Para
ulama berbeda pendapat mengenai kedudukan wali dalam pernikahan. Hal ini
dikarenakan tidak adanya satu ayat atau pun hadith yang secara tegas
mensyaratkan adanya wali dalam pernikahan. Selain itu hadith-hadith yang
dipakai oleh para fuqaha masih diperselisihkan keshahihannya kecuali hadith
riwayat Ibn al-Abbas.
Berikut
ini diuraikan beberapa pendapat para ulama mengenai kedudukan wali dalam
pernikahan, yaitu:
a. Jumhur ulama, Imam SYafi'i dan Imam
Malik berpendapat bahwa; wali merupakan salah satu rukun perkawinan, dan tidak
ada perkawinan kalau tidak ada wali. Oleh sebab itu perkawinan yang dilakukan
tanpa wali hukumnya tidak sah (batal).[1] Alasan yang mereka kemukakan,
diantaranya: Firman Allah,
و
انكحوا الأيامى منكم و الصالحين من عبادكم و إمائكم
"Dan
kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang
layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki perempuan..."[2]
Hadith
Nabi saw. dari Abi Musa al-Ash'ari.
عن
أبي موسى عن أبيه رضي الله تعالى عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم لا
نكاح إلا بولي (رواه أحمد و الأربعة و صححه ابن المديني و الترمذي و ابن حبان)
“Dari
Abi Musa Al-Ash'ari dari Ayahnya ra berkata Rasulullah saw. bersabda : "Tidak ada suatu pernikahan kecuali
dengan adanya wali" (HR. Ahmad dan Imam Empat dan dibenarkan Ibnu
Madini dan At- Turmudzi dan Ibnu Hiban)[3]
Jumhur
berpendapat bahwa hadith ini secara zahir menafikan (meniadakan) keabsahan akad
nikah tanpa wali dan bukan menafikan sempurnanya akad nikah.
Hadith
yang diriwayatkan oleh Aishah,
عن
عائشة رضي الله عنها قالت قال رسول الله صلى الله عليه و سلم أيما امرأة نكحت بغير
إذن وليها فنكاحها باطل فنكاحها باطل فإن أصابها فلها مهرها بما أصاب من فرجها و
إن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي لها (رواه أحمد)
"Dari
Aishah ra berkata : Rasulullah saw. bersabda: "Tiap-tiap wanita yang
menikah tanpa izin walinya maka nikahnya batal, maka nikahnya batal, maka
nikahnya batal. Jika perempuan itu telah disetubuhi, maka dia berhak menerima mahar
dengan sebab persetubuhan itu. Maka jika para wali enggan (berselisih), maka
sultanlah yang menjadi wali bagi orang yang tidak ada wali." (HR.
Ahmad).[4]
Hadith
di atas mengandung beberapa pengertian;
1. Akad nikah yang dilaksanakan tanpa
wali, hukumnya batal.
2. Melakukan persetubuhan atas dasar
menganggap akan halalnya hubungan itu, mewajibkan kepada laki-laki (pelaku)
untuk membayar mahar mithil (mahar yang tidak disebutkan bentuk, wujud, atau
nilainya secara jelas dalam redaksi akad).
3. Wanita yang berselisih dengan
walinya atau gaib atau memang tidak ada wali, maka sultanlah walinya atau wali
hakim.
Selain
itu mereka berpendapat, perkawinan itu mempunyai beberapa tujuan. Sedangkan
wanita biasanya suka dipengaruhi oleh perasaannya.
Karena itu ia tidak pandai memilih, sehingga tidak dapat memperoleh
tujuan-tujuan utama dalam hal perkawinan ini.
Hal
ini mengakibatkan ia tidak diperbolehkan
mengurus langsung aqadnya tetapi hendaklah diserahkan kepada walinya agar
tujuan perkawinan ini benar-benar tercapai dengan sempurna.
b. Imam Hanafi dan Abu Yusuf (murid
Imam Hanafi) berpendapat bahwa, jika wanita itu telah baligh dan berakal, maka
ia mempunyai hak untuk mengakad nikahkan dirinya sendiri tanpa wali. Alasan yang
mereka kemukakan antara lain, firman Allah;
و
إذا طلّقتم النساء فبلغن أجلهن فلا تعضلوهن أن ينكحن أزواحهن
"Apabila
kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu
(para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya…"[5]
Menurut
mereka, ayat di atas merupakan dalil mengenai kebolehan bagi wanita untuk
mengawinkan dirinya sendiri.
Dari
Hadith Ibn al-Abbas r.a. yang telah disepakati shahihnya, yaitu:
عن
ابن عباس قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم الثيب أحق بنفسها من وليها و
البكر تستأذن في نفسها و إذنها صماتها و في رواية لأبي داود و النسائي ليس للولي
مع الثيب أمر و اليتيمة تستأم (رواه البخاري و مسلم)
"Dari
Ibnu Abbas ra, ia berkata : Nabi saw. bersabda: "Perempuan janda lebih
berhak terhadap dirinya daripada walinya dan anak gadis diminta pertimbangannya
dan izinnya adalah diamnya. Dan pada suatu riwayat Abu Daud dan An-Nasa'i:
"Tidak ada urusan wali terhadap janda; dan gadis yang tidak mempunyai
Bapak (yatimah)” (HR. Bukhori dan Muslim).[6]
Hadith
ini memberikan hak sepenuhnya kepada wanita (janda) yang dipandang mampu
bertanggung jawab sendiri mengenai urusan dirinya dan meniadakan campur tangan
orang lain dalam urusan pernikahannya. Sedangkan untuk gadis apabila dimintai persetujuannya,
karena ia masih pemalu, maka cukup dengan diamnya, dan dianggap sebagai jawaban
persetujuannya.
Selain
itu Abu Hanifah melihat lagi bahwa wali bukanlah syarat dalam akad nikah. Ia
menganalogikan dengan wanita yang sudah dewasa, berakal dan cerdas, mereka
bebas bertasarruf (kontrak kesepakatan) dalam hal-hal yang berkaitan dengan
mu'amalat sebagaimana ketentuan syara', maka dalam hal akad nikah mereka lebih
berhak lagi, karena nikah menyangkut kepentingan mereka secara langsung.
Selanjutnya,
walaupun wali bukan syarat sah nikah, dan apabila wanita melaksanakan akad
nikahnya dengan pria yang tidak sekufu dengannnya, maka wali mempunyai hak i'tiradh
(mencegah perkawinan).
c. Daud al-Zahiri berpendapat bahwa
bagi janda, wali tidak menjadi syarat dalam akad nikah, sedangkan bagi gadis,
wali menjadi syarat.[7]
d. Al-Sha'bi dan al-Zuhri, berpendapat
bahwa wali menjadi syarat kalau calon suami tidak sekufu' (setara atau sepadan)
dengan calon istri, sebaliknya kalau calon suami sekufu', maka wali tidak
menjadi syarat.[8]
e. Abu Thur, berpendapat bahwa nikah
sah apabila wali memberi izin dan batal kalau wali tidak memberi izin.[9]
[1] M. Yunus, Hukum Perkawinan
dalam Islam menurut Empat Mazhab, Cet. Ke-15 (Jakarta: PT. Hidakarya Agung,
1996), 53.
[2] Al-Qur’an, 24: 3.
[3] Ibn al-Hajar al-Asqalani, Fathu
al-Bari, Juz 11 (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1959), 207.
[4] Imam Ahmad bin Hambal,
al-Musnad, Juz 9 (Beirut: Dar al-Fikr, 1991), 516.
[5] Al-Qur’an, 2: 232.
[6] Al-Nawawi, Sharh al-Imam
Muslim, Juz 5, 123. Ibn al-Rushd, al-Bidayah al-Mujtahid, terj., Cet. Ke-1 (Semarang: CV. al-Shifa’,
1990), 367.
[7] Dahlan Idhamy, Asas-asas Fikih
Munakahat Hukum Keluarga Islam (Surabaya: al-Ikhlas, t.th.), 43.
[8] Ibid., 43.
[9] Ibid., 43.
mantap artikelnya, sangat bermanfaat.
ReplyDeletesouvenir pernikahan murah blitar