PENGERTIAN MUSIK SPIRITUAL (AS-SAMĀ’)


Sebelum dijelaskan mengenai pengertian musik spiritual, akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai pengertian musik. Ini karena dalam masyarakat umum di Indonesia, perhatian terhadap substansi musik sangat kurang. Musik diartikan sebagai bisnis hiburan yang tentu saja identik dengan komersialisme, konsumerisme dan profesi. Musik tidak lagi dipahami sebagai suatu ekspresi estetis yang esensial dalam memahami pengertian kehidupan kita.[1]

 Meskipun demikian, kini terdapat beberapa kelompok masyarakat yang secara ilmiah mempelajari teori musik dan musikologi[2] melalui pendidikan formal, misalnya: kursus musik, sekolah musik dan Perguruan Tinggi jurusan musik. 

Beberapa ahli bahasa memiliki penjelasan yang berbeda-beda mengenai pengertian musik. Sebagian mengartikan musik dengan kata yang sangat sederhana, yaitu bunyi-bunyian.[3] Kemudian sebagian dari ahli bahasa lain juga berpendapat bahwa musik adalah komposisi lagu, nyanyian, senandung, yang dalam bahasa arab disebut ginā’ atau musīqa.[4]

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia arti musik adalah:

1. Ilmu atau seni menyusun nada suara dalam urutan, komibnasi, dan hubungan temporal untuk menghasilkan komposisi (suara) yang mempunyai kesatuan dan kesinambuingan.

2. Nada atau suara yang disusun sedemikian rupa sehingga mengandung irama, lagu, dan keharmonisan (terutama yang menggunakan alat-alat yang yang menghasilkan bunyi itu).[5]

Para ahli musik juga memiliki perbedaan pendapat mengenai pengertian musik. Pendapat yang pertama menyatakan bahwa musik adalah seni pengungkapan gagasan melalui bunyi, unsur dasarnya beberapa melodi, irama dan harmoni, dengan unsur pendukung berupa bentuk gagasan, sifat dan warna bunyi. Namun dalam pengkajiannya masih sering berpadu dengan unsur-unsur lain, seperti bahasa, gerak ataupun warna.[6]

Kemudian, pendapat berikut merupakan pengertian musik yang cukup luas dan cukup relevan untuk dijadikan acuan dalam penelitian ini (tanpa mengabaikan pendapat tentang pengertian musik yang telah disampaikan sebelumnya). Pengertian ini menyatakan bahwa musik berasal dari bahasa Yunani mousike, yang memiliki beberapa arti, yaitu: 

a. Seni[7] dan ilmu pengetahuan yang membahas cara meramu vokal atau suara-suara alat musik dalam berbagai lagu yang dapat menyentuh perasaan.

b. Susunan dari suara atau nada.

c. Pergantian ritme dari suara yang indah.

d. Kemampuan untuk merespons atau menikmati music.

e. Sebuah grup permainan musik dan lain-lain.[8]

Dengan demikian, untuk menciptakan sebuah musik yang sempurna dan sesuai dengan pengertian musik sebagaimana dijelaskan diatas, para ahli musik berpendapat bahwa dalam menciptakan musik, di dalamnya harus terdapat beberapa unsur pokok, di mana tanpa unsur-unsur pokok itu musik tidak akan tercipta secara sempurna. 

Menurut Ihwān as-Şāfa, unsur yang harus terpenuhi dalam musik adalah suara yang mengandung lagu (lahn), nada (nagm), dan cengkok (iqā’at). Al-Farabi juga memiliki pendapat bahwa unsur pokok musik adalah lagu (al-alhān), yaitu kumpulan ritme yang disusun dengan urutan dan ketentuan tertentu. Kedua pendapat ini (Ihwān as-Şāfa dan al-Farābi) menunjukkan bahwa lagu dan ritme merupakan sumber utama dalam musik.[9]

Pendapat yang lebih detail mengenai unsur pokok dalam musik dijelaskan oleh Joseph Machlish dengan menerangkan bahwa terdapat lima unsur pokok dalam musik, yaitu musical line, musical space, musical time, musical pace, dan musical color.

Unsur pertama; musical line adalah lagu, yaitu pergantian nada-nada yang dirasakan oleh akal sebagai sesuatu yang ada (entity). Lagu inilah yang disebut sebagai rohnya musik.

Unsur kedua; musical space yaitu harmoni. Menurut Phythagoras harmoni itu terletak pada nada-nada yang serasi berbanding dengan panjang dawai dalam bentuk bilangan yang sederhana.

Unsur ketiga; musical time, yaitu ritme yang terdiri dari ketentuan perpindahan musik dalam waktu.

Unsur keempat; musical pace, yaitu tempo. Tempo merupakan ketentuan kecepatan dalam sebuah musik. Kemudian unsur kelima; musical color, yaitu warna nada (timbre).[10]

Selain unsur-unsur pokok dalam musik yang disampaikan di atas, untuk mengetahui substansi musik, berikut akan dijelaskan pendapat beberapa ahli musik mengenai asal musik. 

Menurut Dr. Abdul Muhaya, secara garis besar terdapat dua kelompok mażhab pemikiran.

Pertama, Mażhāb revalationism; bahwa musik berasal dari alam metafisika melalui tersibaknya tabir atau pewahyuan. Teori ini merupakan perpanjangan dari teori Pythagoras yang menyatakan bahwa filsafat adalah kebahagiaan yang sejati, sedangkan jalan keselamatan dan pemurnian adalah musik yang paling tinggi.

Lebih detil lagi Pythagoras menjelaskan bahwa suara-suara adalah aksiden (‘arād) yang bertempat pada substansi melalui gerakan. Putaran ruang angkasa yang menggerakkan planet-planet dan bintang-bintang itu memiliki nada (ritme), serta menghasilkan musik yang mengagungkan dan memuliakan Tuhan.[11]

Teori ini kemudian dikembangkan lagi oleh Ihwān as-Şāfa dengan pendapatnya bahwa musik adalah bunyi yang dihasilkan oleh gerakan jagat raya. Jagat raya ini tersusun dengan komposisi termulia dan gerakan dengan komposisi yang mulia juga. 

Gerakan-gerakan itu menghasilkan suara yang indah, harmonis, terpadu, silih berganti, dan enak didengar serta dapat membahagiakan jiwa ahli langit, malaikat, dan jiwa-jiwa yang bercahaya (an-nafs al-basīţah/jiwa-jiwa yang substansinya lebih mulia daripada susbstansi alam jagat raya).[12] Dengan demikian dapat diketahui mażhab ini mengakui bahwa setiap gerakan yang kasat mata dan tak kasat mata di alam raya bersifat musikal.

Secara esoterik, musik adalah awal dan akhir alam semesta,[13] sehingga musik juga berfungsi sebagai pengatur kehidupan. Dengan kebersihan jiwa dan ketajaman pikiran, manusia dapat menggunakan musik sebagai jalan untuk mencapai pendengaran spiritual[14] yang paling tinggi. Seorang tokoh spiritual besar India; Hazrat Inayat Khan mengatakan:

Musik dalam bahasa sehari-hari hanyalah miniatur dari apa yang dibalik itu, dan yang merupakan sumber dan asal hakikatnya. Karena itulah orang bijak di segala zaman menganggap musik sebagai sebuah kesenian yang sakral; karena di dalam musik penonton dapat melihat gambaran dari keseluruhan alam semesta, dan di  dalam lingkup musik orang bijak bisa menginterpretasikan rahasia dan sifat dari karya seluruh alam.”[15]

Mażhab kedua adalah mażhāb naturalism, di mana mażhab ini beranggapan bahwa kemampuan manusia untuk menciptakan musik merupakan fitrah sebagaimana fitrah manusia yang mampu melihat, mencium, mendengar dan berjalan. Filosof yang termasuk dalam mażhab ini adalah al-Farabi. Ia berpendapat bahwa manusia memiliki tabiat menangkap suara indah disekelilingnya, kemudian dari itulah musik tercipta oleh manusia.

Max Muller juga memiliki teori yang sama dengan al-Farabi, bahwa musik merupakan kreatifitas manusia yang muncul setelah manusia mendengarkan suara-suara alam yang indah. Manusia menyeleksi suara-suara alam, kemudian suara yang tidak disukainya dibuang dan suara yang indah diterimanya. Suara yang indah itu dipadukan dengan suara-suara lainnya sehingga muncullah harmonisasi suara indah yang akhirnya melahirkan sebuah komposisi musik.[16]

Dari awal penjelasan di atas tentang pengertian musik, unsur pokok dalam musik serta pendapat ahli musik tentang asal musik, dapat diketahui bahwa substansi musik adalah suara, di mana para ahli fisika, termasuk Ibn Şīna menyatakan bahwa suara adalah gelombang udara. Secara ontologis musik merupakan perpaduan antara unsur material dan spiritual; tersusun dari elemen-elemen yang bersifat jasmaniah dan rohaniah. Adapun esensi musik berupa substansi rohaniah, yaitu jiwa pendengar.[17]

Mengenai musik spiritual yang dibahas dalam penelitian ini adalah musik spiritual yang berkembang dalam dunia spiritual Islam, yaitu musik yang digunakan oleh para sufi, yang lebih dikenal dengan istilah as-samā’. As-samā’ secara bahasa berasal dari bahasa Arab; samā‘, sam‘, sami‘a, yang berarti mendengar (to hear).[18]

Dalam kamus al-Munjid kata as-samā’ diartikan sebagai mengindera suara melalui pendengaran dan juga dapat diartikan al-gina’ (nyanyian/musik). Kata as-samā‘, dalam bahasa Arab Klasik bisa berarti nyanyian/musik atau alat musik.[19] Kemudian istilah ini dikenal sebagai sebutan untuk penggunaan musik oleh para sufi sebagai sarana pencarian Tuhan, atau sebagai alat bantu kontemplatif.[20]

Secara substansial praktek as-samā‘ merupakan salah satu dari pengalaman mistis para sufi, yang menurut William James, pengalaman mistis itu memiliki empat karakteristik yaitu :

a. Tidak dapat dilukiskan.

b. Kebenarannya tidak dapat diragukan lagi oleh para penempuhnya.

c. Merupakan kondisi spiritualitas yang cepat sirna namun berkesan sangat kuat.

d. Merupakan kondisi pasif yang datang dari anugerah Tuhan. 

Oleh karena itu as-samā’ dalam kalangan sufi memiliki arti yang beragam dan penjelasannya melalui bahasa tidak pernah sampai pada deskripsi realitas sebenarnya.[21]

Żu an-Nun al-Mişri berpendapat bahwa mendengarkan musik adalah sentuhan dari Allah yang membangkitkan hati menuju Allah, kecuali mereka yang mendengarkan dengan nafsu maka ia termasuk orang sesat (zindīq).

Kemudian al-Qusyairi juga memberikan penjelasan dalam risalahnya tentang as-samā’ dengan mengatakan bahwa as-samā’  adalah menemukan berbagai rahasia yang tersembunyi (al-guyūb) melalui pendengaran hati, dengan pemahaman hati nurani terhadap hakekat Tuhan yang dituju (al-murād).[22]

Dalam beberapa sumber tentang tasawuf, as-samā’ dapat diartikan secara eksoterik, sebagai kegiatan mendengarkan musik atau nyanyian atau sya’ir (lagu-lagu) untuk mencapai derajat ekstase (wajd).[23]

Elemen sentral yang menjadikan praktek spiritual ini disebut musik sufi adalah: di dalamnya terdapat ritual yang menggunakan suara manusia yang membacakan sya’ir-sya’ir yang ditujukan kepada Tuhan, Nabi Muhammad dan para wali.[24]

Kekuatan utama yang menghidupkan musik dalam praktek as-samā’ adalah manifestasi kata-kata Tuhan secara esensial. Kata itu mengingatkan manusia terhadap suatu kondisi sebelum penciptaan, masih bersatu dengan jiwa universal, terpancar dari cahaya original.[25]

Para sarjana Barat kebanyakan mengartikan as-samā’ dengan listening to music and singing, spiritual music, dan spiritual concert. Ini karena para sarjana barat itu melihat bentuk lahiriah dari praktek as-samā‘, yang berupa kegiatan mendengarkan sya’ir, nyanyian yang diiringi instrumen musik secara berkelompok (konser musik).[26]




[1] Dieter Mack, Musik Kontemporer dan Persoalan Interkultural, (Yogyakarta:  Arti Line, 2001), hlm. 80
[2] Muskologi adalah ilmu musik; penyelidikan tentang musik, alat-alat musik serta proses sejarah  perkembangan musik. Pius A.  Partanto  dan M.  Dahlan al-Barry,  Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 2001), hlm. 501.
[3] Dewan Bahasa dan Pustaka, Kamus Dwi Bahasa (Bahasa Inggris dan Bahasa Malaysia), (Kuala Lumpur: Kementrian Pendidikan Malaysia, 1991), hlm. 814, juga  dalam WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hlm. 664.
[4] Atabiq Ali, Kamus  Inggris Indonesia Arab, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003), hlm. 832
[5] Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990, cet. 3), hlm. 602
[6] Iwan Buana, et. al., Buku Trapara (Training Paduan Suara) UIN Jakarta, (Jakarta: Panitia Trapara UIN Jakarta, 2002), hlm.71
[7] Seni memiliki pengertian yang beragam, antara lain: “Keterampilan yang dicapai dalam pengalaman yang memungkinkan untuk menyusun, menggunakan secara sistematis dan internasional sarana-sarana fisik agar memperoleh hasil yang diinginkan menurut prinsip-prinsip estetis, entah ditangkap secara intuitif atau kognitif”. Lorens Bagus, Kamus Filsafat, PT. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm. 987
[8] Abdul Muhaya,  Bersufi Melalui Musik, Sebuah Pembelaan Musik Sufi Oleh Ahmad al-Gazāli, (Yogyakarta: Gama Media, 2003), hlm. 17
[9] Ibid., hlm. 28.
[10] Ibid., hlm. 28-29
[11] Ibid., hlm. 22-24
[12] Ibid
[13] Inayat Khan, Dimensi Mistik Musik dan Bunyi, terj. Subagijono, Fungki Kusnaendi Timur, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002), hlm. 13
[14] Spiritual memiliki beberapa pengertian, antara lain: 1. Tidak jasmani (immaterial) terdiri dari roh, 2. Mengacu pada kemampuan-kemampuan lebih tinggi (mental, intelektual, estetik, religius) dan nilai-nilai pikiran, 3. Mengacu pada nilai-nilai manusiawi yang non material seperti kejujuran, cinta, keindahan, kebaikan, kejujuran dan kesucian, 4. Mengacu ke perasaan religius dan estetik. Lorens Bagus, Kamus…, hlm. 1034
[15] Inayat Khan, Dimensi Mistik…, hlm. 22
[16] Abdul Muhaya, Bersufi Melalui…, hlm. 26-27.
[17] Ibid. hlm 29-30.
[18] J. Milton Cowan (ed), A Dictionary of Modern Written Arabic, (Beirut: Libririe Du Liban, dan London: Mac Donald & Evans LTD, 1980), hlm. 430
[19] Abdul Muhaya, Bersufi Melalui…, hlm 12-13.
[20] Cyril Glasse, “as-sama‘” dalam Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam Ringkas, terj. Ghufron A Masudi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 352.
[21] Abdul Muhaya, Bersufi Melalui…,  hlm 15-16.
[22] Ibid., hlm. 13-15.
[23] Ibid., hlm. 16.
[24] Carl W. Ernst, Ajaran dan Amaliah Taswuf, terj. Arif Anwar, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2003), hlm. 254
[25] Jean Louis Michon, “Musik dan Tarian Suci dalam Islam” dalam Seyyed Hossein Nasr, (ed.), Ensiklopedi Tematis Spiritual Islam, Manifestasi, terj. M. Sholihin Ariyanto, Ruslani, M.S. Nasrullah, Dodi Salman, Kamarudin SF., (Bandung: Mizan, 2003), hlm. 608-609
[26] Abdul Muhaya, Bersufi Melalui…,  hlm. 17.

No comments:

Post a Comment