ILGHA’ DAN TA’LIQ


a.     Ilgha’

Ilgha’ adalah membatalkan amalnya fi’il qalbi yang bisa menashabkan mubtada’ dan khabar bukan karena ada perkara yang mencegah tetapi karena lemahnya amil sebab diletakkan ditengah atau diakhir, sehingga keduanya kembali dibaca rafa’ menjadi mubtada’ dan khabar,[1] seperti (خاَلِدٌ كَرِيْمٌ ظَنَنْتُ).

Ilgha’ diperbolehkan dalam af’alul qulub yang tidak mendahului kedua maf’ulnya. Jika fi’il itu berada ditengah diantara kedua maf’ulnya, maka mengamalkan atau mengilgha’kan fi’il itu adalah sama hukumnya, sehingga kita ucapkan (خَلِيْلاً ظَنَنْتُ مُجْتَهِداً) dan (خَلِيْلٌ ظَنَنْتُ مُجْتَهِدٌ).

Dan jika fi’il itu berada diakhir kedua maf’ulnya, maka diperbolehkan untuk mengamalkan fi’il itu, namun mengilgha’kannya adalah lebih baik, seperti (الْمَطَرُ ناَزِلٌ حَسِبْتُ) dan (الشَّمْسَ طاَلِعَةً خِلْتُهُ).

Jika fi’il itu mendahului kedua maf’ulnya, maka lughat yang fasih dan banyak berlakunya adalah tetap mengamalkan fi’il itu, sehingga kita ucapkan (رَأَيْتُ الْحَقَّ أَبْلَجَ). Dan diperbolehkan untuk mengilgha’kannya, namun dlaif dan qalil hukumnya, seperti syair,

اَرْجُوا وَ آمُلُ أَنْ تَدْنُو مَوَدَّتُهاَ * وَ ماَ إِخاَلُ لَدَيْناَ مِنْكَ تَنْوِيْلُ

b.     Ta’liq

Ta’liq adalah membatalkan pengamalannya fi’il qalbi secara lafdzi bukan mahallnya karena ada perkara yang mencegah, sehingga jumlah yang ada setelahnya bertempat nashab menempati tempatnya kedua maf’ul,[2] seperti (خاَلِدٌ كَرِيْمٌ ظَنَنْتُ).

Diwajibkan untuk menta’liq fi’il ketika disitu ada perkara yang mencegah dari mengamalkannya, yaitu ketika fi’il itu jatuh setelah salah satu dari keempat perkara dibawah ini,[3]

1)     (ماَ), (إِنْ) dan (لاَ) yang semuanya adalah nafi, seperti (عَلِمْتُ ماَ زُهَيْرٌ كَسُولاً), (ظَنَنْتُ إِنْ فَاطِمَةُ مُهْمِلَةٌ) dan (حَسِبْتُ لاَ اُسَامَةُ بَطِيْءٌ).

2)     Lam ibtida’, seperti (عَلِمْتُ لَأَخُوكَ مُجْتَهِدٌ).

3)     Lam qasam, seperti syair,

وَ لَقَدْ عَلِمْتُ لَتَأْتِيَنَّ مَنِيَّتِي * إِنَّ الْمَناَياَ لاَ تَطِيْشُ سِهاَمُهاَ

4)     Istifham, baik dengan huruf, seperti (وَ إِنْ اَدْرِي اَقَرِيْبٌ اَمْ بَعِيْدٌ ماَ تُوعَدُونَ؟), atau dengan isim, seperti (لَنَعْلَمَ اَيُّ الْحِزْبَيْنِ اَحْصَى لِماَ لَبِسُوا اَمَداً؟), baik istifham itu menjadi mubtada’, seperti dalam contoh di atas, atau menjadi khabar, seperti (عَلِمْتُ مَتَى السَّفَرُ؟), atau berupa lafal yang diidlafahkan kepada mubtada’, seperti (عَلِمْتُ فَرَسُ اَيِّهِمْ ساَبِقٌ؟), atau diidlafahkan kepada khabar, seperti (عَلِمْتُ اِبْنُ مَنْ هَذَا؟).

Terkadang fi’il muta’addi, selain dari fi’il qalbi, dita’liqkan dari amal, seperti (فَلْيَنْظُرْ اَيُّهاَ اَزْكَى طَعاَماً؟).

Fi’il yang tertashrif dari af’alul qulub telah terkhusus dengan ta’liq dan ilgha’, namun keduanya tidak bisa terjadi pada (هَبْ) dan (تَعَلَّمْ), karena kedua fi’il itu adalah jamid.

Kalian telah mengetahui kalau ilgha’ diperbolehkan ketika wujud jalannya dan lafal yang diilgha’kan tidak bisa beramal sama sekali, dan lafal yang dita’liqkan, meskipun tidak bisa beramal secara lafdzi, akan tetapi dia bisa mengamalkan menashabkan dalam mahallnya jumlah, sehingga diperbolehkan untuk meng’athafkan dengan nashab pada mahallnya, sehingga kita ucapkan (عَلِمْتُ لَخاَلِدٌ شُجاَعٌ وَ سَعِيْداً كَرِيْماً) dengan di’athafkan pada mahallnya (خاَلِدٌ) dan (سَعِيْداً), karena keduanya adalah maf’ul untuk fi’il yang dita’liqkan dari menashabkan keduanya dengan lam ibtida’. Dan diperbolehkan juga untuk merafa’kan keduanya degan di’athafkan pada lafalnya.

Jumlah yang jatuh setelah fi’il yang dita’liq adalah nashab sebagai maf’ul yang jumlah itu menempati tempatnya dua maf’ul, jika fi’il itu muta’adii dua maf’ul dan dia tidak menashabkan maf’ul yang pertama. Jika dia menashabkan maf’ul yang pertama, maka jumlah itu menempati tempatnya maf’ul yang kedua,[4] seperti (عَلِمْتُكَ اَيَّ رَجُلٍ اَنْتَ؟).

Dan jika fi’il itu hanya muta’addi satu maf’ul, maka jumlah itu hanya menempati tempatnya maf’ul yang satu itu, seperti (لاَ تَأْتِ اَمْراً لَمْ تَعْرِفْ ماَ هُوَ؟).

Dan jika fi’il itu kemuta’addiyannya dengan huruf jer, maka huruf jer digugurkan dan jumlah dibaca nashab mahallnya dengan menggugurkan huruf jer (atau yag dinamakan dengan Nashab ‘Ala Naz’il Khafidl),[5] seperti (فَكَّرْتُ اَصَحِيْحٌ هَذَا اَمْ لاَ؟) karena (فَكَّرَ) muta’addi dengan (فِي) diucapkan (فَكَّرْتُ فِي الْأَمْرِ).





[1] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 29
[2] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 29
[3] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 29
[4] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 31
[5] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz III hlm. 32

No comments:

Post a Comment