Golput
(non-voting behaviour) dipahami sebagai bentuk partisipasi politik warga
negara yang muncul karena beragam latar belakang. Memilih adalah hak (right) politik warga
negara yang by its nature mengandung arti legal or moral entitlement
(authority to act), yang mengandung kebebasan pemilik hak itu untuk
menggunakan atau tidak menggunakannya. Karena esensi filosofis inilah maka demokrasi
memberi ruang bagi pilihan untuk golput
secara setara dengan pilihan untuk memilih.[1] Golput diberi ruang dalam demokrasi,
guna meluruskan demokrasi, meluruskan politik dan pemerintahan yang korup
melalui gerakan moral.
Bagi
kalangan pendukung golput, golput diancangkan sebagai gerakan check and balances
yang dalam demokrasi dibutuhkan.[2] Disisi lain, eskalasi
golput juga sangat menghawatirkan perkembangan demokrasi yang berkualitas karena
merosotnya kredibilitas kinerja partai politik sebagai mesin pembangkit partisipasi politik. Kehawatiran ini juga dikemukan Anthony
Giddens “haruskah kita menerima lembaga-lembaga demokrasi tersingkir dari titik
di mana demokrasi sedang marak”.
Demokrasi
identik dengan kebebasan dan partisipasi dari semua kekuatan demokrasi. Kekuatan
demokrasi dimaksud di dalamnya termasuk masyarkat, selain juga partai politik dan
organisasi masyarkat. Partisipasi politik yang meluas merupakan ciri dari
modernisasi politik.
Sikap
dan persepsi bagian penting dari pesta demokrasi. Maka tingginya angka golput menandakan sistem politik
dan sistem pemilu yang sedang dijalankan
belum berada dalam ruang demokrasi sesungguhnya. Huntington dan Nelson memaknai partisipasi politik
sebagai:[3]
Partisipasi
politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang
dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh Pemerintah. Partisipasi biasa
bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau
sporadik, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak
efektif.
Dengan
demikian, partisipasi politik lebih berfokus pada kegiatan politik rakyat
secara pribadi dalam proses politik, seperti memberikan hak suara atau kegiatan
politik lain (golput) yang dipandang dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan
politik oleh pemerintah. Partisipasi politik
tidak mencakup kegiatan pejabat-pejabat birokrasi, pejabat partai, dan lobbyist professional yang
bertindak dalam konteks jabatan yang diembannya.
Sementara
Budiardjo memaknai partisipasi politik sebagai:
Kegiatan
seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik,
yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan secara langsung atau tidak
langsung, mempengaruhi kebijakan
Pemerintah (public policy).[4]
Kegiatan
ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum menghadiri
rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan
(contacting) dengan pejabat pemerintah atau dengan anggota parlemen, dan
sebagainya”.
Merujuk
pemikiran politik tersebut dalam konteks sejarah penyelenggaraan pemilihan umum
sebagai pesta demokrasi, secara empirik dapat dicermati tingkat partisipasi politik
dan perkembangan golput di Indonesia.
Tingginya
partisipasi rakyat pada penyelenggaraan pemilu masa Orde Baru bukan berdasarkan
apa yang dikatakan Budiharjo sebagai kesukarelaan, melainkan mobilisasi massa
yang sengaja digerakkan. Maka partisipasi
demikian merupakan partisipasi semu, partisipasi yang didasarkan pada harmonisasi dan suatu waktu
akan menjadi ledakan emosi seperti lahirnya gelombang golput
di era reformasi. Penilaian Hantington dapat menjelaskan dengan cermat tentang hal
tersebut yang menyatakan:[5]
“Beberapa studi secara eksplisit tidak menganggap tindakan yang dimobilisasikan atau yang dimanipulasikan
sebagai partisipasi politik, yaitu lebih
menekankan sifat sukarela dari partisipasi
dengan argumentasi bahwa menjadi anggota organisasi atau menghadiri rapat-rapat umum atas perintah pemerintah
tidak termasuk partisipasi politik”.
Lebih lanjut
Hantington membedakan partisipasi politik ke dalam dua karakter, yaitu:[6]
a. Partisipasi yang demokratis dan
otonom adalah bentuk partisipasi politik yang sukarela;
b. Partisipasi yang dimanipulasi, diarahkan,
dan disponsori oleh pemerintah adalah bentuk partisipasi yang dimobilisasikan
Oleh
karenanya, tingginya angka golput dapatlah dirumuskan bagian dari kesadaran perilaku
politik. Dalam tahapan demokrasi elektoral atau demokrasi prosedural, golput adalah manifestasi politik, dimana rakyat tidak berpartisipasi politik (menggunakan
hak pilihnya) secara sukarela dalam pemilihan umum sebagai pesta
demokrasi.
Secara
faktual fenomena golput tidak hanya terjadi di negara demokrasi yang sedang berkembang, di negara yang sudah
maju dalam berdemokrasipun juga menghadapi fenomena golput, seperti di Amerika Serikat yang capaian angka partisipasi politik pemilihnya berkisar
antara 50% s/d 60%, begitu pula di Perancis dan Belanda yang angka capaian
partisipasi politik pemilihnya berkisar 86%. Karenanya fenomena Golput menjadi
pembelajaran bagi partai politik dan penguasa untuk meningkatkan kinerjanya sebagai
mesin kerja demokrasi yang efektif dan memiliki komitmen yang kuat, mewujudkan good
public governance.
Ketidakmampuan
partai politik dan pemerintah menampilkan kinerja tersebut,
maka fenomena Golput
akan mengkristal menjadi
faktor internal demokrasi yang potensial menimbulkan pembusukan demokrasi atau pembusukan politik (Political
Decay), sehingga akan berimplikasi melumpuhkan
demokrasi, dimana partai politik sebagai
mesin pembangkit partisipasi politik dalam demokrasi secara moral ikut
bertanggungjawab.
Kiranya
perlu mendapatkan apresiasi dan solusi oleh para aktor-aktor pemerintahan (penyelenggara
negara) agar pesta demokrasi lebih
efisien dan berkualitas secara sistemik, baik dalam tataran input,
process, dan output, dan malah bukan bersifat kontra produktif
dalam berdemokrasi. Sebab bagaimanapun juga golput merupakan bagian dari indikator keberhasilan pemilu yang demokratis. Artinya kehadiran golput justru
mendorong peningkatan kualitas proses dan bangunan demokrasi itu sendiri. Dengan
demikian, golput dapat diletakkan bagian dari gerakan sosial yang menghendaki
adanya perubahan sosial, politik, ekonomi dan sebagainya.
Salah
satu pendekatan teori-teori ilmu sosial yang justru melihat gerakan sosial sebagai
“fenomena positif”, atau sebagai sarana konstruktif bagi perubahan sosial. Pendekatan
ini merupakan alternatif terhadap fungsionalisme, pendekatan
sosail semacam ini
selanjutnya dikenal dengan “teori
konflik”.
Teori
konflik pada dasarnya mengunakan tiga asumsi dasar, yaitu: (1) Rakyat dianggap sebagai sejumlah kepentingan
dasar dimana mereka akan berusaha secara
keras untuk memenuhinya, (2) Kekuasaan adalah inti dari struktur sosial dan hal ini melahirkan perjuangan untuk mendapatkannya,
dan (3) Nilai dan gagasan adalah senjata konflik yang digunakan oleh berbagai kelompok untuk mencapai tujuan
masing-masing, dari pada sebagai alat mempertahankan identitas dan menyatukan tujuan masyarakat.[7]
Pada
dasarnya, gerakan sosial senantia saberkaitan dengan perubahan menuju suatu arah
yang dianggap ideal oleh para penggeraknya. Dengan bahasa lain, gerakan sosial
dan perubahan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Asal usul gerakan sosial dapat ditelusuri dari
reaksi para pemikir Perancis. Sebut saja tokoh seperti Marx dan Engels, Gramsci
serta Lenin untuk mewakili gerakan ini.
[1] Asfar, Muhammad. Presiden
Golput. Surabaya: Jawa Pos Press, 2004,13.
[2] Ibid..126.
[3] Huntington, S.P. & Nelson,
J. No Easy Choice Political Participation in Developing Countries. (Cambridge:
Harvard University Press, 1994), 4.
[4] Budiardjo, Demokrasi
di Indonesia: Demokrasi
Parlementer dan Demokrasi
Pancasila. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1996), 183.
[5] Huntington, S.P. & Nelson,
J. No Easy Choice Political…10.
[6] Ibid.. 11.
[7] Santoso, Slamet. Gerakan
Sosial dan Teori Hegemoni, http://ssantoso. blogspot.com.
No comments:
Post a Comment