Penerapan
kloning pada manusia mendapat tanggapan yang beragam dari berbagai kalangan,
ada yang setuju ada pula yang menentang penerapan kloning tersebut pada
manusia. Terlepas dari pertentangan antara yang pro dan kontra terhadap kloning
pada manusia, terdapat persoalan yang harus segera diselesaikan ketika
teknologi itu benar-benar diterapkan pada manusia, yaitu dampak akibat teknologi
tersebut. Antara lain menyangkut legalitas hukum, kedudukan anak yang lahir,
serta dampaknya terhadap hukum-hukum yang ada dalam keluarga. Semuanya itu
harus mendapat perhatian yang serius agar anak yang lahir tidak mempunyai beban
sosial di dalam masyarakat.[1]
Dalam
sebuah eksperimen yang dilakukan, Mendel menyimpulkan bahwa, ada suatu pola
terhadap pemindahan sifat-sifat induk kepada keturunannya. Sifat-sifat itu
ditentukan oleh sepasang unit, yang disebut dengan istilah gen.[2]
Gen ini terdapat pada setiap sel yang ada
dalam tubuh manusia dan gen-gen inilah yang meneruskan sifat induk kepada
generasi berikutnya melalui sel-sel benih, baik melalui pembuahan alami maupun
pembuahan luar tubuh seperti bayi tabung.
Dengan
adanya kemajuan teknologi, mausia dapat membuat individu baru dengan cara
kloning yang tidak lagi menggunakan sperma dalam proses pembuahannya, yang
dibutuhkan hanya sel telur dan inti sel. Pekerjaan mengklon dengan inti sel telah
dilakukan oleh pakar embriologi Inggris 30 tahun lalu pada seekor katak, inti
telur katak dihancurkan dengan cara meradiasinya dengan sinar ultraviolet, kemudian
mengganti inti sel telur dengan inti sel kulit kecebong.
Setelah diberi zat
perangsang telur itu tumbuh jadi cebong dan bermetamorfosis menjadi katak dewasa.
Pekerjaan pakar ini sesungguhnya menunjukkan bahwa, dalam tiap inti sel
definitif kandungan materi genetiknya tetap lengkap seperti yang terkandung dalam
zigot.[3]
Setiap sel dalam tubuh manusia (sel apapun
justru bukan dari sel seks) berpotensi untuk tumbuh kembang menjadi organisme
baru yang komplit. Setiap sel yang ada dalam tubuh manusia mengandung gen atau
struktur kromosom lengkap, yang memungkinkan dapat tumbuh menjadi individu baru
yang utuh.[4]
Kelahiran anak yang menggunakan sperma ataupun
inti sel somatik/sel tubuh dalam pembuahan pada dasarnya secara biologis adalah
sama. Dengan demikian kloning itu sama dengan teknologi reproduksi lainnya yang
sudah lebih dulu dikenal masyarakat, misal bayi tabung, hanya saja teknik yang
digunakan lebih maju.
Pelaksanaan
kloning dengan sel somatik donor dapat menimbulkan permasalahan, karena
percampuran sel telur (ovum) dengan sel somatik donor tidak diikat oleh
perkawinan yang sah, sehingga menyebabkan hubungan tersebut juga tidak sah dan
anak yang lahir merupakan anak yang tidak sah.[5]
Bila dilihat secara biologis, maka anak hasil
kloning dengan sel donor tesebut merupakan anak dari pemilik sel donor dan
pemilik ovum, karena secara embriologis anak tersebut tumbuh dan berkembang
dari pembuahan yang benihnya berasal dari pemilik sel dan ovum. Pada diri
anak hasil kloning terdapat sifat-sifat
yang diturunkan oleh pemilik sel donor melalui gen yang terdapat dalam sel
donor dan merupakan satu-satunya penyedia gen
yang akan tumbuh menjadi embrio.[6]
Namun
bila dilihat dari sudut pandang hukum maka anak hasil kloning tersebut bukanlah
anak dari pemilik sel donor, karena kelahiran anak tersebut tidak diikat oleh
perkawinan yang sah. Sebagaimana penjelasan hadis Nabi kisah Utbah bin Abi Waqas
yang berbuat z1na dengan budak milik Zam’ah berikut:
عن
عائشة قالت إختصم سعد بن أبي وقاص و عبد بن زمعة الى رسول الله صلى الله عليه و
سلم في ابن امة زمعة فقال سعد أوصاني أخي عتبة اذا قدمت مكة ان أنظر الى ابن امة
زمعة فأقبضه ابنه و قال عبد بن زمعة أخي ابن أمة أبي ولد على فراش أبي فرأى رسول
الله صلى الله عليه و سلم شبها بينا بعتبة فقال الولد للفراش وللعاهر الحجر منه يا
سودة
Dari
‘Aisyah berkata: Sa’ad bin Abi Waqas dan Abdu bin Zam’ah bertengkar dan mengadu
kepada Rasulullah saw tentang anak lelaki budak Zam’ah, Sa’ad berkata: saudara
saya Utbah berpesan apabila ia meninggalkan mekkah supaya melihat lelaki anak
budak Zam’ah dan mengambil anak itu karena ia adalah anaknya, kemudian Abdu bin
Zam’ah berkata anak lelaki budak ayahnya tersebut adalah saudaranya, karena ia
dilahirkan oleh isteri bapaknya, kemudian Rasulullah saw memandang anak
tersebut yang mirip sekali dengan Utbah, kemudian berkata: Anak adalah milik
suami dari wanita yang melahirkan, berhijablah kamu hai Saudah dari padanya.(
HR. Abu Dawud).[7]
Berdasarkan
hadis di atas, yang menyebabkan hubungan hukum antara anak dengan ayah adalah
adanya ikatan perkawinan. Walaupun secara biologis Utbah bin Abi Waqas adalah
ayah dari anak yang lahir, tetapi nabi tidak menghubungkan nasab anak tersebut
dengan Utbah karena lahir dari perbuatan z1na. Hal ini sejalan dengan
Undang-Undang Nomer 1 tahun 1974 pasal 2 dan KHI pasal 99 tentang kedudukan
anak. Pada pasal 42 dijelaskan:
“Anak
yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan
yang sah”.[8]
Sedang
dalam KHI pasal 99 disebutkan:
Anak
yang sah adalah:
a. Anak yang dilahirkan dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang sah;
b. Hasil perbuatan suami-istri yang
sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.[9]
Permasalahan
yang timbul dari pelaksanaan kloning dengan sel darah anak yang meninggal karna
kecelakaan akan mengenai hubungan nasab anak tersebut, karena hubungan nasab
dapat menimbulkan konsekuensi hukum antara anak dengan orang tuanya, baik
mengenai kemahraman, kewarisan, timbulnya hak dan kewajiban antara anak dengan
orang tuanya.
Para
ulama’ mengharamkan teknik kloning dengan sel somatik donor karena menyebabkan
tidak jelasnya status anak yang lahir. Antara lain Yusuf Qordawi, Mahmud
Syaltut, dan juga keputusan MUI No. Kep-03/MUI/IV/2000. Hal ini di dasarkan
pada hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud berikut:
عن
رويفع بن ثابت قال سمعت من رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول لا يحل لإمرء يؤمن
بالله و اليوم الآخر أن يسقي ماءه زرع غيره
Dari
Ruwaifi’ bin Sabit berkata: saya mendengar Rasulullah saw besabda: Tidak halal
bagi seseorang yang beriman kepada Allah ia menyiramkan spermanya ke ladang
(wanita) lain. (H.R. Abu Dawud).[10]
Pada
umumnya hubungan nasab anak itu selalu dikaitkan dengan ayah. Islam melarang
ayah mengingkari nasabnya anak, dan melarang pula seorang anak menghubungkan
nasabnya kepada selain ayahnya. Islam membatalkan adopsi, dan menyuruh
mengembalikan anak yang diadopsi kepada nasab yang hakiki, sebagaimana yang
tersebut dalam al-Qur’an surat al-Ahzab 33:
ادعوهم
لآبائهم هو أقسط عند الله فإن لم تعلموا آباءهم فإخوانكم في الدين و مواليكم و ليس
عليكم جناح فيما أخطأتم به و لكن ما تعمدت قلوبكم و كان الله غفورا رحيما
Panggillah
mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah
yang lebih adil pada sisi Allah. (Qs. Al-Ahzab: 5)
Menurut
al-Qurtubi, dalam ayat tersebut Allah menunjukkan kepada kita bahwa
sesungguhnya yang lebih utama dan lebih adil, hendaknya seorang laki-laki
dinasabkan dengan ayahnya.[11]
Ibnu Qoyyim berkata “Nasab itu menurut asalnya
dari ayah”, namun hal ini tidak berarti seorang anak tidak dinasabkan dengan
ibunya, karena nasab anak kepada ibunya tetap dan tidak akan terputus, sehingga
kalau nasabnya anak kepada ayahnya terputus sebagaimana kasus li’an, maka nasab
anak akan berpindah pada ibunya saja.
Menurut
Wahbah az-Zuhaili, nasab anak kepada ibunya tetap dalam segala bentuk
kelahiran, baik secara syara’ maupun yang tidak sesuai dengan syara’. Adapun
nasab anak kepada ayahnya hanya dengan jalan pernikahan yang sah, nikah fasid,
wati’ (persetubuhan) syubhat ataupun pengakuan tentang nasab.
Islam
juga membatalkan apa yang ada dalam masyarakat jahiliyah yang menyamakan nasab
anak z1na dengan anak dari perkawinan yang sah. Sebagaimana hadis Nabi:
عن
عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده قال قام رجل فقال يا رسول الله إن فلانا ابني عاهرت بأمه في الجاهلية فقال رسول الله
صلى الله عليه و سلم لا دعوة في الإسلام ذهب أمر الجاهلية الولد للفراش و للعاهر
الحجر (رواه أبي داود)
Dari
Amar Ibnu Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya berkata: seorang laki-laki
berdiri lalu ia berkata: Wahai Rasulullah sesungguhnya seseorang fulan anak
saya, saya telah meniduri ibunya dimasa jahiliyah. Kemudian Rasulullah saw
bersabda: tidak ada pengakuan (pengakuan terhadap anak) dalam islam, telah
berlalu perkara pada masa jahiliyyah, anak adalah bagi (ayah) yang punya tempat
tidur. (HR. Abu Dawud).[12]
Dengan
demikian anak hasil cloning tersebut merupakan anak yang tidak sah dan tidak
dapat dinasabkan kepada pemilik sel donor karena ia lahir tidak diakibatkan
dari pernikahan yang sah, nikah fasid maupun wati’ syubhat.
[1] Masduqi, H.M, dkk, Kloning
Menurut Pandangan Islam, hal. 26
[2] Pai, Anna C, Dasar-Dasar
Genetika, (Penerjemah, Muchidin Apandi), hal. 7
[3] Wildan Yatim, Mengklon
Individu, dalam Kompas, Edisi Jum’at, 27 April 2001, hal. 10
[4] Soetandyo Wignjosoebroto, Kloning:
Kemungkinan Teknis dan Implikasi Sosial Etisnya, mimeo, hal. 2
[5] Hasyim Manan, Kloning dalam
Perspektif Islam, mimeo, hal. 3
[6] Soetandyo Wignsoebroto, Kloning:
Kemungkinan Teknis dan Implikasi Permasalahan Sosial Etisnya, mimeo, Surabaya,
1997, hal. 2
[7] Sijistani, as-, Abu Dawud
Sulaiman bin al-Asy’ab, Sunan Abu Dawud 2, hal. 149
[8] R. Subekti, Kitab
undang-Undang Hukum Perdata dengan Tambahan Undang-Undang Perkawinan, hal. 550.
[9] Direktur Pembinaan Badan
Peradilan Agama Islam, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, hal. 51
[10] Sijistani, as-, Abu Dawud
Sulaiman bin al-As’ab, Sunan Abu Dawud 2, hal. 113-114
[11] Zaidan Abdul Karim, al-Mufasol
Fi Ahkami al-Mar’ati Wa al-Baiti al-Muslim, Muassasah al-Risalah, hal. 315
[12] Sijistani, as-, Abu Dawud
Sulaiman bin al-As’ab, Sunan Abu Dawud 2, hal. 149
No comments:
Post a Comment