GOLPUT


Pengertian Golput 

Pemilu disajikan untuk mengetahui keinginan dan kehendak masyarakat tentang apa dan siapa dalam ukuran logika rakyat yang layak untuk memimpin, memberikan perubahan ataupun perbaikan nasib bagi seluruh rakyat dalam suatu negara.[1] Partisipasi menjadi penting guna menentukan dan menilai penguasa.

Pada masa orde baru, penguasa bercorak militeristik begitu kuat, kelompok civil society tak berdaya membendung berbagai kebijakan tak populis. Kondisi demikian mendorong sekelompok intelektual yang dikomandoi Arif Budiman untuk menentang ketidak-adilan struktural lewat gerakan moral. Gerakan moral ini kemudian dikenal dengan golongan putih (golput) yang dicetuskan pada 3 Juni 1971, sebulan menjelang pemilu.[2]

Pada awalnya golput merupakan gerakan untuk melahirkan tradisi di mana ada jaminan perbedaan pendapat dengan penguasa dalam situasi apapun. Gerakan itu lahir didorong oleh kenyataan bahwa dengan atau tanpa pemilu, sistem politik waktu itu tetaplah bertopang kepada Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Lebih-lebih dengan berbagai cara, penguasa melindungi dan mendorong kemenangan Golongan Karya (Golkar), sehingga  meminggirkan partai  politik lain yang berjumlah 10 kontestan untuk dapat bertanding merebut suara secara fair.

Jadi,  dalam konteks ini, cikal bakal golput merupakan gerakan  moral yang ditujukan sebagai “mosi tidak percaya” kepada struktur politik yang coba dibangun oleh penguasa waktu itu.[3] Gerakan moral ini memberikan kesan pada publik bahwa putih disebandingkan dengan lawannya, yakni hitam, kotor. 

Pada perkembangan berikutnya, golput dimaknai sebagai protes dalam bentuk ketidakhadiran masyarakat ke tempat pemungutan suara atau keengganan menggunakan hak suaranya secara baik, atau dengan  sengaja menusuk tepat dibagian putih kertas suara dengan maksud agar surat suara menjadi tidak sah, dan dengan tujuan agar kertas  suara tidak disalah  gunakan oleh pihak tertentu untuk kepentingan tertentu pula.[4] 

Golput juga dimaknai sebagai prilaku apatisme (jenuh) dengan tema-tema pemilihan.[5] Kejenuhan tersebut disebabkan oleh suatu kondisi psikologis masyarakat yang hampir tiap tahun mengalami pemilu, pilgub, pilkada dan bahkan pilkades.

Disisi lain, penyelenggaraan pemilu yang berulang-ulang tak juga memberikan banyak hal terkait perbaikan nasib bagi masyarakat. Pada titik tertentu rasa jenuh tersebut sampai pada rasa tak peduli apakah dirinya masuk dalam daftar pemilih tetap atau tidak sama sekali. Dengan kata lain, golput merupakan akumulasi sikap jenuh masyarakat terhadap seputar pemilu baik janji politik, money politik dan kekerasan politik dan kondisi-kondisi pasca reformasi yang tak kunjung membaik.[6] 

Sementara itu Priyatmoko mengartikan golput sebagai keengganan masyarakat menggunakan hak pilihnya pada even pemilu baik pemilihan legislatif, pemilihan presiden maupun kepala daerah disebabkan rasa kecewanya pada sistem politik dan pemilu yang tak  banyak memberikan perubahan apapun bagi kehidupan masyarakat.[7]  Lain kata, masyarakat dalam taraf ini telah berada dalam taraf kesadaran dalam memaknai pemilu. Bahwa setiap tindakan mereka dikaitkan dengan pertimbangan asas timbal balik secara seimbang.

Dari beberapa pengertian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa golput adalah pilihan tidak memilih sebagai bentuk akumulasi rasa jenuh (apatis) masyarakat yang nyaris setiap tahun mengalami pemilihan kepala daerah, golput juga sebagai reaksi atau protes atas pemerintahan  dan partai-partai politik yang tidak menghiraukan suara rakyat, perlawanan terhadap belum membaiknya taraf kehidupan masyarakat baik secara ekonomi, politik, hukum dan budaya. Golput  merupakan respon atas ketidakmampuan partai atau penguasa dalam  menjalankan fungsinya sebagai wakil rakyat yang telah menerima mandat. 

Latar Belakang Timbulnya Golput

Golput (non-voting behaviour) dalam konteks politik Indonesia memiliki rentang sejarah yang panjang. Sebagaimna disebutkan di atas, pemerintahan Orde Baru ingin merombak sistem kepartaian di Indonesia, dengan mendasarkan pada konsep Ali Murtopo. Inti dari konsep tersebut adalah gagasan “massa mengambang”. 

Konsep bahwa rakyat akan menyibukkan dirinya dalam usaha-usaha pembangunan mengingatkan sesorang pada gagasan “perkakas yang bersuara” yang biasa terdapat dalam masyarakat perbudakan. Rakyat pedesaan, yang merupakan mayoritas penduduk pada tahun 1965-75, benar-benar diarahkan hanya untuk bekerja, berproduksi dan tak memiliki kesempatan berperan dalam ranah politik.[8]

Pada giliranya konsep tersebut membawa petaka besar bagi perjalanan demokrasi Indonesia. Upaya perampingan konstestan pemilu lewat sistem tri kepartaian ini nyatanya mengubah dari partisipasi politik aktif ke partisipasi politik pasif. Akibatnya menguatnya posisi negara dan rakyat terus tersubordinasi. Kenyatan ini bentuk dari intervensi negara dan hilangnya kebebasan rakyat ditengah penegakan demokrasi.

Jika pada awalnya golput hanya sebagai gerakan moral atas suatu keprihatinan, maka gerakan golput pada pemilu-pemilu berikutnya lebih dari sikap kekecewaan. Karena segala kekuatan partai dan lembaga negara dijadikan tameng kekuasaan semata. Para elit politik hanya menjadi corong penguasa. Pada era ini golput menjadi bentuk  kekecewaan dan perlawanan, karena rakyat tidak cukup berani melawan dalam bentuk revolusi berhadapan dengan kekuatan militer. sebagaimana dikatakan Closky bahwa:[9]

Ada yang tidak ikut pemilihan karena sikap acuh tak acuh dan tidak tertarik oleh, atau kurang paham mengenai, masalah politik. Ada juga karena tidak yakin bahwa usaha untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah akan berhasil dan ada juga yang sengaja tidak memanfaatkan kesempatan memilih karena kebetulan berada dalam lingkungan dimana ketidak ikut sertaan merupakan hal yang terpuji”.

Pada Pemilu 2004, angka golput begitu tinggi dan angka ini juga menjalar kepemilihan kepala daerah. Golput selain dipicu oleh  kekecewaan terhadap elit-elit partainya serta pada pemerintah juga sebagai bentuk perlawanan. Di samping itu, golput terjadi sebagai akibat dari polarisasi kepemimpinan politik dalam masyarakat atas dasar simbiosis antara patron dan klient-nya manakala sang patron tidak terakomodasi dalam struktur politik tertentu.[10]

Menurut Varma tejadinya golput di negara berkembang seperti Indonesia lebih disebabkan oleh rasa kecewa dan apatisme:[11]

Di negara berkembang lebih disebabkan oleh kekecewaan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan hasil pemilu yang kurang amanah dan memandang nilai-nilai demokrasi belum mampu mensejahterakan masyarakat. Kondisi ini jelas akan mempengaruhi proses demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara, karena terjadi paradoks demokrasi atau terjadi kontraproduktif  dalam  proses demokratisasi”.  

Secara empirik peningkatan angka Golput tersebut terjadi antara lain oleh realitas sebagai berikut: 

Pertama, pemilu dan Pilkada langsung belum mampu menghasilkan perubahan berarti bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. 

Kedua, menurunnya kinerja partai politik yang tidak memiliki platform politik yang realistis dan kader politik yang berkualitas serta komitmen politik yang berpihak kepada kepentingan publik, melainkan lebih mengutamakan kepentingan  kelompok  atau  golongannya. 

Ketiga, merosotnya integritas moral aktor-aktor politik (elit politik) yang berperilaku koruptif dan lebih mengejar kekuasaan/kedudukan daripada memperjuangkan aspirasi publik. 

Keempat, tidak terealisasinya janji-janji yang dikampanyekan elit politik kepada publik yang mendukungnnya.

Kelima, kejenuhan pemilih karena sering adanya Pemilu/Pilkada yang dipandang sebagai kegiatan seremonial berdemokrasi yang lebih menguntungkan  bagi  para  elit  politik. 

Keenam, kurang netralnya penyelenggara Pemilu/Pilkada yang masih berpotensi melakukan keberpihakan  kepada  kontestan  tertentu,  di samping juga kurangnya intensitas sosialisasi Pemilu secara terprogram dan meluas.

Oleh karena itu Golput mengindikasikan adanya beberapa hal berikut ini: (1) perlawanan terhadap rejim (2) ketidakpercayaan  terhadap  sistem dan calon yang ada (3) kekecewaan yang besar terhadap  pemerintah dan sistem, serta (4) putusnya harapan rakyat akan  lahirnya sistem dan kepemimpinan yang mampu mengayomi  mereka.  Dan terkadang, hanya dengan cara demikian kemapanan demokrasi yang mengandalkan berfungsinya check and ballances itu dapat tercipta, kendati tidak selalu demikian adanya.[12]

Selain alasan di atas, nyatanya perilaku golput juga bagian dari refleksi hal-hal sebagai berikut :

Pertama, apatisme politik, yaitu sikap tidak berminat atau tidak menaruh perhatian terhadap orang, situasi, atau gejala-gejala umum yang berkait dengan persoalan politik dan kelembagaannya.

Kedua, sinisme politik merupakan sikap yang dimiliki sebagai penghayatan atas tindakan dan motif orang atau lembaga lain dengan perasaan curiga. Orang-orang sinis selalu menganggap politik itu kotor,  bahwa semua politisi tak dapat dipercaya, bahwa rakyat selalu menjadi  korban manipulasi partai dan penguasa, dan bahwa setiap rejim selalu  dipimpin  orang  tak  amanah. 

Ketiga, alienasi merupakan perasaan keterasingan dari  kehidupan  politik dan pemerintahan, sehingga selalu memandang segenap peraturan yang ada sebagai tidak adil dan menguntungkan  penguasa.

Keempat, anomi yaitu perasaan kehilangan nilai dan orientasi hidup, sehingga tak bermotivasi untuk mengambil tindakan yang berarti karena hilangnya kepercayaan terhadap lembaga-lembaga politik yang ada.[13]

Berdasarkan kerangka demikian, menurut Hendardi, Golput juga merupakan pilihan rasional bila dilihat dari kacamata berikut ini:[14]

Pertama, pilihan golput harus dilihat sebagai upaya membuka ruang kebebasan pemilu yang lain. Memilih atau mencoblos suatu partai atau calon presiden bukanlah satu-satunya pilihan. Warga negara membuka suatu ruang lain dalam mengekspresikan pilihannya untuk tidak memilih partai atau calon presiden apa pun karena pertimbangan-pertimbangan rasional dan teologis. 

Kedua, munculnya golput di Indonesia pada awal dasawarsa 1970-an adalah ekspresi sikap kritis.

Ketiga, menyimak perilaku politisi baik di pusat dan daerah, telah banyak mengecewakan warga negara yang telah memilihnya. 


[1] Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia, 1999), 176.  Lihat juga Limas Sutanto,  Memilih  Pemimpin  Transisional,  dalam  Siapa  Mau  Jadi  Presiden,  (Jakarta:  Buku Kompas, 2004), 14.
[2] www.tsanincenter.blogspot.com.
[3] Htp//www.sulis.opc/election/update.pdf.
[4] Muhammad Asfar, Presiden Golput, (Surabaya: Jawa Pos Press, 2004), 3.
[5] Http://tapol.gn.apc.org/elections/updates/MultiChoiseBahasa.pdf
[6] Soebagio, Implikasi Golongan Putih Terhadap Pembangunan Demokratisasi di Indonesia, dalam Jurnal Makara: Sosial Humaniora, Vol 12 No 2, Desember 2008.
[7] Priyatmoko,  dkk.,  Sikap  Politik  dan  Afiliasi  Orang  Tua  dan  Perilaku  Memilih  Pemuda  Kota Surabaya, (Surabaya: Lembaga Peneleitian Unair, 1992), 2.
[8] Rudi  Harotono,  Gerakan  Golput  dan  Masa  Depan  Demokrasi  di  Indonesia,  dalam http;//lmnd.wordpress.com.
[9] McClosky,  H.  Political  Participation,  International  Encyclopedia  of  The  Social  Science,  (2nd ed.). (New York: The Macmillan Company and Free Press, 1972), 20.
[10] Gandung Ismoro. “Memahami Eksistensi Golput dalam Demokrasi”, dalam http://lanskap-artikel.blogspot.com
[11] Varma, S.P.  Teori Politik Modern. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), 295.
[12] Http://www.tsanincenter.blogspot.com.
[13] Gandung  Ismoro.  “Memahami  Eksistensi  Golput  dalam  Demokrasi”,  dalam  http://lanskap-artikel.blogspot.com
[14] Kompas, 06/04/07.

No comments:

Post a Comment