Imam
Abdurrahman al-Jaziri mengatakan bahwa syarat atau sebab diwajibkannya
pemberian nafkah adalah sebagai berikut :
1.
Adanya hubungan perkawinan
2.
Adanya hubungan kerabat
3.
Adanya kepemilikan.[1]
Adapun
Zakaria Ahmad al-Barry menyebutkan syarat-syarat diwajibkannya memberi nafkah
sebagai berikut :
1.
Adanya hubungan kekeluargaan
2. Anggota kaum kerabat yang
bersangkutan memang membutuhkan nafkah
3. Anggota kaum kerabat yang
bersangkutan tidak sanggup mencari nafkah
4. Orang yang diwajibkan memberi
nafkah itu hendaknya kaya, mampu, kecuali dalam masalah nafkah ayah dan ibu
yang telah diwajibkan kepada anak, dan nafkah anak yang telah diwajibkan kepada
ayah.
5.
Yang memberi nafkah dan diberi nafkah itu seagama, kecuali dalam masalah
nafkah ayah kepada anaknya dan anak kepada orangtuanya. Jadi saudara yang
beragama islam tidak wajib memberi nafkah kepada saudaranya yang non islam,
karena mereka berdua berlainan agama.[2]
Dari
sebab-sebab di atas, maka dapat dibedakan antara orang yang berkewajiban
memberi nafkah dan orang yang berhak menerima nafkah:
1. Orang-orang yang berkewajiban
memberi nafkah :
a. Menurut hubungan perkawinan
Memberikan
nafkah adalah kewajiban suami sebagaimana diatur dalam UU Perkawinan No 1 tahun
1974 Pasal 34 ayat 1. Suami adalah kepala keluarga didasarkan karena kelebihan
(tubuh / fisik) yang diberikan tuhan kepadanya dan berdasarkan ketentuan tuhan bahwa
suami berkewajiban untuk membiayai kehidupan keluarga.[3]
Dalam
al-Qur’an dijelaskan :
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita) dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (Q.S.
An-Nisa’ : 34)[4]
Karena
kelebihan fisik ini maka suami diberi kewajiban memberi nafkah dan menyediakan
tempat tinggal untuk istri dan anak-anaknya.[5]
b. Menurut hubungan kerabat, dibedakan
menjadi :
1). Yang termasuk garis lurus ke atas
ialah: bapak, kakek, dan seterusnya ke atas
2). Yang termasuk garis lurus ke
bawah: anak, cucu, dan seterusnya ke bawah.
3). Yang termasuk garis menyamping
ialah: saudara, paman, bibi, dan lain-lain
c. Menurut hubungan kepemilikan
Hal
ini didasarkan kepada kaidah umum, “Setiap orang yang menahan hak orang lain
atau kemanfaatannya, maka ia bertanggung jawab membelanjainya”.[6]
Dalam
hal kepemilikan dapat dicontohkan: bahwa orang yang memelihara ternak harus
mengeluarkan biaya untuk perawatan kehidupan ternaknya.
2.
Pihak-pihak yang berhak menerima nafkah adalah :
a. Menurut hubungan perkawinan adalah
istri.
Apabila
telah sah dan sempurna suatu akan perkawinan antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan, maka sejak itu kedudukan laki-laki berubah menjadi suami dan
perempuan berubah menjadi istri, dan sejak itu pula istri memperoleh hak
tertentu disamping kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan. Hal yang
menjadi kewajiban suami merupakan hak bagi istrinya, yang mana nafkah termasuk
hak istri.
b. Menurut hubungan kerabat
Yang
dimaksud di sini adalah anggota kerabat yang membutuhkan. Berdasar ketentuan
ini pula, maka ayah tidak wajib memberi nafkah kepada anaknya, kalau anak itu
sudah mencapai penghasilan yang layak bagi kehidupannya.
c. Menurut hubungan kepemilikan
Pihak
yang berhak menerima nafkah karena hubungan kepemilikan adalah pihak yang
dimiliki. Zakaria Ahmad al Barry menuliskan pendapat para ulama tentang orang yang
berhak menerima nafkah sebagai berikut :
a. Imam Malik, berpendapat bahwa
nafkah wajib diberikan oleh ayah kepada anak dan kemudian anak kepada ayah
ibunya dan terbatas hanya disitu saja, dan tidak ada kewajiban terhadap orang
lain selain tersebut.[7]
b. Imam Syafi’i, berpendapat bahwa nafkah itu
wajib diberikan kepada semua keluarga yang mempunyai hubungan vertikal, ke atas
dan ke bawah, tanpa membatasi dengan anggota-anggota yang tertentu.[8]
c. Imam Hanafi, berpendapat bahwa
kewajiban memberi nafkah itu berlaku kepada semua anggota keluarga yang muhrim.
Jadi, seseorang wajib memberi nafkah kepada semua kaum keluarganya yang muhrim dengannya.
Dan dengan demikian, maka lingkup wajib nafkah itu bertambah luas lagi. Ayah
wajib memberi nafkah kepada anak dan cucunya, dan anak wajib memberi nafkah
kepada ayah ibunya sebagai hubungan vertikal dan juga kepada saudara, paman,
saudara ayah dan saudara ibu.[9]
d. Imam Ahmad ibn Hanbal, berpendapat
bahwa nafkah itu wajib diberikan kepada semua kaum keluarga yang masih saling
mewarisi, jika salah seorang dari mereka meninggal dunia. Jadi lingkupnya lebih
luas, mencakup kaum keluarga seluruhnya, muhrim dan bukan muhrim.[10]
[1] Abdurrahman al-Jaziri, Kitab
Fiqh `ala Madzhab al-Arba`ah, Juz IV,
Beirut: t. tp., 1969, hlm. 220.
[2] Zakaria Ahmad Al-Barry, Hukum
Anak-anak dalam Islam, Alih bahasa Dra. Chatijah Nasution, Jakarta : Bulan
Bintang, t.th., hlm. 91.
[3] Mohd. Idris Ramulyo, Hukum
Perkawinan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, Cet ke-5, 2004, hlm. 66.
[4] Departement Agama RI,
Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op. Cit., hlm. 123.
[5] Mohd. Idris Ramulyo, Op. Cit.,
hlm 67.
[6] Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah,
Terj. M. Thalib, Jilid 7, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986, hlm. 75 – 76.
[7] Zakaria Ahmad al-Barry, Op.
Cit., hlm. 74.
[8] Ibid., hlm. 76.
[9] Ibid., hlm 77
[10] Ibid., hlm 78
No comments:
Post a Comment