KEHIDUPAN AGAMA ISALAM DI JAWA TENGAH


Islam di Jawa pada awal pertumbuhannya sangat diwarnai oleh kebudayaan Jawa. Ini mungkin disebabkan karena para bangsawan Jawa yang telah masuk Islam tetapi masih melestarikan tradisi kultur Hindu dan juga para mubalig Islam itu sendiri hidup dalam lingkungan tradisi budaya Jawa yang tidak berhubungan langsung dengan dunia Islam di Timur Tengah. Dengan demikian dakwah Islam disiarkan dengan melihat tradisi setempat dan disesuaikan dengan kebutuhan setempat.

Dipihak lain, Islam masih menghormati adat kebiasaan Jawa dengan memberi warna Islam ke dalamnya. Islam di Jawa pada tahap awal memberikan banyak kelonggaran terhadap sistem kepercayaan  sinkritisme (kejawen) yang terdapat dalam ajaran Hindu yang bercampur baur dengan unsur budaya asli. Seperti dakwah yang dilakukan oleh sunan Kalijaga di pedalaman Jawa Tengah bagian selatan. Dia mendirikan pemukiman-pemukiman religius serta bersaing dengan para  pengajar Hindu di bidang kesaktian. Dengan metode pagelaran wayang yang dilaksanakan untuk menarik kaum pribumi dalam penyebaran Islam.

Dalam pengislaman di Jawa dimana masih kuatnya pengaruh ajaran Hindu, maka dalam penyebarannya melalui proses yang tidak mudah, bertahap dan penuh tantangan. Tahap pertama ialah pengislaman orang Jawa menjadi Islam sekadarnya, yang selesai pada abad XVI. Tahap kedua ialah pemantapan untuk menjadi umat yang taat, yang secara pelan-pelan menggantikan kehidupan keagamaan yang lama hampir secara menyeluruh. Walaupun demikian, syari’at Islam belum dapat diterapkan secara menyeluruh.

Pada waktu itu unsur-unsur Islam memang sudah dapat memberikan warna tersendiri terhadap perkembangan sastra Jawa. Maka tidak mengherankan bila Islam dapat menembus kehidupan sosial, terutama masyarakat di sepanjang pantai utara Jawa dimana kebudayaan Jawa yang akhirnya kurang berpengaruh. Kemudian untuk tempat-tempat dimana kebudayaan Hindu masih dominan, Islam cenderung mencari jalan kompromi seperti masyarakat Jawa Tengah bagian tengah dan selatan.

Pada masa pemerintahan sultan-sultan Demak dan Pajang serta pada masa kerajaan Sultan Agung Mataram, secara aktif turut melancarkan proses Islamisasi. Maka pemerintahan kolonial Belanda, proses pemantapan dan pembentukan masyarakat Islam yang taat masih mengalami hambatan.

Namun demikian, oposisi dan pembatasan yang dilancarkan oleh Belanda terhadap Islam juga membatasi ruang gerak Islam sebagai suatu kekuatan sosial, kultural, dan politik. Karena Islam sendiri tidak dapat memainkan peranan penting dalam percaturan politik di kota-kota Jawa, maka pusat-pusat studi Islam beralih kepada pesantren-pesantren pedesaan yang dikembangkan oleh para kiai. Pola fakir politik mereka terbatas pada kepentingan usaha. Pengembangan ajaran-ajaran dari inti Islam yang sebenarnya. Dan para kiai akan menerima kepemimpinan orang kafir selama tidak menghancurkan penyebaran Islam dari ide para kiai.

Tekanan tidak lagi mengarah pada pendidikan dan sosial, tetapi lebih mementingkan kualitas. Pada akhirnya muncul kelompok masyarakat santri dan masyarakat abangan serta polarisasi keduanya. Karena kurangnya saran, maka untuk memaksa kepatuhan ajaran Islam kepada para pemeluknya, para kiai itu lebih menggantungkan pada persuasif dalam menarik hati para pengikutnya. Lembaga-lembaga tradisional tidak dihilangkan begitu saja, justru dipakai untuk memantapkan kehidupan Islam.

Kecenderungan orang Jawa untuk mempercayai orang-orang yang memiliki kekuatan gaib diberi keleluasaan mengenai praktek, kepercayaan mistik dan tarekat diberikan jalan. Ketaatan pada pola tingkah laku dengan segala normanya diterapkan khususnya di pedesaan Jawa secara pelan-pelan.

Akhir abad XIX, Islam di Jawa sudah mulai menanggalkan ciri sinkritiknya secara berangsur-angsur dan merintis pembaharuan pemikiran dalam ajaran-ajaran Islam. Angkatan laut yang bertambah kuat dan hubungan dengan kota suci Makkah mulai terbina dengan dibukanya Terusan Suez. Akibatnya jumlah jama’ah haji meningkat dan para mubalig Arab Hadramaut datang ke pulau Jawa untuk menambah pertumbuhan ortodoksi Islam.

Diantara jama’ah haji itu ada yang bermukim di Makkah untuk beberapa tahun dengan tujuan memperdalam ilmu agama dan ikut serta dalam melaksanakan kehidupan keagamaan sebagaimana yang dipraktekkan dalam oleh kaum muslimin Timur tengah. Bila mereka pulang ke tanah air, haji-haji tersebut bukan hanya bertindak sebagai pembawa tongkat estafet panji-panji ortodoksi, melainkan membawa gagasan-gagasan pembaruan Islam.

Selama beberapa dasa warsa terakhir abad XIX sebagian besar pulau Jawa dilanda gerakan kebangkitan kembali agama dengan memperlihatkan peningkatan yang luar biasa dalam kegiatan agama seperti ketaatan melaksanakan ibadah, peningkatan naik haji, peningkatan volume pendidikan Islam tradisional kepada anak-anak muda, mendirikan cabang-cabang tarekat, penyelenggaraan tempat-tempat ibadah dan lain sebagainya.

Beberapa tahun kemudian, satu kebangkitan kembali kehidupan agama memanifestasikan dirinya dalam peningkatan pesantren dan pusat-pusat pengkajian agama Islam. Lembaga pesantren itu tidak disangsikan lagi telah memperoleh kekuatan dan daya tarik baru dikalangan rakyat pedesaan.

Dari lembaga-lembaga pesantren itulah asal usul sejumlah manuskrip (catatan) tentang pengajaran Islam yang dikumpulkan oleh pengembara pertama dari orang-orang Bagdad, Belanda, dan Inggris sejak abad XVI. Lembaga ini sebagai anak panah penyebaran Islam di Jawa.



No comments:

Post a Comment