Prosedur
mendapatkan otoritas kekuasaan legislatif dan pimpinan eksekutif dalam negara
penganut sistem demokrasi, sah dan konstitusional, legitimid dan kompetitif,
tak ada jalan lain kecuali pemilu.[1] Pemilu,
bagian dari sarana menghasilkan pemimpin yang sesuai dengan standar
tertentu.
Pemilu merupakan
indikator kualaitas demokrasi
paling nyata, dimana mandat otoritas diperoleh melalui cara-cara non militeristik.[2] Pemilu
merupakan tanggapan rakyat atas suatu gagasan, pemikiran atau tujuan yang hendak diwujudkan oleh calon pemegang
otoritas.[3]
Pendirian
institusi politik memang tidak secara tegas ditemukan dalam al-Qur’ān, namun
bukan berarti Islam asing dengan kekuasaan politik. Ajaran Islam tentang moralitas, etika, akidah, hukum, sosial dan ekonomi membutuhkan seperangkat
kekuasaan guna menopang
pelaksanaannya agar berjalan kuat dan efektif. Kekuasaan apapun bentuknya selama dapat mendorong dan menciptakan bangunan masyarakat yang memungkinkan melaksanakan ajaran Islam secara kosisten, lebih baik dari sistem pemerintahan Islam formal yang tak bisa berbuat banyak, bahkan
tak mampu menjamin pelaksanaan ajaran Islam secara baik.[4]
Isyarat
perlunya mendirikan satu kakuatan politik atau pemerintahan disinyalir berawal
dari pemahaman atas ayat al-Nisā’ ayat 58 dan 59:
إن
الله يأمركم أن تؤدوا الأمنت الى أهلها و إذا حكمتم بين الناس أن تحكموا بالعدل إن
الله نعما يعظكم به إن الله كان سميعا بصيرا
Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh
kamu) apabila menetapkan
hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pelajaran yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah Maha mendengan lagi Maha melihat.
(Q. S. al-Nisā’ : 58)
يا
أيها الذين آمنوا أطيعوا الله و أطيعوا الرسول و أولي الأمر منكم
Hai orang-orang
yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di
antara kamu. (Q. S. al-Nisā’ ayat 59).
Sekalipun
literal teks tidak menyebutkan soal pendirian negara, tetapi ayat ini
menjelaskan persoalaan keharusan menyerahkan amanah bagi ahlinya, menghukumi
orang secara adil sesuai ketentuan yang Allah tetapkan, dan keharusan mentaati
Allah, Nabi dan ulil amri.
Penafsiran
ulama kemudian berkembang pada upaya pendirian kekuasaan dalam bentuk negara,
setelah melihat kata ‘ulil amri’. Dimana
kata tersebut dimaknai sebagai ulama’, imām, umara’, penguasa dan khalifah yang diyakini bagian
elemen dari apa yang disebut negara.[5] Disisi
lain, ayat tersebut memerintahkan suatu kepatuhan selain kepada Allah dan Nabi,
juga kepatuhan terhadap ulil amri selama mereka berpegang pada shari’ah.
Bentuk
ulil amr pada ayat di atas diarahkan pada kekuasaan, setidaknya pemerintah
sebagai kekuatan politik yang di dalamnya terdapat elemen-elemen dimaksud yang
fungsinya mengurusi, menangani dan memerintah masyarakat. Maka makna kepatuhan
dimaksudkan kepatuhan terhadap pemimpin
(ulil amri) atau orang yang mengurusi kehidupan umat Islam, dimana kepatuhan
demikian mungkin terlaksana bila didahului oleh upaya menegakkan suatu kepemimpinan,
tujuannya tiada lain
adalah demi kemaslahatan umat
Islam,[6] yaitu
terealisasinya al-daruriyah al-khamsah.[7]
Karenanya
konteks kepemimpinan sebagai instrument sosial atau pengaturan sebuah tatanan
kehidupan yang lebih baik merupakan suatu kebutuhan yang bermenfaat, tidak
hanya bagi kolompok sosial tertentu, kemaslahatannya bersifat menyeluruh.
Itulah sebabnya ada perumpamaan yang menyatakan:
“Enam
puluh tahun dipimpin oleh pemimpin yang tidak adil lebih baik dari pada satu
malam hidup tanpa pemimpin sama sekali.”
Pernyataan
ini dimaksudkan sebagai upaya menghindarkan berbagai hal yang mungkin terjadi
akibat tiadanya kepemimpinan yang dapat mengelola, mengendalikan dan mengatur
tata kehidupan manusia. Begitu sulitnya sebuah kehidupan yang berjalan tanpa
sebuah nahkoda. Sebab itu, kekacauan kehidupan bermasyarakat akan mudah dikendalikan jika terdapat kepemimpinan yang kuat, yang
disegani dan dipatuhi oleh semua golongan.
Pola
kepemimpinan demikian merupakan bentuk kemaslahatan yang selaras dengan konsep asasul
al-khamsah (prinsip-prinsip dasar) dalam kehidupan Islam. Penegakan prinsip-prinsip dasar
tersebut pada tingkat aplikasi membutuhkan keterlibatan kepemimpinan yang kuat.
Dengan kata lain, kepemimpinan tidak
harus dimonopoli oleh
satu individu, namun harus ada pembagian secara seimbang sesuai kebutuhan yang berkembang di masyarakat.
Bila
pemimpin merupakan individu yang memiliki kekuatan dan wewenang, maka
kepemimpinan lebih bersifat isntrumen yang menopang tugas dan kewajiban seorang
pemimpin. Dalam konteks negara, maka
kepemimpinan bukanlah presiden, bukan pula pimpinan lembaga legislatif, melainkan sistem yang
menopang dan menjamin keberlangsungan
lembaga presiden dan legislatif, kongkritnya adalah organisasi atau negara.
Pemimpin
dan kepeminpinan satu hal yang saling terkait, kepemimpinan membutuhkan
pemimpin, pemimpin sulit berdiri diluar kepemimpinan. Atas dasar ini, maka
kepemimpinan macam apapun diperlukan dalam rangka menopang kehidupan
manusia, sekalipun al-Qur’an tidak secara tegas
menyebutkan keharusan
pendirian suatu negara. Negara dalam pandangan sebagian umat
Islam tetap dibutuhkan terlepas dari perbedaan konsep tentang keberadaannya,
negara nyatanya bagian dari realitas kehidupan umat Islam yang tak bisa
dihindari.
Sebagian
pemikir muslim melihat negara merupakan wilayah ijtihād, karenanya kelompok seperti Hassan Hanafī, Abed al-Jābirī menolak kesimpulan pendirian negara bagian dari risalah kenabian. Keberadaanya tidak harus dimaknai sebagai
kewajiban, namun kebutuhan yang menyelaraskan dengan penegakan konsep asas
al-khamsah.
Maka
tafsir perlunya mendirikan kekuasaan politik dalam bentuk negara menurut hemat
penulis sah-sah saja sepangjang keberadaan tidak menimbulkan problem bagi
penegakan ajaran Islam, dan tampkanya tidak benar asumsi yang menyatakan ajaran Islam akan sulit berkembang tanpa negara. Keduanya harus
diletakkan secara seimbang, sehingga dapat bersinergi tanpa harus
mempertentangkan satu sama lain. Mengingat banyak menfaat yang dapat diambil
dari berdirinya negara.
Adapun
soal pemilihan pemimpin sangat bergantung pada tingkat peradaban yang
berkembang, mengikuti tingkat kemajuan suatu masyarakat. Saat ini, demokrasi
menjadi tema universal yang banyak digandrungi oleh sejumlah bangsa, tak
terkecuali bangsa Indonesia. Sebagian kalangan
berpendapat bahwa untuk memperoleh kekuasaan
harus dilakukan melalui pemilihan dan suara mufakat, bukan dengan wasiat ataupun nash-kecuali kelompok minoritas shī’ah.[8]
Model
pemilihan pemimpin yang melibatkan partisipasi anggota masyarkat jauh
sebelumnya tradisi politik Islam telah memperaktekkan.[9]
Kekuasaan memang bukan tujuan akhir dari Islam, kekuasaan lebih berfungsi
sebagai sarana menjembatani berbagai kepentingan manusia.[10]
Karena hakikat kekuasaan hanya milik Allah yang manusia diberikan limpahan
memaksimalkan potensinya sebagai wakil-Nya di bumi untuk menegakkan hukum dan menjamin kebaikan.
Teori
fiqih, mengenai partisipasi masyarakat berdasarkan persetujuan kedua belah
pihak disebut sebagai teori kontrak.[11]
Sebuah bentuk transaksi yang memosikan
pemilih sebagai pemegang hak secara dominan sebagimana dalam teori mu’amalah.
Sebab, manusia pada dasarnya makhluk yang bebas berkehendak, bebas melakukan
interaksi sesuai kesepakatan. Maka selama kesepahaman antar kedunya masih
ada, selama itu pula kontrak kerjasama dipertahankan.[12]
Sebaliknya,
jika kesepahaman telah pudar, maka dimungkin pula terjadinya pemakzulan
(pencabutan) mandat terhadap pemimpin yang melanggar janji.[13]
Sekalipun opsi ini tidak banyak diamini oleh banyak kalangan. Maka kekuasaan
manusia terletakk pada komitmen menjalankan kesepakatan yang telah dibuatnya
sendiri, sehingga rakyat tetap berada dalam kesetiaan pada pemimpin bersangkutan.[14]
Topik
kepemimpinan dipandang perlu karena beberapa hal diantaranya: Pertama, adanya
Ijmā’ (kesepakatan sahabat yang ditunjukkan di Thaqifah).[15]
Kedua, menghindari adanya
bahaya sosial karena tidak adanya pemimpin yang
memungkinkan terjadinya kesemrautan
hububungan dan interaksi sosial.[16]
Ketiga, melaksanakan kewajiban agama yang penegakannya membutuhkan
perangkat negara.[17]
Pentingnya
sebuah pemimpin dapat ditemui pada sebuah riwayat berikut, yaitu:
حدثنا
علي بن بحر بن بريّ حدثنا حاتم بن اسماعيل حدثنا محمد بن عجلات عن نافع عن ابن
سلامة عن ابي سعيد الخدري أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال اذا خرج ثلاثة في
سفر فليؤمروا احدهم
“Apabila tiga
orang pergi bersafar,
maka hendaklah ada
yang menjadi pemimpin diantara
mereka”.[18]
عن
ابي سعيد الخدري أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال ان كنتم ثلاثة في سفر
فليؤمروا احدكم
“Jika
kalian bertiga dalam bepergian, makahendaklah ada yang memimpin di antara
kalian”.[19]
Abu
Sa’īd al-Khudhrī merupakan salah satu sahabat yang juga banyak merinyampaikan
hadīth. Al-Bukhārī dan Muslim tak sedikit meriwayatkan hadīth darinya, keadilan
Abu Sa’īd al-Khudhrī tak diragukan sebagai seorang sahabat. Hadīth di atas
bukan menjelaskan soal bagaimana
pemilihan pemimpin atau praktek memilih pemimpin, ataupun kewajiban memilih
pemimpin, namun hendaknya ada yang memimpin bagi suatu kelompok atau
memposisikan dirinya sebagai pemimpin diantara tiga orang tersebut. Dimana
menjadikan dirinya sendiri sebagai pemimpin atas orang lain berbeda dengan
seseorang menjadi pemimpin atas orang lain atau kelompok tertentu karena
dipilih atau diminta dan ditunjuk.
Sebab
yang pertama (menjadikan dirinya sendiri) sebagai pemimpin tidak mensyaratkan
persetujuan atau partisipasi aktif dari orang lain disekitarnya, tindakan ini
muncul atas kehendak pribadi, karenanya konteks menjadikan dirinya sendiri
sebagai pemimpin atas orang lain dapat saja muncul sebagai tindakan karena
merasa paling tua, merasa berpengalaman ataupun merasa bisa menjadi pemimpin,
sekalipun yang disekelilingnya tak menyetujui atau bahkan menolaknya. Penolakan
dari orang lain bisa tak bermakna apapun sepanjang keinginan menjadikan dirinya
sebagai pemimpin terus berjalan. Maka
tindakan demikian jauh dari kesan model pemilihan pemimpin macam apapun.
Sedangkan
yang kedua, menjadi pemimpin atas orang lain berdasarkan diminta ataupun
dipilih, hal ini berarti bahwa keberadaannya dikehendaki, setidaknya disetujui
untuk memimpin orang lain. Karena
diminta, maka ada interaksi dan partisipasi aktif -ataupun menolaknya
keberadaannya- dari mereka yang menghendaki terjadinya pemilihan pemimpin.
Menjadi
pemimpin atas orang lain berdasarkan diminta ataupun dipilih, sudah barang
tentu melibatkan unsur kemampuan, kecerdasan, pertimbangan rasional dan hal-hal
lain yang mendorong orang lain untuk memilih. Karenanya sulit dimengerti bila
sebagian kalangan memaksakan hadīth ini sebagai dasar keharusan memilih
pemimpin. Kedua teks hadīth tersebut tak
menyebutkan sama sekali perintah wajib melakukan pemilihan. Kalaupun terdapat
hadīth lain yang maknanya tak jauh
berbeda dari di atas seperti riwayat imam Ahmad dengan sanad yang lebih
sedikit:
عن
عبد الله بن عمرو ان النبي صلى الله عليه و سلم قال لا يحلّ لثلاثة يكونون بفلاة
من الأرض إلا أمّروا عليهم احدهم (رواه أحمد)
“Dari
Abdullah bin ‘Amr RA, sesungguhnya Nabi saw. bersabda: “tidak halal bagi tiga orang yang bepergian
kecuali mereka mengangkat di antara
mereka seorang pemimpin” (HR. Ahmad)
Hadīth
tersebut juga tak dapat menjadi penafsir atau memperjelas posisi hadith di
awal, apalagi dijustifikasi sebagai dasar kewajiban memilih pemimpin. Bentuk
teksnya jauh dari pemaknaan perintah memilih pemimpin. Karenanya, memilih
pemimpin bukanlah kewajiban agama ataupun kewajiban fakultatif sebagaimana
disinyalir fiqh klasik.[20]
Selain
tak didukung oleh teks, juga bertentangan dengan prinsip-prinsip agama. Agama
tak mewajibkan sesuatu pada umat manusia kecuali berdasarkan ketentuan instruksi al-Qur’ān dan hadīth.
الأصل
براءة من الذمة
Hukum
asal adalah bebasnya seseorang dari segala tanggung jawab.
Memilih seseorang
untuk dijadikan pemimpin
bukanlah konsen agama, karenanya
agama tak menilai sebagai suatu keharusan. Jika teks agama tak menyebutnya
sebagai kewajiban, maka tema pemilihan pemimpin posisinya berada dalam wilayah
hak. Hak individu untuk melakukan sesuatu yang bermenfaat untuk dirinya,
golongan dan masyarakat umum. Hak yang yang keberadaannya harus dilindungi sama
seperti melindungi asas al-khamsah.
Sebab memilih memimpin bagian dari upaya mengembangkan keberadaan yang
pokok tersebut.
Pemimpin
penting bagi kelompok manusia sekecil apapun. Ibnu Taymiyah memberikan ulasan
menarik terkait keberadaan pemimpin:
“Di
sini Rasulullah saw. Mewajibkan salah seorang menjadi pemimpin dalam sebuah
perkumpulan yang kecil dan bersifat mendadak (yakni dalam safar), sebagai
isyarat dan perhatian akan pentingnya hal itu pada semua bentuk perkumpulan
lain yang lebih besar. Juga karena Allah swt telah mewajibkan amar ma’ruf dan
nahi ‘anil mungkar. Sedangkan proyek besar itu tidak mungkin teralisasi dengan
baik tanpa adanya quwwah (otoritas) dan imarah (Kepemimpinan). Demikian pula
seluruh rangkaian ibadah
yang diwajibkan oleh Allah, seperti jihad, menegakkan keadilan,
haji, melakukan upacara-upacara ritual, membela yang
teraniaya dan menegakkan hukuman-hukuman, tidak mungkin semua itu
terealisasi tanpa adanya quwwah dan
imarah”.[21]
Komentar
tersebut memperkuat hemat penulis bahwa hadīth yang penulis sebutkan di awal
mencermikan kebutuhan adanya pemimpin, bukan kewajiban memilih pemimpin. Di
mana pemimpin tersebut diharapkan dapat membawa masyarakat pada cita-cita hidup
makmur, berkeadilan dan sejahtera.[22] Karena
pemimpin simbol dari setiap bentuk kehidupan,[23] baik
dan buruknya suatu sangat bergantung pada bentuk kepemimpinan dan
prinsip-prinsip kepemimpinannya.[24]
Sekalipun
pemimpin penting adanya, namun kita tidak diperkenankan meminta sebuah jabatan
(amanah) menjadi pemimpin, sebagaimana hadīth berikut :
عن
عبد الرحمن بن سمرة قال لي رسول الله صلى الله عليه و سلم يا عبد الرحمن لا تسئل
الإمارة فإنك ان تعطيتها عن مسئلة وكّلت إليها و إن أعطيتها عن غير مسئلة أعنت
عليها (رواه مسلم)
Dari
‘Abdurrahman bin Samrah r.a, katanya : “Rasulullah saw. Bersabda kepadku, Hai, ‘Abdurrahman!
Janganlah engkau meminta-minta hendak menjadi pembesar negara. Karena jika
engkau jadi pembesar karena permintaan, tanggung jawabmu akan besar sekali. Dan
jika engkau diangkat (jadi pembesar) tanpa permintaan, engkau akan ditolong orang dalam tugasmu.
(HR. Muslim).[25]
Hadīth
ini dengan tegas mengingatkan bahwa menjadi pemimpin tidak perlu berlomba-lomba
mempopulerkan diri, apalagi sampai menyuap dan menghalalkan segala cara untuk
menjadi pemimpin. Karena tindakan
demikian bertolak belakang dengan prinsip amānah. Dalam riwayat lain ditegaskan perlunya tidak
memilih pemimpin yang berebut kekuasaan
(meminta jabatan).
عن
أبي موسى قال دخلت على النبي صلى الله عليه و سلم و أنا رجلان من بني عمي فقال احد
الرجلين يا رسول الله امّرْنا على بعد ما ولاّك الله عز و جل و قال الآخر مثل ذلك
فقال إنا و الله لا نولّي على هذا العمل احدا سأله و لا احدا حرص عليه (رواه مسلم)
Dari
Abu Musa r.a.., katanya: “Aku datang menemui Nabi bersama-sama dua orang lelaki
anak pamanku. Yang seorang berkata, “Ya.. Rasulullah! Angkatlah aku jadi amir
(pembesar) disuatu daerah yang telah dikuasakan Allah kepada Anda.” Dan seorang
lagi berkata pula seperti itu. Jawab Rasul saw.., “Demi Allah! Aku tidak akan
mengangkat seseorang untuk memangku suatu jabatan, orang yang meminta-minta
supaya dia diangkat, bahkan tidak pula yang mengharap-harap (berambisi) untuk
itu.” (HR. Muslim).[26]
Kita
benar-benar diperingatkan bagaimana seharusnya mengangkat pemimpin, yaitu tidak
memilih orang yeng berambisi besar dengan suatu jabatan, karena jabatan
merupakan jabatan (amanah) yang sangat besar yang tidak semua orang dapat
melaksanakannya. Dengan kata lain,
kalaupun hendak mengikuti pemilu, maka pilihlah mereka yang tidak berambisai
besar, mereka yang bisa mengembang amanah, memiliki kemampuan dan prasyarat
lain yang diperlukan. Tentu saja konteks hadīth ini bukan dalam jabatan karir,
dimana kenaikan jabatan karir bagian dari hak seseorang untuk mengembangkan
diri berdasarkan evaluasi pengabdian, kinerja dan kualitas dan hasil yang diabdikan dalam suatu
kelembagaan.
Memperhatikan
siapa yang hendak dijadikan pemimpin dan standar persyaratan yang harus
dipenuhi agar pemimpin yang dipilih benar-benar dapat membawa kebaikan bagian
dari kehati-hatian untuk mencapai kemaslahatan yang hendak dicapai. Standar
tersebut meliputi persyatan: amanah, fatonah, tabligh dan shiddiq. Semangat hadīth
ini bertalian dengan komitmen al-Qur’ān yang menghendaki menyerahkan amanah
kepada ahlinya atau orang memiliki tanggung jawab dan terpercaya.
Amanah
dalam hal memilih pemimpin harus pada orang yang memiliki kemampuan dan
terpercaya. Memilih pemimpin yang tidak amanah berarti menyalahi rumusan teks
yang kekuatannya lebih otoritatif. Hadīth lain yang sebanding dengan hadīth di
atas juga menyatakan bahwa janganlah
sekali-kali menyerahkan amanah pada yang bukan ahlinya, karena tindakan
demikian akan melahirkan malapetaka besar, malapetaka tidak hanya pada
amburadulnya menejemen kepemimpinan,
namun juga implikasi kebijakan yang akan berdampak pada nasib rakyat,
jauh sebelumnya telah diingatkan oleh hadīth tentang keharusan menyerahkan
amanah pada tempatnya, sebagaimana diungkapkan
dalam hadith:
عن
أبي هريرة رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا ضيّعت الأمانة
فانتظر الساعة قال كيف إضاعتها يا رسول الله قال إذا وسد الأمر الى غير أهله
فانتظر الساعة
“Dari
Abu Hurairah r.a berkata, bersabda Rasulullah saw. Jika suatu amanah dispelekan
(disia-siakan) maka tunggulah waktunnya, berkata sahabat, bagaimana
menyia-nyiakan amanah itu ya Rasul? Jawab Rasul jika suatu perkara diserahkan
kepada selain ahlinya maka tunggulah waktunya”
Sebab
itu, Islam tidak sekedar bertujuan menegakkan kekuasaan, namun juga
memperhatikan aspek lain yang dapat mendorong tegaknya keadilan dan
kemaslahatan. Aspek keadilan dan maslahah harus dimulai dari proses memilih
pemimpin yang amanah. Memilih pemimpin
yang amanah akan melahirkan kemaslahatan pula, sebaliknya memilih pemimpin yang tidak amanah akan melahirkan ketimpangan dan ketidakadilan struktural.
Menyerahkan
amanah pada orang yang bukan ahlinya oleh sebagian riwayat dinilai menghianati
Tuhan dan Nabi-Nya.
“Barangsiapa
memilih seorang pemimpin padahal ia tahu ada
orang lain yang lebih pantas
untuk dijadikan pemimpin dan lebih faham terhadap kitab Allah dan sunnah
rasulNya, maka ia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya, dan semua orang beriman.”
(HR. Ţabrani)
Hadīth
ini menjadi perhatian khusus bahwa betapa pentingnya mengangkat pemimpin yang
memiliki kualifikasi di atas seperti keadilan, kejujuran dan keterpercayaan.
Persepsi
kualifikasi ini harus dikembalikan pada ukuran umum. Artinya kalaupun
terdapat kelompok yang tidak ikut memilih karena beberapa pertimbangan, maka kelompok atau individu tersebut sesungguhnya
tidak menyalahi teks manapun. Sebab sebagaimana diungkap di awal bahwa tak ada teks
yang mewajibkan atau mengharuskan seseorang mengikuti pemilu. Memilih
pemimpindan mengikuti pemilu adalah hak, kebebasan yang dilindungi oleh
sharī’ah dan undang-undang pemilu.
Kebebasan inilah yang
dimaksud Islam sebagai prinsip dasar, sebagaimana juga dalam hal
memeluk agama.
Memeluk
agama bukanlah kewajiban tapi kebebasan yang diamini oleh al-Qur’ān, manusia
dipersilahkan memeluk agama apapun sesuai keinginanya, pilihan-pilihantersebut
konsekwensi dari toleransi Tuhan kepada manusia yang disertai pemberitahuan
konsweksinya.
Kebebasan
memilih (mengikuti pemilu) sama halnya dengan kebebasan agama yang berasal dari
jaminan kebebasan berpikir, dan berkesadaran atau berhati nurani.[27] Maka
ekspresi kebebasan ini tak bisa dilarang
oleh nalar manapun, terlebih Islam menjamin aspek kebebasan ini. Atas dasar
tersebut, pada dasarnya golput tidak ada persoalaan, golput adalah kebebasan,
memilih pemimpin dalam pandangan fiqih otoritatif adalah hak individu yang
keberadaannya dijamin oleh Islam berdasarkan konsep asas al-khamsah. Hak yang penggunannya diserahkan pada
masing-masing pemilik hak. Memilih pemimpin sama halnya dengan menyatakan
sesuatu, menyatakan sesuatu bagian dari refleksi kesadaran berfikir, dan yang
terakhir ini disebut hifdh al-aql, di dalamnya terdapat kebebasan
menyatakan pendapat sesuai keinginan dan nalar yang dibangun.
Kebebasan
ini sejalan dengan konsep HAM yaitu : [28]
a. Civil Right (hak sipil)
b. Political Rights (hak
politik)
c. Economic Rights (hak
ekonomi)
d. Social Rights (hak sosial)
e. Cultural Rights (hak Budaya)
Pemilu
bertujuan hendak menciptakan pola pemerintahan yang bersih yang dapat
melindungi pola kehidupan yang baik yang mampu melahirkan maşlahah dan
menghilangkan kemudaratan. Apapun pilihan masyarakat dalam pemilu
harus berpijak pada konsep maşlahah, jika memilih calon pemimpin yang memenuhi
syarat diyakini melahirkan kebaikan,
maka ikut pemilu merupakan tindakan yang baik, namun bila sebagian masyarakat dengan mekanisme pemilu ataupun calon pemimpin sendiri yang
mengakibatkan tindakan golput maka tindakan tersebut bagian dari kebabasan
yang harus dijamin. Pada prinsipnya
kebaikan yang harus dicapai oleh
manusia.[29]
Mengingat
alasan golput yang muncul beragam, maka berikut ini penulis paparkan satu
persatu status hukum golput berdasarkan alasan tidak ikut pemilu:
1. Hukum Golput Karena Alasan
Administratif
a. Karena Tak Terdaftar dan Tak
Mendapatkan Undangan
Partisipasi
masyarakat merupakan para meter keberhasilan pemilu.[30] Untuk
memenuhinya, penyelenggara pemilu berkewajiban mendata secara akurat setiap
masyarakat yang memungkinkan dapat mengikuti pemilu.[31] Pemilu
membutuhkan kepastian hukum soal siapa yang berhak memilih.[32] Selain
menjamin kepastian hukum, juga menghindari carut-marutnya pelaksanaan pemilu
baik pada proses maupun pada hari pemungutan suara yang diakibatkan data
pemilih.
Faktanya
tak sedikit masyarakat yang kehilangan haknya karena tak memenuhi persyaratan,
baik tak terdaftar maupun tak mendapatkan undangan tanpa mengetahui pakah
dirinya masuk dalam daftar atau tidak. Akibatnya mereka tak dapat menggunakan
hak pilihnya.[33]
Kondisi
demikian (tidak terpenuhi syarat administrasi karena tidak terdaftar) ataupun
tak mendapatkan undangan termasuk katagori tak memungkinkan menggunakan haknya.
Maka golput karena faktor tersebut sudah seharunya sadar diri dengan tidak ikut
memilih (mubah). Kesulitan demikian
termasuk kesulitan administrasi yaitu ketentuan undang-undang pemilu. Agama
sendiri menghendaki kemudahan bukan kesulitan:
يريد
الله بكم اليسر و لا يريد بكم العسر
"Allah
menghendaki kemudahan atas kamu, dan dia sekali-kali tidak menghendaki
kesulitan bagimu"
و
ما جعل لكم في الدين من حرج
"Dan
Dia (Allah) tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesulitan"
Dan
hadith Nabi :
الدين
يسر أحب الدين الى الله الحنيفة السمحة
"Agama
itu memudahkan, agama yang disenangi Allah adalah agama yang benar dan mudah"
Jika
agama saja menghendaki kemudahan, mungkinkah hanya untuk berpartisipasi dalam
pemilu harus menyulitkan diri. Bukankah akan melahirkan persoalaan baru bila
masyarakat yang tak memenuhi persyaratan memaksakan diri untuk menabrak sebuah
aturan.[34]
b. Karena Sakit
Kesehatan
merupakan hal penting bagi manusia, kesehatan penopang segala bentuk aktifitas
manusia, baik fisik maupun mental, tak terkecuali dalam ibadah sekalipun.[35]
Kesehatan fisik menjadi prasyarat dimungkinkannya suatu hubungan ataupun
aktifitas lainnya.[36]
Sebaliknya rasa sakit yang diderita manusia
memberikan konsekwensi-konsekwensi tertentu, mengurangi ruang gerak,
membatasi aktifitas dan pada titik
tertentu, rasa sakit menjadi ancaman bagi proses kehidupan manusia. Sebagian ulama’ menyatakan rasa sakit bagian
dari ujian.[37]
Supaya
tetap sehat dan sempurna, manusia diminta memperhatikan kebutuhan hidupnya,
menjaga kesehatannya dengan cara yang baik dan halal sesuai
kebutuhannya.[38]
يا
أيها الناس كلوا مما في الأرض حلالا طيبا و لا تتبعوا خطوات الشيطان إنه لكم عدو
مبين
Hai sekalian
manusia, makanlah dari
apa yang ada
di bumi ini secara
halal dan baik.
Dan janganlah kalian ikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia adalah
musuh yang nyata bagi kalian.
يا
أيها الذين آمنوا كلوا من طيبات ما رزقناكم و اشكروا الله إن كنتم إياه تعبدون
Hai
orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang kami
berikan kepada kalian dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya
kepada-Nya kalian menyembah.
Berobat
merupakan ikhtiar yang harus dilakukan, tidak boleh berdiam diri, apalagi
membiarkan penyakit terus menggerogoti mental dan fisiknya. Menyelamatkan fisik
agar tetap prima adalah hal mendasar dalam agama. Hal apapun yang dapat
menghalangi proses penyembuhan dapat ditabrak sepanjang urgen dan tak ada jalan
lain.
Memilih
pemimpin bagian dari upaya menegakkan keadilan, kemaslahatan dan kebaikan
universal.[39]
Salah satu tujuannya
adalah menjamin kehidupan rakyat sehat secara jasmani dan rohani.
Menghadiri pemilu penting bagi masyarakat sepanjang memungkinkan dan tak
mengorbankan hal-hal prinsipil dalam agama.
Memilih
pemimpin dibutuhkan suatu kondisi yang prima baik mental maupun fisik agar
dapat melaksanakan suatu pemilihan secara adil dan amanah, bukan sekedar
mencoblos ataupun sekedar menunaikan hak. Kondisi fisik yang tak memungkinkan
untuk mendatangi tempat pemilihan, kondisi demikian jelas menyulitkan bagi
masyarakat yang sedang berjuang memulihkan kesehatannya, dan bukan tak mungkin
mengganggu atau mengakibatkan hal fatal bagi fisiknya (dharurah). Pada konteks
seperti itu kesulitan yang dihadapi termasuk katagori mashaqqah.[40] Suatu
kondisi yang menyebabkan kepayahan tertentu, dan setiap
kesulitan mendapatkan kemudahan:
(المشقة تجلب التيسر).
يريد
الله أن يخفف عنكم و خلق الإنسان ضعيفا
"Allah
menghendaki keringanan pada kalian dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah"[41]
لا
يكلف الله نفسا إلا وسعها
"Allah
tidak membebani seseorang kecuali dalam batas kesanggupan"[42]
Menjaga
kemaslahatan fisik lebih diutamakan dari pada mengerjakan hal lain yang dapat
mengganggunya. Maka pemenuhan hak memilih pemimpin harus akhirkan (dinomor
duakan), menjaga keselamatan jasmani dan rohani manusia bagian dari dharuriyah.
Maka golput dapat berubah menjadi harus (wajib) karena dharuriyah.
2. Hukum Golput Karena Alasan
Pragmatis
a. Bekerja dan Malas
Memenuhi
kebutuhan keluarga, memberikan makan, minum dan keperluan sandang pangan bagian
dari tanggung jawab.[43]
Menjamin kebutuhan hidup orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya
adalah kewajiban asasi.[44]
Al-Qur’ān banyak menjelaskan tentang hal ini.[45]
Kewajiban jika berhadapan dengan hak, maka kewajiban harus dimenangkan. Setidaknya diletakkan secara seimbang.
Sikap
malas menunujukkan keadaan traumatis terkait suatu obyek, mungkin tak
menyenangkan, buruk dan mengakibatkan problem mental. Problem mental dan
kejiwaan ini bagian rasa frustasi yang harus dihindari. Islam menegaskan
dirinya sebagai agama yang menjamin
rahmat dan kedamaian, tidak imbang rasanya jika
masyarakat selalu dituntut berbuat baik sementara sistem dan pola pemilu tak bisa menjamin terpenuhinya harapan
masyarakat.
b. Money politic
Sudah menjadi rahasia umum di negara
berkembang setiap pagelaran pesta demokrasi tak lepas dari upaya-upaya tak
sejalan dengan nilai-nilai kebebasan dan kehendak nurani yaitu money politic. Praktek ini merusak dan mencidrai makna
demokrasi itu sendiri, selain
bertentangan dengan peraturan pemilu, juga tak sejalan dengan
prinsip-prinsip sharī’ah.[46]
Money politic tidak hanya merusak mental masyarakat,
namun pemimpin yang lahir dari proses
ini juga akan melahirkan pemimpin yang korup, tak bisa membentuk komitemen
apapun dan cendrung mengartikan
kekuasaan sebagai tempat mencari popularitas, kekuasaan yang hanya dijadikan tameng untuk memperkaya diri dan golongan sendiri.[47] Dengan
demikian, money politic menjadi ancaman serius bagi kehidupan berbangsa
dan negara.[48]
Money
politic merupakan tindakan mempengaruhi pilihan
masyarakat secara tidak benar.[49] Term
sepadan dalam fiqih disebut dengan al-rishwah (suap).[50]
Tindakan money politic dan al-rishwah sama-sama ingin membatalkan
hal yang benar menjadi salah.[51]
Money
politic menciptakan persaingan dalam pemilu tidak
fair, pemilih dikendalikan oleh materi
bukan oleh hati dan kebenaran, pemimpin
semacam ini jelas tidak bisa diberi amanah, pemimpin yang menang dengan cara money
politic akan membawa mala petaka besar
bagi umat Islam, karena itu haram memilih pemimpin demikian, haram juga masyarakat golput karena tidak kecipratan money politic.[52] Sebab
ini merusak mental (aql) yang dalam agama harus ditegakkan.
Memilih
pemimpin tidak menganjurkan dengan cara-cara kotor. Tidak ada kebaikan yang bisa diharapkan dari mekanisme
yang buruk dan bathil seperti money politic
kecuali sejumlah persoalaan baru. Agama
dengan tegas melarang tolong-monolong dalam hal dosa, sementara praktek ini
bagian dari tindakan yang dilarang dalam agama.[53]
3. Hukum Golput Karena Alasan
Ideologis
a. Tidak Percaya Terhadap Elit Politik
Pada
dasarnya setiap manusia pemimpin bagi dirinya sendiri, keluarga dan orang-orang
terdekat. Sebagai pemimpin, harus mampu mengendalikan segenap bentuk prilaku
dan kehendak yang akan dilakukan, mampu
memberikan contoh yang baik, apa yang diperbuat oleh pemimpin tidak hanya dilihat, diikuti dan dinilai, namun juga harus dipertanggung jawabkan kepada dirinya,
masyarakat yang dipimpin dan yang paling
tegas adalah pertanggung jawaban di pengadilan Tuhan.
حدثنا
قتيبة حدثنا الليث عن نافع عن ابن عمر عن النبي صلى الله عليه و سلم قال ألا كلكم
راع و كلكم مسؤول عن رعيته فالأمير الذي على الناس راع و مسؤول عن رعيته و الرجل
راع على أهل بيته و هو مسؤول عنهم و المرأة راعية على بيت بعلها و هي مسؤولة عنه و
العبد راع على مال سيده و هو مسؤول عنه ألا كلكم راع و كلكم مسؤول عن رعيته (رواه
الترمذي)
Bukankah
setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai
pertanggung jawabannya, maka seorang amir pemimpin bagi manusia yang dipimpinnya, dan seorang
amir akan dimintai pertanggung
jawabannya, seorang laki-laki pemimpin bagi keluarganya, dia akan dimintai tanggung jawabnya atas
mereka yang dipimpinnya, setiap perempuan pemimpin bagi rumah suaminya, dia
akan dimintai tanggung jawabnya atas hal
yang berkaitan dengan
kepemimpinannya di rumah suaminya,
setiap hamba sahaya pemimpin atas harta majikannya, dia akan dimintai tanggung
jawabnya. Bukankah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan
dimintai pertanggung jawabannya atas apa yang dipimpinnya.[54]
Menjadi
pemimpin bukan perkara mudah. Segala tindakan dan keputusan sejauh manyangkut
kepentingan yang dipimpinnya mesti dipertanggung-jawabkan secara moral, politik
dan hukum. Butuh kemampuan dan keahlian tertentu untuk bisa mengemban sebuah
amanat sekecil apapun.[55] Bagian
dari rasa amanah tersebut merealisasikan janji kampanye saat menjadi telah
dipercayai oleh masyarakat.[56]
Maka pemimpin yang
tak sanggup memenuhi janjinya, pemimpin demikian termasuk penghianat amanah rakyat.[57]
al-Qur’ān dengan tegas menyatakan :
إن
الله يأمركم أن تؤدّوا الأمنت الى أهلها و إذا حكمتم بين الناس أن تحكموا بالعدل
إن الله نعمّا يعطكم به إن الله كان سميعا بصيرا
“Sesungguhnya Allah
menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan
hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil.
Sesungguhnya Allah memberikan
pelajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. sesungguhnya Allah Maha mendengan lagi Maha melihat. (Q. S. al-Nisa’
ayat 58)
و
من تولّى من أمراء المسلمين شيئا فاستعمل عليهم رجلا و هو يعلم أن فيهم من هو أولى
بذلك و أعلم منه بكتاب الله و سنة رسوله فقد خان الله و رسوله و جميع المؤمنين
(رواه الطبراني)
“Barangsiapa
memilih seorang pemimpin padahal ia tahu ada orang lain yang lebih pantas untuk
dijadikan pemimpin dan lebih faham terhadap kitab Allah dan sunnah rasulNya,
maka ia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya, dan semua orang beriman.”
Penilaian
rakyat mungkin saja tidak akademis, tapi bukan berarti rakyat tak tau soal
moral, amanah dan kejujuran. Rakyat tidak mungkin mengalami kompromi soal
etika, moral dan kejujuran. Memilih pemimpin bagian dari kesaksian atas diri
sesorang yang harus dilakukan dengan cara yang adil dan jujur.[58]
Diberbagai
tempat al-Qur’ān menyatakan bahwa orang yang beriman harus menjadi saksi atas
nama Tuhan secara adil dan jujur meski terhadap diri sendiri, keluarga,
tetangga, terhadap orang kaya ataupun orang miskin. Hanya orang-orang yang amanah, jujur dan adil
yang dapat menjalankan tugas dengan baik.[59]
Rakyat
butuh pemimpin yang tahu akan kewajiban, wajibnya menegakkan keadilan, kebenaran
dan kesejahteraan. Maka golput disini didasarkan pada asas maslahah. Memilih pemimpin
yang tidak amanah sama halnya melegitimasi lahirnya ketidak-adilan dan sejenisnya. Sementara mencegah kerusakan jauh lebih penting
dari pada mengejar kemaslahatan sesaat: (ترك
المفاسد أولى من جلب المصالح).[60]
b. Tidak Percaya Terhadap Kelembagaan
Politik, Sistem Politik dan Pemilu
Selain
pada pemimpin (kepala pemerintahan), rakyat juga, menitipkan aspirasinya pada lembaga
perwakilan rakyat. Melalui lembaga terhormat ini, rakyat menaruh harapan besar,
dengan fungsi legislasi, pengawasan dan fungsi
kontrolnya diharapkan dapat mengimbagi kekuasaan
eksekutif, turut serta menggariskan apa yang
seharusnya rakyat peroleh.[61]
Lembaga
legilastif dengan powernya yang begitu besar memainkan peranan penting dalam
hal mengawasi kebijakan eksekutif, agar tak terlalu jauh dari apa yang telah
digariskan.[62]
Legislatif dengan demikian, bagian dari orang-orang yang dipilih, dan menerima amanah
rakyat.[63]
Karenanya, harapan dan perhatian rakyat begitu besar, setidaknya melalui merekalah
harapan keadilan masih dimungkinkan untuk dicapai.
Pada
kenyataannya, kepentingan individu anggota dewan dan partai politik
pengusungnya memberikan warna lain, sehingga dalam beberapa hal, dewan ini sering
mengatasnamakan rakyat, sementara hasil yang dikerjakan tak ada hubungannya dengan
rakyat.[64] Dan pada
saat dimana rakyat berteriak akan rasa keadilannya yang terampas, dewan cendrung
beretorika politik, bahkan cedrung harmonisasi dengan penguasa. Maka disinilah
rakyat mulai tak percaya dengan lembaga terhormat ini. Terlalu banyak rakyat menyaksikan
manipulasi-manipulasi politik sistem politik, sistem pemilu maupun ketidak
berfungsian lembaga legislatif.
Animasi
politik ini pada akhirnya menciptakan apatisme rakyat terhadap politik itu sendiri.
Politik dinilai sebagai sesuatu yang busuk, melahirkan ketegangan dan merajalelanya
berbagai ketimpangan sosial. Maka golput
dimaksudkan sebagai upaya mencegah lebih luasnya kemungkaran akibat orang-orang
atau sistem yang tak mungkin amanah. Golput sebagai pilihan politik dinilai lebih
maslahah dari pada memilih calon-calon yang sudah bobrok secara
mental dan kejujurannya.
[1] Ramlan Subakti, Memahami Ilmu
Politik, (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992), 176.
[2] Ibid.. 181-182.
[3] Muhammad AS Hikam, Demokrasi
dan Civil Society, (Jakarta: LP3ES, 1999), 55.
[4] Qomaruddin Khan, Teori Politik
Islam, (Bandung: Pustaka, 1987), 90.
[5] Wahbah menyatakan bahwa
perlunya pendirian kekuasaan politik untuk menopang pelaksanaan hukum. Lihat Wahbah al-Zuhaylī, Tafsīr al-Munīr: Fī al-‘Aqīdah wa
al-Sharī’ah wa al-Manhāj, Volume V, (Beirut: Dār al-Fikr, 1991), 122. Lihat
juga Muhammad al-Shairāzī al-Baidhāwī, Tafsīr al-Badhāwī, Volume I, (Beirut:
Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1989), 220, lihat juga Muhammad ibn Jarīr
al-Ţabarī, Tafsīr al-Ţabarī; Jāmi’ al-Bayān fī Ta’wīl al-Qur-ān, Volume IV,
(Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992), 152.
[6] Muhammad ibn Jarīr al-Ţabarī,
Tafsīr al-Ţabarī… 153.
[7] Dalam pandangan al-Ghazālī,
salah satu tujuan agama adalah terjaganya lima hal (hifd al-dīn, al-aql,
al-nafs, al-nasb, dan al-māl) sebagai inti dari kehidupan, kelima hal tersebut memungkinkan terjaga dengan baik
didukung oleh kondisi dan sarana yang memadai, lihat al-Ghazālī, al-Iqtişād fi
I’tiqād, (Mesir: al-Matba’ah al-Mahmudiyah, ttp), 135.
[8] Al-Ghazālī, al-Raddu ‘ala
al-Bathiniyah, (Beirut: Dar al-Fikr, ttp), 64.
[9] Abdul Karīm Zaidan,
Pemilu dan Parpol
dalam Perspektif Shari’ah,
(Bandung: Syamil Cipta Media, 2003), 10.
[10] Isma’īl al-Badawī, Nadhariyah al-Daulah: Dirāsah Muqāranah bil al-Nidhām
al-Siyāsī al-Islāmī, (Beirut: Dār al-Nahdhah al-‘Arabiyah al-Qāhirah, 1994),
70.
[11] Dhiauddin al-Rais, Teori
Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2001), 168.
[12] Ibid.
[13] Manoucherhr Paydar,
Legitimasi Negara Islam:
Problem Otoritas Syari’ah
dan Politik Penguasa,
(Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2003), 59
[14] Inu Kencana Syafiie, al-Qur-ān
dan Ilmu Politik, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), 89.
[15] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiieqy, Koleksi Hadith Hukum, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001), 457-459.
[16] Ridwan HR,
Fiqih Politik; Gagasan,
Harapan dan Kenyataan,
(Yogyakarta: FH UII
Press, 2007), 236-237.
[17] Abdul Mujib, Kaidah-Kaidah
Ilmu Fiqih, (Surabaya: Kalam Mulia, 1992), 13.
[18] Abī Dāud, Sunan Abī Dāud,
Volume II, (Beirut: Dār al-Fikr, 1994), 23.
[19] Ibnu Hibbān dalam Şahih Ibn
Hibbān, Volume 5 (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993), 504.
[20] Al-Māwardī, al-Ahkām… 3-4.
Lihat juga al-Farrā’, al-Ahkām… 22. Dimana dikataan (و هي فرض على الكفاية مخاطب بها
طائفتان من الناس احداهما أهل الإجتهاد حتى يختاروا و الثانية من يجد فيه شرائط
الإمامة) lihat juga Dhiauddin, Teori Politik Islam… 91. Lihat ‘Alī ‘Abd
Rāziq, al-Islām wa Ushūl al-Hukm ; Bath fī Khilāfah wa al-Hukūmah fī al-Islām,
(Beirut: Dar Maktabah al-Hayāt, 1994), 37.
[21] Ibnu Taimyyah, al-Siyāsah
al-Shar’iyah, (Beirut: Dār al-Kitab al-‘Arabi, ttp), 157.
[22] Edi Susanto,
Krisis Kepemimpinan Kiyai;
Studi Atas Karisma Kiyai
dalam Masyarakat, Surabaya,
Jurnal Islamica, Volume I, Nomor 2 Tahun 2007, 114.
[23] Sartono Katodirjo,
Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial, (Jakarta: LP3ES, 1990), 7-9.
[24] Lihat Syaifuddin,
Negara Islam Menurut
Konsep Ibnu Khaldun,
(Yogyakarta: Gama Media, 2007), 85..
[25] Ahmad Muhammad Yusuf, Himpunan
Dalil dalam al-Qur’ān dan Hadīth. Volume 5. (Jakarta: PT. Media Suara Agung,
2008), 164
[26] Ibid.. 164
[27] Musdah Mulia, Ada Apa dengan
Kebebasan Beragama, KOMPAS, Selasa 9 Februari 2010.
[28] Sjaechul Hadi permono,
Dinamisasi Hukum Islam dalam Menjawab Tantangan Era Globalisasi, (Surabya:
Demak Press, 2002), 14
[29] Al-Ghazālī, al-Mustasfā min
‘ilm al-Uşūl, Vol, 2, (Beirut: Dar Hayā’ al-‘Arabi, tt), 216.
[30] Al-Ghazālī, al-Raddu ‘ala
al-Bathiniyah… 64.
[31] Sigit Pamungkas, Perihal
Pemilu (Yogyakarta: JIP 2009), 134.
[32] Rabert A. Dahl, Perihal
Demokrasi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), 167.
[33] UU No. 10 Tahun 2008
tentang pemilihan umum
[34] Abd al-Wahhab Khalāf ‘Ilm Uşūl
al-Fiqh, (Beirut : Dār al-Qalam, 1990), 211.
[35] Islam sangat peduli dengan
kesehatan umat manusia, salah satu bentuk kepedulian tersebut Umat Islam
dituntut hidup sehat dan bersih. Lihat Yusūf al-Qardawi, Fatwa-Fatwa Mutakhir,
(Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), 855-858.
[36] Nurcholish Madjid, Masyarakat
Religius, (Jakarta: Paramadina, 2000), 126-127.
[37] Dalam pandangan
sebagian ulama’ bahwa
rasa sakit yang
diderita manusia sekecil
apapun bentuknya bagian dari cobaan (siksaan) Allah terhadap manusia.
Lihat Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’ān
(Bandung: Mizan, 1996), 185.
[38] al-Qur’ān, 5 (al-Maidah): 4-5,
al-Qur’ān, 23 (al-Mu’minun):
51. Lihat juga
Umar Shihab,
Kontekstualisasi al-Qur-ān; Kajian
Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum dalam
al-Qur-ān, (Jakarta: Permadani,
2003), 143.
[39] Abd al-Qadīr Jaylānī, Negara
Ideal Menurut Konsep Islam, (Surabya: Bina Ilmu, 1995), 173.
[40] Muhammad Şiddīq Ibn Muhammad al-Burnu, al-Wajīz fī īdhāh Qawā'id al-Fiqhiyyah al-Kuliyyah, (Beirut: Mu’assasah al-Rislāh,
1983), 218.
[41] al-Qur’ān, 4 (al-Nisa’): 28.
[42] al-Qur’ān, 2 (al-Baqarah):
286.
[43] Ahmad Azhar Bashir, Asas-asas
Hukum Mu’amalah, (Yogyakarta: UII Press, 2000), 21.
[44] Al-Ghazālī, al-Mustasfā min
‘Ilm al-Uşūl, (Beirut: Dār Ihyā’ Turāth al-‘Arabī, tt), 268.
[45] al-Qur’ān, 2 (al-Baqarah): 233
dan al-Qur’ān, 65 (al-Thalaq): 7.
[46] Dalam banyak
ayat al-Qur-ān dijelaskan bahwa
manusia dilarang memakan harta dari proses yang tak
halal, misalnya al-Qur’ān,
4 (al-Nisa’): 29
dan al-Qur’ān, 2 (al-Baqarah): 188. Hadīth Nabi pun
melarang praktek money
politik (suap) () hadith ini
di pandang hasan
oleh Ibnu hibban
dan Ibnu hakim,
adapun jalu dari
al-Tabrani ada sanad yang tidak
dikenal, lihat al-Nawawī, Tahdhīb al-Asma’ wa al-Lughah, (Beirut: Dar al-Kutub
al-‘Ilmiyah, tt), 140.
[47] al-Qardhawi, Fatwa-Fatwa
Mutakhir..792.
[48] Abdul Mun’īm, Tinjauan
Fiqih Terhadap Money
politik; Telaah Kritis
terhadap Keputusan Bathsul Masail
PWNU Jawa Timur, Antologi Kajian Islam, Surabaya: Pasca Sarjana IAIN Sunan
Ampel Tahun 2007, 45.
[49] Undang-Undang No 12 tahun 2003
tentang pemilu.
[50] Ibnu al-Mansur,
Lisān al-Arab, Volume XIV
(Beirut: Dar al-Sadir,
tt), 322. Lihat
juga Ibn Kathir, Tafsīr al-Qur-ān
al-‘Adhim, Volume I (Beirut: Maktanah al-Nur al-‘Ilmiyah, 1991), 398.
[51] Ali Ibn Muhammad Ibn ‘Ali
al-Jurjani, al-Ta’rifat (Beirut: Dar al-Fikr, tt), 109.
[52] al-Suyūţī, al-Ashbāh wa
al-Nadhair, (Beirut: Dar al-Fikr,tt), 102.
[53] al-Qur’ān, 5 (al-Maidah): 3
[54] al-Tirmidhī, Sunan
al-Tirmidhī, Volume IV, (Beirut: Dār al-Fikr, 1988), 180-181.
[55] Jamaluddīn Miri, Ahkamul
Fuqaha’…639.
[56] Abdul Qadīr Jaylanī, Negara
Ideal; Menurt Konsep Islam, (Surabya: Bina Ilmu, 1995), 173.
[57] Inu Kencana, Al-Qur-ān dan
Ilmu Politik… 90.
[58] al-Qur’ān, 5 (al-Maidah): 8.
[59] Inu Kencana, Al-Qur-ān dan
Ilmu Politik …123.
[60] al-Suyuţī, al-Asbah wa
al-Nadhair, (Beirut: Dār al-Fikr, tt), 62
[61] Miriam Budiharjo,
Dasar-Dasar Ilmu Politik,
(Jakarta: Gramedia Pustaka
utama, 1996), 182.
[62] Suyuthi Pulungan,
Fiqih Siyasah: Ajaran,
dan pemikiran, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1999), 68.
[63] Farid Abdul Khaliq, Fikih
Politik Islam, (Jakarta: Amzah, 2005), 82.
[64] Muhammad Asfar, Golput….
128-130.
No comments:
Post a Comment