yang berdomisili di desa dan 30 kg yang berdomisili di perkotaan maka dikategorikan tidak lagi miskin.[2]

Penentuan seseorang atau keluarga yang dikategorikan miskin berdasarkan sampai beberapa jauh terpenuhinya kebutuhan pokok atau konsumsi nyata yang meliputi: pangan, sandang, pemukiman, pendidikan dan kesehatan. Konsumsi nyata ini dinyatakan secara kuantitatif (dalam bentuk uang) berdasarkan hanya pada tahun tertentu. Kebutuhan pokok merupakan kebutuhan yang sangat penting, guna kelangsungan hidup manusia.

Hakikatnya, Islam menganggap kemiskinan sebagai suatu masalah yang memerlukan penyelesaian, bahkan merupakan bahaya yang wajib diperangi dan diobati. Usaha-usaha mencari penyelesaian perlu dilakukan, tetapi ini bukan berarti kita menafikan qada’ dan qadar Allah swt terhadap setiap makhluk-Nya. Di antara prinsip Islam, setiap permasalahan ada penyelesaiannya. Setiap penyakit ada obatnya. Dia yang menjadikan penyakit, dan Dia jugalah yang mencipta obatnya. Jika kemiskinan ditakdirkan oleh Allah SWT, maka pembebasan dari belenggu kemiskinan juga merupakan takdir Allah SWT juga.[3]

Selain itu, timbul persoalan adakah usaha memerangi kemiskinan bertentangan dengan sifat qanaah? Adakah qanaah dan ridha dengan rezeki yang Allah SWT kurniakan berarti redha dengan kehidupan yang melarat, duduk tidak bekerja untuk mencari kehidupan yang lebih baik dan membiarkan orang kaya dalam kemewahan dan pembaziran? Tidak!

Sebenarnya, qanaah membawa dua maksud yaitu, pertama, keimanan yang mengekang tabiat manusia yang tamak dan cenderung kepada dunia seolah-olah kehendak mereka tidak mampu dipenuhi agar lebih mengutamakan akhirat yang kekal abadi. Maksud qanaah yang kedua ialah mengakui bahwa Allah menjadikan manusia berbeda-beda tahap rezekinya sebagaimana Allah SWT menjadikan bakat dan kebolehan yang berbeda bagi setiap manusia.

Tugas manusia ialah berusaha dan berikhtiar.[4] Allah SWT berfirman dalam Surah an-Nahl ayat 71:  “Dan Allah swt melebihkan sebahagian kamu dari sebahagian yang lain dalam soal rezeki”. Ini berarti sifat qanaah akan menjadikan manusia ridha dengan apa yang dikurniakan oleh Allah SWT yang tidak mampu diubah atau terhalang oleh suasana dan keadaan yang memaksa, serta tidak mengimpikan kelebihan yang Allah swt kurniakan kepada orang lain sehingga timbul perasaan hasad dengki. 

Di samping itu, Islam menolak pandangan golongan Kapitalisme yang berpendapat kemiskinan merupakan masalah yang dipertanggung-jawabkan ke atas diri orang miskin sendiri, bukan tanggung jawab ummah, negara atau orang kaya. Ini karena bagi mereka, kekayaan yang diperoleh adalah hak mutlak mereka dan setiap individu bebas menggunakan hartanya dan berbuat apa saja. Teori ‘Qarunisme’ ini meniru bulat-bulat keangkuhan Qarun yang menganggap kekayaannya adalah hasil kebijaksaannya sendiri, bukan anugerah Allah dan enggan menginfaqkan hartanya untuk membantu golongan yang lemah seperti yang disebut dalam Al-Quran, “Dia (Qarun) berkata: Sesungguhnya harta kekayaan ini adalah hasil kebijaksanaan ilmuku.” (Al-Qasas:77).

Hakikatnya, dalam Islam, harta adalah hak mutlak Allah SWT, karena Dialah yang menjadikan dan menganugerahkannya, manakala manusia hanyalah wakil (khalifah) yang ditugaskan untuk menjaga, membangunkan dan membelanjakan harta mengikut suruhan dan keredhaan-Nya. Allah SWT menyatakan hal ini dalam firman-Nya: “Dan nafkahkanlah dari apa yang kami jadikan kamu menguasainya”. (Al-Hadid:7). 

Islam juga menolak pandangan golongan Sosialisme dan Marxisme yang berpendapat bahwa pembasmian kemiskinan tidak dapat dilakukan melainkan dengan menghapuskan kedudukan golongan kaya dan sumber harta mereka, menghalang mereka daripada kekayaan, sekaligus menghapuskan hak pemilikan harta individu. Tiada perbedaan ketara antara Komunisme dan Sosialisme karena kemuncak Sosialisme ialah Komunisme. Yang pastinya, kedua-duanya memerangi agama dan terbina di atas kekerasan dan pertumpahan darah.

Ini berbeda dengan prinsip Islam kerana walaupun wujudnya golongan kaya yang angkuh, masih ada golongan kaya yang menggunakan hartanya untuk menunaikan hak Allah SWT dan hak manusia.Islam juga meng-iktiraf pemilikan harta individu kerana sesuai dengan fitrah manusia ingin memiliki harta dengan menggariskan kaedah menguruskannya. Selain itu, Islam juga terbina di atas dasar kasih-sayang dan tolong-menolong, bukan atas dasar saling membenci dan bermusuhan. Teori sesat ini sebenarnya bukan menyelesaikan masalah, malah mencipta masalah yang lain yang lebih berbahaya.

Penentuan garis kemiskinan, dan karenanya jumlah orang miskin bisa dihitung, memiliki kaitan erat dengan bagaimana kita mendefinisikan kemiskinan. Sebagai misal, dengan definisi kemiskinan sebagai kemampuan memenuhi kebutuhan dasar, baik makanan dan bukan makanan, BPS mendapatkan garis kemiskinan senilai Rp 152.847 per kapita per bulan untuk mendapatkan jumlah orang miskin 39,05 juta jiwa per Maret 2006. 

Apakah BAZ dan LAZ dapat menerima garis kemiskinan resmi versi BPS ini? Jika menerima, maka konsekuensinya adalah jika ada orang yang mengaku berpenghasilan lebih dari Rp 152.847 per bulan, maka ia bukan dianggap orang miskin yang berhak menerima zakat. Jika seorang kepala rumah tangga yang menanggung kebutuhan hidup 3 anggota keluarga, mengaku berpenghasilan lebih dari Rp 611.388 per bulan, ia dianggap tidak miskin.

Maka, bila melihat definisi fakir dan miskin dalam konteks penerima zakat, sulit bagi kita menerima garis kemiskinan versi BPS ini. Kita membutuhkan definisi dan garis kemiskinan baru dalam konteks penyaluran dana zakat, khususnya kepada golongan fakir dan miskin. Kita sebut saja ia adalah garis kemiskinan Islam. Dalam fikih Islam, fakir dan miskin adalah mereka yang tidak memiliki harta dan usaha sama sekali atau memiliki harta dan usaha namun tidak bisa memenuhi kebutuhan.

Lalu, bagaimana kita mendefinisikan kebutuhan dalam Islam? Qaradhawi mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan yang semestinya tercukupi bagi setiap orang Islam adalah jumlah makanan dan air (HR Bukhari dan Muslim), pakaian yang menutup aurat (QS 7:26, 16:5,81), tempat tinggal yang sehat (QS 16:80, 24:27), sejumlah harta untuk pernikahan (QS 16:72, 30:21), dan kelebihan harta untuk ibadah haji (QS 3:97). Jika kita bisa menyepakati hal ini, kita dapat bergerak membentuk garis kemiskinan Islam.[5]

Dengan adanya garis kemiskinan Islam, BAZ dan LAZ dapat membentuk basis data kemiskinan baru untuk penyaluran dana zakat. Dengan demikian, penyaluran zakat diharapkan lebih tepat sasaran, khususnya untuk fakir dan miskin. Dalam jangka panjang, hal ini merupakan langkah awal yang strategis dalam membangun data kemiskinan Islam yang akurat.

Di tataran makro, garis kemiskinan Islam ini juga akan berfungsi sebagai alat evaluasi alternatif untuk menilai keberhasilan program pengentasan kemiskinan pemerintah. Hal ini juga menjadi sangat relevan mengingat Islam adalah agama mayoritas di negeri ini. Dengan jumlah penduduk mayoritas, maka isu kemiskinan seharusnya menjadi isu utama umat Islam.

Jika data kemiskinan versi Islam ini tersedia, maka umat Islam dapat mengetahui perkembangan kesejahteraan mereka dari waktu ke waktu. Ke depan, pengumpulan data kemiskinan oleh BPS seharusnya dapat juga mengakomodasi pengumpulan data terkait dengan kepentingan penyaluran zakat dan pembentukan garis kemiskinan Islam ini.




[1] Ahmad Ziauddin, Al-Qur’an Kemiskinan Dan Pemerataan pendapatan,Yogyakarta:PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1998, cet I, hal.49-50
[2] Muh. Ridwan Mas’ud, op. cit., hlm. 71.
[3] http://nabahah.wordpress.com/2008/05/21/metologi-pembasmian-kemiskinan-menurut-pandangan-islam
[4] Ibid.

2 comments:

  1. Kalau BPS tlh menetapkan kriteria miskin dg 14 item, bgmn mnurut kriteria Islam shg umat Islam memiliki kriteria yg jls jg utk mengukur-a shg zakat bs di salurkan tepat sasaran dan bs membantu org miskin utk tdk miskin lagi walaupun mgkin blm kaya sekali...

    ReplyDelete
  2. Kriteria BPS sangat tidak masuk akal. Orang yg menetapkan kriteria itu adalah orang yg tdk punya hati nurani. Saya harapkan MUI bisa menetapkan kriteria orang miskin menurut Islam.

    ReplyDelete