1.
Rukun Jual-Beli
Menurut
Jumhur Fuqoha’ ada empat rukun dalam jual-beli : pihak Penjual, pihak pembeli, sighat,
dan obyek jual-beli. Dalam hal ini pihak penjual dan pembeli termasuk dalam
pihak yang berakad ('aqid), sedangkan sighat merupakan unsur dari akad.
Adapun
penjelasannya adalah sebagai berikut :
a. Akad (‘aqd) dalam jual-beli yaitu
ikatan kata antara penjual dan pembeli.[1]
Yang
terdiri dari ijab dan qabul (sighat akad). Sedangkan pengertian ijab ialah
pernyataan pihak pertama mengenai isi perkataan yang diinginkan dan qabul
adalah pernyataan pihak kedua untuk menerima.[2] Namun apabila terkecuali
jual-beli barang-barang remeh, tidak perlu adanya ijab dan qabul, cukup dengan
saling memberi sesuai dengan adat yang berlaku.[3]
b. Akid (‘aqid), yaitu orang-orang yang
berakad yang terdiri dari pihak penjual pihak pembeli.
c. Objek akad (ma’kud alaih), yaitu
sesuatu hal atau barang yang disebut dalam akad.
2.
Syarat Jual-Beli
Syarat
sahnya jual-beli yang mengacu pada rukun jual-beli dijelaskan sebagai
berikut:
a. Syarat dalam Akad
Akad
dapat dikatakan sah apabila telah terpenuhi rukun dan syaratnya, rukun akad
ialah ijab dan qabul atau sering disebut
dengan shighat akad,[4] sedangkan syarat-syarat
akad dalam jual-beli adalah :
1) Pihak penjual dan pembeli
berhubungan di satu tempat tanpa ada pemisahan yang dapat merusak akad.[5]
Misal
pembeli melakukan transaksi dengan penjual A namun belum ada kesepakatan
diantara keduanya, kemudian pembeli pindah ke penjual B untuk bertransaksi lagi
namun belum ada kesepakatan, kemudian pembeli kembali ke penjual A, maka akad
(transaksi) yang pertama kepada penjual sudah tidak berlaku dan harus dilakukan
akad (transaksi) kembali. Dasar hukumnya ialah hadist riwayat muslim yang berasal
dari Ibnu Umar :
عن
ابن عمر رضي الله عنهما قال رسول الله صلى الله عليه و سلم كل بيعين لا بيع بينهما
حتى يتفرقا إلأ بيع الخيار
“Bersumber
dari Ibnu Umar, ia berkata : Rasulullah bersabda : Masing-masing penjual dan
pembeli, tidak akan terjadi jual-beli diantara mereka sampai mereka berpisah,
kecuali dengan jual-beli khiyaar”.[6]
2) Ada kesepakatan ijab dan qabul pada
barang dan kerelaan berupa barang dan harga barang.[7] Dasar hukumnya dapat
ditemukan dalam Surat Annisa’ ayat 29,
يا
أيها الذين آمنوا لا تأكلوا أموالكم بينكم بالبطل إلا ان تكون تجرة عن تراض منكم و
لا تقتلوا أنفسكم إن الله كان بكم رحيما
"Wahai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama
suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah
maha penyayang kepadamu".[8]
3) Tidak digantungkan dengan sesuatu yang
lain dan tidak dibatasi dengan periode waktu tertentu. syarat ini menurut imam
mazhab empat.[9]
b. Syarat dalam ‘akid (pihak-pihak
yang berakad) yaitu berakal, dengan kehendaknya sendiri (bukan paksaan), baligh
(mumayyiz menurut para mazhab),[10] namun anak-anak yang
sudah mengerti jual-beli tetapi belum mencapai baligh menurut pendapat ulama’
diperbolehkan asalkan jual-belinya dalam barang-barang remeh.[11]
Adapun
dasar hukum yang menyatakan seorang akid harus berakal sesuai dengan firman
Allah dalam Surat An-Nisa’ ayat 5 :
و
لا تؤتوا السفهاء أموالكم التي جعل الله لكم قيما و ارزقوهم فيها و اكسوهم و قولوا
لهم قولا معروفا
“Dan
janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta
(mereka yang ada dalam kekuasaanmu), yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan,
berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada
mereka kata-kata yang baik”.[12]
c. Syarat dalam ma’qud 'alaih (obyek
akad),
Syarat-syarat
barang yang boleh diperjualbelikan ialah suci, bermanfaat, dapat
diserahterimakan, milik sendiri, diketahui kadarnya.[13]
Adapun penjelasannya sebagai berikut :
1) Barang yang diperjualbelikan harus
suci ini sesuai dengan hadist nabi yang diriwayatkan oleh Jabir RA:
قال
رسول الله صلى الله عليه و سلم ان الله و رسوله حرّم بيع الخمر و الميتتة و
الخنزير و الأصنام
“Rasulullah
SAW, bersabda : sesungguhnya Allah dan Rasulnya telah mengharamkan menjual
arak, bangkai, babi dan berhala”.[14]
Dalam
hadits ini dijelaskan bahwa tidak diperbolehkan menjual barang-barang seperti
arak, bangkai, babi karena barang-barang tersebut ialah benda atau
barang-barang najis sehingga dapat disimpulkan bahwa semua barang atau benda
yang najis tidak dapat diperjual belikan.
2)
Barang yang diperjualbelikan harus ada manfa’atnya
Jual-beli
yang tidak ada manfaatnya adalah termasuk sikap orang-orang yang
menyia-nyiakan hartanya, ini tentunya
berbalik dengan tujuan jual-beli yaitu pemenuhan kebutuhan manusia melalui
perdagangan. Apalagi jual-beli barang yang banyak madharatnya seperti jual-beli
khamr, narkotika, senjata berbahaya jual-beli dan lain-lain. Hal ini tentunya
dilarang oleh agama. Seperti ditunjukkan dengan firman Allah dalam surat
al-Isra’ ayat 27 :
إن
المبذّرين إخوان الشيطين و كان الشيطن لربه كفورا
“Sesungguhnnya
pemboros-pemboros itu (orang-orang yang menyiakan harta) adalah saudara-saudara
setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhan-Nya”.[15]
3) Barang yang diperjual-belikan dapat
diserahterimakan barang yang diperjualbelikan harus dapat diserahterimakan baik
cepat maupun lambat sesuai dengan akadnya,[16] diketahui ukuran dan
sifat-sifatnya sehingga ada kejelasan terhadap barang tersebut sehingga jauh
dari unsur-unsur gharar, maksudnya
Apabila barang yang diperjual-belikan tidak jelas dan tidak dapat
diserahterimakan seperti menjual binatang yang lari dan sulit ditangkap, atau menjual
ikan dalam laut, burung yang terbang, jual-beli seperti ini termasuk jual-beli
gharar (tipu daya) sehingga merugikan salah satu pihak. Ini sesuai dengan
hadist nabi yang menunjukkan larangan jual-beli gharar (tidak jelas):
عن
ابي هريرة رضي الله عنه قال نهى رسول الله صلى الله عليه و سلم عنبيع الحصات و عن
بيع الغرر
“Bersumber
dari Abu Hurairah, beliau berkata : Rasulullah SAW melarang jual-beli kerikil
(bai’ul hashat) dan jual-beli yang sifatnya tidak jelas bai’ul gharar)”.[17]
4)
Ada unsur milkiyah atau milik penjual,
Tidak
sah hukumnya menjual barang milik orang lain kecuali dengan izin atau
diwakilkan oleh pemilik barang, adapun dasar hukumnya adalah hadist Nabi yang
diriwayatkan oleh Hakim bin Hizam.
لا
تبيعن شيئا حتى تقبضه
“Tidak
sah jual-beli melainkan pada barang yang dimiliki”.[18]
d. Menurut Fuqoha’ Hanafiyah
menambahkan syarat sihhah yaitu Dalam jual-beli tidak mengandung salah satu
unsur yang menyebabkan batalnya akad yaitu ketidakjelasan (jihalah), paksaan
(ikrab), dan pembatatasan waktu (tauqid), tipu daya (gharar), dharar (aniaya)
dan persyaratan yang merugikan salah satu pihak.[19]
[1] Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh
al-Islamiy wa Adillatihi, Juz IV, Suriyah: Darul Fikr, 1989, hlm. 347.
[2] Ahmad Basyir, Asas-asas Hukum
Muamalah (Hukum Perdata Islam), Edisi Revisi, Yogyakarta: UII Press, 2000, hlm.
65.
[3] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah
(Alih Bahasa Oleh Kamaluddin A. Marzuki), Jilid 12, Bandung: Alma’arif,1988,
hlm 49.
[4] Ahmad Basyir, op. cit., hlm.
69
[5] Sayyid Sabiq, op. cit., hlm.
50.
[6] Imam Abu Husein Muslim bin
Hajjaj, Shahih Muslim
(Terjemah
Oleh Adib Bisri Mustofa), Jilid III, Semarang: CV. Assyifa’, 1993, hlm. 22.
[7] Sayyid Sabiq, loc. cit
[8] Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir Al Qur'an, Al Qur'an dan Terjemahnya, (tt.p.: t.p., t.t),
hlm. 36.
[9] Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Cet I, Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2002, hlm. 125.
[10] Ibid.
[11] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam,
Cet. 17, Jakarta: Attahiriyah, 1976, hlm. 269
[12] Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir Al Qur'an, op. cit. hlm. 61.
[13] Sulaiman Rasjid, op. cit.,
hlm. 269-271.
[14] Al-Shan’ani, Subulussalam
(Alih Bahasa Oleh Abu Bakar Muhammad), Jilid III, Surabaya: Al-Ikhlas, 1995,
hlm. 17.
[15] Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir Al Qur'an, op. cit. hlm. 227.
[16] Gufron A. Mas’adi, op. cit.,
hlm.73.
[17] Imam Abu Husein Muslim bin
Hajjaj, op. cit., hlm. 4.
[18] Moh Rifa’i, et al., Terjemah
Khulasoh Khifayatul Akhyar, Semarang: CV. Toha Putra, hlm. 187.
[19] Gufron A. Mas’adi, op. cit.,
hlm. 122.
No comments:
Post a Comment