K.H. SALIH DARAT


K.H. Salih Darat yang mempunyai nama asli Muhammad Ibn Umar, lahir di desa Kedung Cumpleng, kecamatan Mayong, kabupaten Jepara, Jawa Tengah sekitar tahun 1820 M. Adapun hari, tanggal, bulan dan tahun kelahirannya secara tepat belum diketahui.

Ada juga yang menyatakan bahwa tempat kelahirannya di Bangsri, Jepara. Namun informasi tentang kelahirannya di desa Kedung Cumpleng lebih kuat daripada tempat lain. Hal  ini diterima dari Kyai Fathkurrozi, Kajen Pati yang mendapat informasi dari Kiai Abdullah (al-Marhum) yang berasal dari daerah yang sama dengan Muhammad Salih Ibn Umar.

Beliau wafat di Semarang pada hari Jum’at Legi tanggal 28 Ramadhan 1321 H/ 18 Desember 1903 M dan dimakamkan di pemakaman umum “Bergota” Semarang, yang makamnya banyak diziarahi orang, baik dari Semarang maupun daerah sekitarnya.[1]

Adapun nama yang sering digunakan dalam beberapa judul karya tulisnya adalah  “Syaikh Haji Muhammad Salih ibn Umar as-Samarani” atau “Samarani”, seperti yang terdapat pada sampul kitabnya  Majmu’ah al-Syari’ah al-Kafiyah li-al-`Awam, Lata’if al-Thaharah, Tarjamah Sabil al-`Abid, `Ala Jauharah al-Tauhid, dan sebagainya. Namun, di kalangan para kiai Jawa maupun masyarakat Muslim pada umumnya dan khususnya masyarakat Semarang dan sekitarnya lebih dikenal dengan sebutan “Kiai Salih Darat” atau “Mbah Salih Darat”. Sebutan ini seperti yang ia lakukan sendiri tertera pada bagian akhir  surat yang ditujukan kepada Penghulu Tafsir Anom,[2] Penghulu keraton Surakarta, yaitu: “Al-Haqir Muhammad Salih bin Ibn Umar Semarang”. Seperti, ketika menyebut nama-nama gurunya dalam kitabnya al-Mursyid al-Wajiz”.[3]

Tambahan sebutan “Darat” di belakang namanya, karena ia tinggal di suatu kawasan dekat pantai utara Kodya Semarang tempat mendarat orang-orang yang datang dari luar Jawa, dan kini termasuk wilayah kecamatan Semarang Barat.

Penambahan sebutan di belakang nama seseorang dengan nama suatu tempat kediamannya atau kelahirannya telah menjadi kelaziman bagi orang-orang tertentu, dan bahkan terkenal daripada nama aslinya. Seperti : al-Bukhari (dari Bukhara), al-Ghazali (dari Ghazal), al-Zarnuji (dari Zarnu), Nawawi al-Batani (dari Banten), Muhammad Mahfudz al-Tirmizi (dari Termas), dan tidak terkecuali sebutan “Darat” tersebut.

Semasa kecil, K.H. Salih Darat bertempat tinggal di Jepara, dan seperti umumnya anak kiai, ia belajar agama kepada beberapa orang kiai, antara lain: 
a. K.H. M. Syahid, cucu Kiai Mutamakkin yang hidup pada masa Paku Buwono II (1727-1749). Kepada beliau, K.H. Salih Darat belajar beberapa kitab Fiqih, seperti :  Fath al-Qarib, Fath al-Mu`in, Minhaj al-Qawim, Syarh al-Khatib, Fath al-Wahhab.[4]

Karena kitab tersebut bukan termasuk kitab fiqih pengantar dan mempelajarinya memerlukan waktu yang cukup lama, maka dapat dipahami bahwa kiai  Salih Darat belajar di Waturoyo cukup lama. Sehingga, dapat dikatakan bahwa ia sudah mampu membaca kitab sebelum belajar agama di Semarang.

b. K. Raden Haji Muhammad Salih Ibn Asnami Kudus. Kepadanya Kiai Salih Darat belajar tafsir al-Jalalain.

c. K. Ishaq Damaran, Semarang. Kepadanya Kiai Salih Darat belajar nahwu dan saraf.

d. K. Abu Abdillah Muhammad al-Hadi Ibn Baquni, mufti Semarang. Kepadanya, Kiai Salih Darat belajar ilmu falak.

e. Ahmad Bafaqih Ba’lawi, Semarang, kepadanya Kiai Salih Darat belajar  Jauharah al-Tauhid, karya Syaikh Ibrahim al-Laqani, dan Minhaj al-`Abidin karya al-Ghazali.

f. Syaikh Abdul Ghani Bima, di Semarang. Kepadanya, Kiai Salih Darat belajar Sittin Masalah.[5]

Para santri yang ingin memperdalam ilmunya, tidak jarang pergi ke Mekkah yang pada abad 19 merupakan pusat menuntut ilmu agama bagi kebanyakan orang Indonesia. Di Makkah, para santri dapat menuntut ilmu dari para kiai senior dan juga bertaraf internasional.[6]

 K.H. Salih Darat merupakan salah satu santri dari Indonesia yang menuntut ilmu di Makkah. Namun, tahun berapa ia berangkat dan tahun berapa ia kembali ke Tanah Air, secara tepat tidak diketahui. Ketika C. Snouck Hurgronje di Saudi Arabia (1884-1885)[7] menyebut beberapa nama orang Indonesia, nama K.H. Salih Darat tidak disebutkan. Bisa jadi, saat itu K.H. Salih Darat sudah kembali ke tanah air dan membuka pesantren di Darat Semarang. Hal ini mengingat bahwa sebagian karya tulisnya banyak yang ditulis pada akhir abad 19. Kitab Faidl al-Rahman ditulis pada tahun 1892, dan al-Hikam  tahun 1872.[8]

Ketika K.H. Salih Darat berada di Makkah, antara lain berguru kepada:

a. ‘Aqaid Ummul Barahin berguru kepada Syaikh Muhammad al-Muqri al-Misri al-Makri al-Mazky. Kepadanya beliau belajar kitab karangan Syeikh al-Allamah al-Sanusi Khasiyah Ibrahim Bajuri.

b. Syarkh al-Khatib, Fath al-Wahhab,  dan  Al-Fiyah Ibn Malik,  berguru kepada Syaikh Muhammad bin Sulaiman Khasballah, pengajar Masjid al-Haram dan Masjid al-Nabawi. Dalam hal ini K.H. Salih Darat memperoleh “ijazah”.[9]

c. Ihya’ ‘Ulumuddin, berguru kepada Al-‘Allamah Sayid Ahmad ibn Zaini Dahlan mufti al-Syafi’i (1232-1304 H / 1817-1886 M). 

d. Hikam li Ibni `Athaillah,  berguru kepada Ahmad al-Nahrawi al-Misri al-Makky.[10]

e. Ihya’ `Ulum ad-Din juz I dan II, kepada Syeikh Muhammad Shaleh al-Zawawi al-Makky, guru di Masjid al-Nabawi. 

f. Fath al-Wahhab, kepada Kiai Zaid yaitu gurunya Syeikh Usman al-Dimyati.

g. Syarh al-Tahrir kepadanya Syaikh al-Sanbalawi al-Misry.

h. Tafsir al-Qur’an berguru kepada Syaikh Jamal mufti Al-Hanafi di Makkah. Kepadanya Kiai Salih Darat belajar.

i. Jauhar al-Tauhid, di Semarang kepada Syaikh bin Ahmad Bafaqih Ba’lawi.[11]

Ayah K.H. Salih Darat adalah Kiai Umar, salah seorang pejuang kepercayaan Pangeran Diponegoro di Jawa bagian utara di Semarang, di samping Kiai Syada dan Kiai Murtada.[12] Dan umumnya para Kiai yang berperang melawan Belanda bersama Pangeran Diponegoro atau para keluarga mereka memiliki andil dalam mendirikan beberapa pesantren besar di Jawa Tengah. Dan mereka berkaitan satu dengan yang lain dengan K.H. Salih Darat.

K.H. Hasan Basari, ajudan Pangeran Diponegoro, pernah bertugas merebut daerah Kedu dari tangan Belanda, ia ditahan dan dibuang ke Manado.[13] Salah seorang cucunya adalah K.H.M. Munawir, pendiri Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. K.H. Munawir adalah seorang murid K. H. Salih Darat.[14]

Kiai Syada dan Kiai Darda adalah dua orang prajurit Diponegoro. Setelah Pangeran Diponegoro dipenjara, Kiai Darda yang berasal dari Kudus, kemudian menetap di Mangkang Wetan, Semarang sebelah barat dan membuka pesantren disana. K.H. Salih Darat pernah belajar kepadanya. Putra Kiai Syada yang bernama Kiai Bulkin dinikahkan dengan Natijah, putri Kiai Darda, dan melahirkan K.H. Tahir. K.H. Tahir, cucu Kiai Darda, pernah menjadi murid K.H. Salih Darat.[15]

Kiai Murtada adalah teman seperjuangan dengan K.H. Salih Darat ketika melawan Belanda. Putri Kiai Murtada yang bernama Safiyah dinikahkan dengan K.H. Salih Darat setelah pulang dari Mekkah.[16]

Kiai Jamasri, prajurit Pangeran Diponegoro di daerah Sala, pendiri Pondok Pesantren Jamsaren Surakarta. Ketika Kiai Jamasri ditangkap Belanda, pesantrennya tidak ada yang meneruskan dan ditutup. Kemudian dihidupkan kembali oleh Kiai Idris, salah seorang santri senior K.H. Salih Darat.[17]




[1] Abdullah Salim, Majmu’ah al-Syari’ah al-Kafiyah Li al-‘Awam Karya Kiai Salih Darat (Suatu Kajian Terhadap Kitab Fiqih Berbahasa Jawa Akhir Abad 19),  Jakarta: Program Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1995, hlm. 21-23, 38, 57-58
[2] Penghulu Tafsir Anom adalah ayah Prof. KHR. Muhammad Adnan yang pernah menjabat ketua Islam Tinggi (1941-1951) serta mantan ketua Fakultas PTAIN yang kemudian berubah menjadi Presiden PTAIN. PTAIN kemudian berubah menjadi IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 1961
[3] Muhammad Salih ibn Umar al-Samarani,  Al-Mursyid al-Majiz,  Bombay: al-Karimi, 1343 H/1925), cet. II, hlm. 118. Di bagian akhir kitab itu diterangkan, penyusunan kitab diselesaikan tanggal 26 Zul Qa’dah 1317 H (1900)
[4] Abdullah Salim, op. cit., hlm. 29
[5] Abu al-`Abbas Ahmad al-Misri (w. 818 H/ 1415),  Kitab  al-Masa’il al-Sittin,   sejenis kitab berisi ajaran dasar Islam; sangat populer di Jawa abad 19. Martin Van Bruinessen, Bo. I/Vol. IV, hlm. 45
[6] Karel A. Steenbrink,  Pesantren Madrasah Sekolah,  Jakarta: LP3ES, 1986, hlm. 18. Abdullah Salim, op. cit., hlm. 31
[7] C. Snouck Hurgronje masuk ke Jedah Agustus 1984, Februari 1985 masuk ke Makkah dan Agustus 1888 ia diminta meninggalkan Makkah. Abdullah Salim, ibid., hlm. 32
[8] Ibid.
[9] Suatu ilmu yang penyampaiannya secara bersanad dari guru kepada muridnya secara bersambung dan diakhiri dengan pengakuan berupa pemberian “ijazah”. Dalam  al-Mursyid al-Wajiz dijelaskan bahwa kiai Salih Darat mendapat ilmu-ilmu tersebut dari Syaikh Muhammad ibn Sulaiman Hasballah yang mendapatkan ilmu dari Syaikh ‘Abd al-Hamid al-Daghastani. Al-Daghastani mendapatnya dari Ibrahim Bajuri, yang mendapatkan ilmu dari al-Syarqawi, pengarang  Syarh al- Hikam. Al-Mursyid al-Wajiz, ibid.,  hlm. 33. (Lihat, Zamakhsyari Dhofier, Tradisi pesantren, hlm. 23, menyebutkan bahwa “ijazah” model pesantren itu berbentuk pencantuman nama dalam suatu daftar rantai transmisi pengetahuan yang dikeluarkan oleh gurunya terhadap muridnya yang telah menyelesaikan pelajarannya dengan baik tentang suatu buku tertentu hingga si murid dianggap menguasai dan mengajarkannya kepada orang lain).
[10] Baik Ahmad Zaini Dahlan maupun Ahmad Nahrawi, merupakan guru Kiai Nawawi Banten. Chaidir, Syarah Nawawi al-Bantani, Jakarta: Sarana Utama, 1978, hlm. 5
[11] Muhammad Salih bin ‘Umar Semarang, Al-Mursyid al-Wajiz fi ‘Ulum al-Qur’an, Bombay: al-Karimi, 1343 H/1925 M), cet. II, hlm.  274-275
[12] HM. Danuwiryo,  Ky. Saleh Darat Ulama Besar dan Pujangga Islam Sesudah Pakubono Ke-IV, Mimbar ‘Ulama’, No. 17, 1977, hlm. 68
[13] Aliy As’ad, et. al.,  K.H. Munawir,  Yogyakarta: Pondok Pesantren Yogyakarta, 1975, hlm. 4
[14] Ibid.
[15] Informasi dari Bapak H. Ghazali Munir, M.A., merujuk pada informasi beliau yang didapat dari cucu K.H. Salih Darat dikediamannya.
[16] Abdullah Salim, op. cit., hlm. 25
[17] Kiai Idris termasuk santri senior yang menggantikan Kiai Salih Darat selama sakit sampai dengan wafatnya. Kemudian Kiai Idris pindah ke Sala beserta sebagian santri yang lain. pada tahun 1904, di Sala ini Kiai Idris menghidupkan kembali Pesantren Jamsaren sampai wafatnya tanggal 23 Jumadil Awal 1341 H M. Abdullah Salim, ibid.

No comments:

Post a Comment