Akad
nikah merupakan hal yang mutlak atau harus dilakukan dalam suatu perkawinan.
Akan tetapi tidak semua akad nikah dapat dianggap benar menurut hukum
perkawinan Islam. Akad nikah baru dianggap benar dan sah jika memenuhi syarat
dan rukun yang ditentukan oleh syari’at Islam. Namun begitu dalam hal-hal
tertentu masih terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama fiqh.
Mengenai
sahnya nikah para ulama mazhab sepakat bahwa pernikahan dianggap sah apabila
dilakukan dengan akad, yang meliputi ijab dan qaul antara perempuan yang
dilamar (wakil atau wali) dengan lelaki yang melamarnya atau wakilnya.[1]
Dalam
hal persetujuan seorang gadis dengan menampakkan sikap diam tidak
diperselisihkan, kecuali pengikut Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa
persetujuan seorang gadis harus dalam bentuk kata-kata, jika orang yang menikahkan
bukan ayah atau kakeknya.[2]
Masalah
redaksi yang digunakan dalam akad nikah menjadi perdebatan di kalangan para
ulama.
Mazhab
Hanafi berpandangan bahwa akad boleh dilakukan dengan segala redaksi, yang
penting lafal itu menunjukkan maksud menikah. Bahkan dibolehkan menggunakan lafal al-tamlik
(pemilihan), al-hibah (penyerahan), al-bay’ (penjualan), al-‘ata’
(pemberian), al-ibadah (pembolehan) dan al-ihlal (penghalalan), sepanjang
akad tersebut disertai qarinah (kaitan) yang menunjukkan arti nikah.[3]
Sedangkan
menurut Imam Syafi’i, akad nikah hanya bisa terjadi dengan kata-kata nikah
atau tazwij.[4]
Imam
Maliki dan Hambali berpendapat bahwa akad nikah dianggap sah apabila
menggunakan lafal al-nikah dan al-zawaj serta lafal-lafal
bentukannya.[5]
Sementara mazhab Imamiyah menyatakan bahwa ijab
harus menggunakan lafal zawwajtu atau ankahtu dalam bentuk fi’il
madi. Karena kedua lafal inilah yang menunjukkan maksud pernikahan, sedangkan
bentuk fi’il madi memberi arti kepastian.
Selain dari persoalan-persoalan di
atas, sebenarnya masih banyak hal-hal yang menjadi perdebatan ulama berkaitan
dengan akad-nikah, tetapi menurut penulis yang dikemukan di atas telah
mewakilinya, sehingga tidak perlu dibahas satu-persatu.
[1] Muhammad Jawad
Mughniyah, Fikih Lima Madzhab, Terj. Masykur A. B., Afif Muhammad, dan Idrus
al-Kaff, Jakarta: Lentera Basritama, 2002, hlm. 309
[2] Ibnu Rusyd,
Bidayah al-Mujtahid, Beirut: Dar al-Fikr, t.th., hlm. 335
[3] Muhammad Jawad
Mughniyah, op. cit., hlm. 309
[4] Ibn Rusyd, op.
cit., hlm. 335
[5] Muhammad Jawad
Mughniyah, op. cit.,hlm. 311
No comments:
Post a Comment