SYARAT-SYARAT TALAK


a. Syarat bagi yang menalak (Muthalliq)

1) Berakal Sehat, Baligh, dan Memiliki Hak Pilih

Semua ulama’ sepakat bahwa mukallaf (Baligh dan berakal) menjadi syarat sah jatuhnya talak, dan yang paling inti bahwa suami yang menjatuhkan talak tidak dalam kondisi terpaksa (ikrah). Maka terjadi khilaf diantara ulama’ jika ada cacat dalam kemukallafan suami.[1] Seperti suami terpaksa dalam melakukannya[2] (ikrah), suami yang dalam keadaan mabuk[3] (syakr), suami yang sedang marah[4] (ghadhab).[5]

b. Syarat bagi yang ditalak (Mutahallaqah)

Para ulama’ fiqh sepakat bahwa istri yang boleh ditalak oleh suami ialah:[6]

1) Istri yang telah terikat perkawinan yang sah dengan suaminya. Ini sesuai dengan riwayat dari ibnu Abbas :

أخبرنا عبد الرزاق قال أخبرنا بن جريج قال سمعت عطاء يقول قال ابن عباس لا طلاق إلا من بعد النكاح (رواه ابو بكر عبد الرزاق بن همام الصنعاني)

Diriwayatkan dari Abdur Razzaq, diriwayatkan dari Juraij, Ia berkata : Saya mendengar atha’ berkata bahwa Sahabat ibnu Abbas berkata :  tidak sah talak kecuali terhadap perempuan yang sudah dinikahinya.” (HR. Abu Bakar Abdur Razak bin Himam As-Shon’ani)[7]

2) Istri yang dalam keadaan suci yang dalam keadaan belum dicampuri oleh suaminya dalam masa suci itu.

c. Syarat dalam shighat talak[8]

Shighat talak ada yang diucapkan dengan perkataan yang jelas (sharih)[9] dan ada yang diucapkan dengan sindiran (kinayah).[10] Ulama’ sepakat bahwasanya talak yang menggunakan lafadz sharih tidak perlu di iringi dengan niat. Artinya jika suami mengucapkan lafadz talak dengan kalimat yang sharih sekalipun dia tidak meniatkannya, talak telah jatuh kepada istrinya. Beda dengan kinayah, diperlukan niat dari suami untuk mengesahkan talak dari kalimat yang dipakai untuk menceraikan istrinya.

Menurut Madzhab Syafi’i,  standarisasi redaksi tersebut sharih atau tidak dilihat dari penggunaan katanya. Menurut pendapat madzhab ini kata yang menunjukkan sharih untuk talak ada tiga, yaitu ; talak, firaq, dan saraah. Hal ini karena tiga kata tersebut dipakai dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan makna cerai, yakni dalam surat Ath-Thalaq (65) ayat 1, An-Nisa’ (4) ayat 130, dan Al-Baqarah (2) ayat 229.[11]

Berbeda dengan Syafi’i, jumhur ulama’ (Hanafi, Maliki dan Ja’fari) memandang bahwasanya ke-sharihan redaksi yang bermakna menceraikan istrinya hanyalah terkandung dalam lafazh talak. Adapun redaksi firaq dan saraah adalah bermakna kinayah, meskipun dalam Al-Qur’an dipakai untuk talak tapi digunakan pula bukan untuk keperluan talak.[12]

d. Syarat Bagi Thalak Itu Sendiri

Adapun syarat yang harus dipenuhi dalam thalak ialah maksud (القصد) Yakni mengucapkan lafazh talak dengan maksud sesuai makna yang terkandung dalam lafazh itu sendiri, yakni thalak. sekalipun ia tidak memiliki niat untuk menceraikan istrinya, tapi ia sadar akan apa yang ia ucapkan dan makna dri lafadz yang ia ucapkan. Maka hukumnya sah thalak ketika itu.[13]




[1] Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta : Bulan Bintang, 1974, hlm. 150. Dalam hal kedewasaan (baligh) terjadi khilaf diantara ulama’ yakni talak yang dijatuhkan suami yang belum dewasa secara umur (belum baligh yang ditandai dengan ihtilam) tapi secara pikiran ia paham dan mengerti akan talak yang diucapkannya. Jumhur berpendapat bahwa talaknya tidak jatuh, karena tidak ada taklif baginya. Akan tetapi sebagian ulama’ berpendapat bahwa talaknya jatuh dengan mempertimbangkan pengetahuannya tentang talak.
[2] Thalak dalam keadaan dipaksa maka hukumnya tidak sah, karena ia tidak bermaksud menjatuhkannya, akan tetapi ia melakukannya dengan tujuan menghindari bahaya yang datang kapada dirinya jika tidak malakukannya. Hal ini didasarkan kepada sabda Rasulullah SAW. ; (ان الله تجاوز لي عن امتي الخطأ) dan (لا طلاق في إغلاق) ulama syafi’iyah berpendapat bahwasanya jika kondisi ikrah itu disertai dengan niat, maka talaknya jatuh. Akan tetapi jika ia tidak menyertainya dengan niat maka hukum talaknya tidak sah. Lihat, Wahbah Zuhaily, Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu, Beirut : Daar Al-Fikr, 1997, hlm. 6885.
[3] Mabuk yang disebabkan karena alasan yang tidak diharamkan oleh Agama Islam seperti meminum khamr atau narkoba, maka thalaknya tidak sah. Sedangkan mabuk yang disebabkan oleh alasan yang dilarang agama sepereti meminum khamr atau narkoba dan dll, maka hukum talaknya adalah sah. Inilah pendapat yang dipegang oleh Jumhur Ulama’ Madzhab. Ini sesuai dengan Hadis Nabi dari Abu Hurairah ; (كل طلاق جائز إلا طلاق المعتوه) Sebagian Ulama’ Hanafiyah memandang, bahwasanya mabuk dengan alasan apapun tetap saja hakikatnya ia hilang akal dan tidak memahami akan apa yang ia ucapkan dan ia kerjakan. Oleh sebab itu talak yang dijatuhkan dalam keadaan mabuk dengan alasan apapun tetap tidak sah. Ibid., hlm. 6883.
[4] Thalak yang dilakukan dalam kondisi marah atau emosi tidak sah, jika marahnya itu dalam kondisi ia kalap. Yakni dalam kondisi tersebut ia tidak menyadari imbas dari apa yang ia ucapkan dan ia perbuat karena emosi yang tinggi menutup akal sehatnya, dan ia tidak bertujuan untuk melakukan hal yang demikian dalam kondisi yang normal (tidak marah). Adapun jika terbukti thalak yang diucapkannya bermaksud menjatuhkan talak, maka hukumnya sah talaknya. Ibid., hlm. 6882.
[5] Ibid., hlm. 150-152.
[6] Kamal Mukhtar, op. cit., hlm. 154-155.
[7] Abu Bakar Abdur Razak bin Himam As-Shon’ani, Mushannaf Abdur Razak, Beirut ; Daar Al-kutub, tt, hlm. 415.
[8] Shighat talak ialah perkataan yang diucapkan suami atau wakilnya diwaktu ia menjatuhkan talak kepada istrinya (redaksi talak yang diucapkan suami). Lihat Badran Abi Ainaini, op. cit., hlm. 320.
[9] Thalak Sharih, adalah lafadz (redaksi ucapan) yang telah jelas makna dan tujuannya dan secara kebiasaan lafadz tersebut digunakan untuk thalak. Seperti lafadz thalak, contoh ; “saya thalak kamu” atau “kamu haram bagi saya”, pada redaksi yang kedua sekalipun bentuknya berupa sindiran tapi secara kebiasaan lafadz tersebut sudah jelas arahnya, yakni menceraikan istrinya. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh Madzhab Hanafiah. Sedangkan menurut Madzhab Syafi’i, lafad dalam talak sharih tertentu dalam 3 lafazh, yakni ; 1. Thalak, 2. Firaq, 3. Sarh. pemakaian ini dilandaskan kepada pemaknaan lafadz tersebut dalam Al-Qur’an, surah Al-Baqqarah ; 229, Al-Baqarah ; 231, An-Nisa ; 130, dan Al-Ahzab ; 28. Sedangkan Thalak Kinayah adalah setiap lafadz yang bisa dipakai dan memilki makna thalak serta makna selain thalak, dan khalayak tidak memahami tentang pemakiannya untuk thalak, missal suami berkata kepada istrinya; “pergi kamu” atau “terserah kamu, maunya apa”, dll. Jumhur sepakat bahwa pemakaian lafadz kinayah dalam thalak, memiliki imbas hukum jika disertai dengan niat. Jika tidak maka thalaknya tidak jatuh kepada istrinya. Lihat, Abdur Rohman Al-Jaziri, op. cit., hlm. 259.
[10] Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita, Jakarta : Pustaka Al-Kautsar, 2008, hlm. 469.
[11] Abu Abdillah Muhammad bin Idris As-Syafi’i, Al-‘Um, Beirut : Daar Al-Fikr, 1990, hlm. 296.
[12] Lebih lanjut, Imam Malik membagi kinayah dalam dua macam ; Pertama, kinayah dzahirah yang berarti menurut lahirnya untuk tujuan perceraian, seperti lafadz firoq dan saraah. Kedua, kinayah muhtamilah, dengan arti ada kemungkinan digunakan untuk perceraian dan untuk makna lain. Dalam kinayah dzahirah tidak diperukan adanya niat, tapi daam kinayah muhtamilah diperlukan adanya niat. Badran Abi Ainaini, op. cit., hlm. 328.
[13] Talak Hazil, menurut pendapat para Ulama’ Fiqih bahwa dalam pembahsan dengan maksud dalam syarat yang keempat ini ada pembahsan tentang talang yang diucapkan dalam kondisi bercanda (الهازل) dan main-main (اللاعب). Adapun yang dimaksud dengan orang yang bercanda dalam konteks mereka ialah orang yang bermaksud mengucapkan lafadz thalak tanpa menginginkan terjadi makna dari lafadz tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan bermain-main ialah orang yang tidak bermaksud apa-apa baik secara lafadz ataupun maknannya. Adapun konsekuensi hukumnya ialah bahwa jika suami tidak ridho akan ucapan yang telah keluar dari mulutnya maka hukum thalaknya batal, tapi jika ia ridha maka hukum thalaknya sah. Sebagaimana dalam hadis Nabi SAW. (ثلاث جدهن جد و هزلهن جد النكاح و الطلاق و الرجعة). Lihat, Wahbah Zuhaily, op. cit., hlm. 6886.

No comments:

Post a Comment