Para
sufi memiliki ekspresi kecintaan pada Ilahi yang bermacam-macam. Di antaranya
yaitu dengan musik dan tarian spiritual atau tarian sufi. Musik dan tarian sufi
merupakan tradisi sufi yang sangat produktif dalam teori maupun dalam prakteknya,[1] karena bertujuan langsung
kepada Allah. Kelompok sufi tertentu menggunakan musik dan tarian sebagai latihan
memusatkan konsentrasi dan menghilangkan kekacauan pikiran.[2]
Di
antara perbedaan-perbedaan pendapat yang menjadi kebolehan musik dan tarian
sufi, ada sebuah pendapat yang bersikap bijak menengahinya yaitu dari Dzun Nun
sebagaimana dikutip oleh Nicholson:
“Musik adalah pengaruh surga yang mendorong
hati untuk mencari Tuhan. Karenanya barang siapa yang mendengarkan (dengan
baik) secara rohaniah ia tengah mendekati Tuhan. Tetapi barang siapa
mendengarkan hanya untuk sensasi, maka la termasuk orang yang tidak beriman.”[3]
Dalam
hal ini yang diperbolehkan hanyalah musik untuk konser spiritual yang
dipraktekkan oleh perhimpunan-perhimpunan sufi.[4]
Musik spiritual adalah pengaruh dari Ilahi
yang menggerakkan hati manusia kepada Allah. Bagi mereka yang mendengarkan
musik secara spiritual dan memperhatikan secara hakikat serta tidak hanya
sekedar suara lahirnya saja, maka mereka
akan sampai kepada Allah yang merupakan pusat dari segala sesuatu, termasuk
asal suara musik tersebut. Allah tidak hanya bisa dicapai melalui musik, dalam
arti bahwa sebab mencapai Allah bukanlah musik, tetapi musik bisa dijadikan
cara untuk mencapai Allah.[5]
Musik
mempunyai arti penting dari sudut pandang spiritual. Membaca al-Qur'an pun
merupakan musik yang tradisional.[6] Bahkan setiap getaran yang
menimbulkan suara disebut musik.[7]
Irama
musik akan berpengaruh pada jiwa seseorang, tepatnya pada debar jantung
seseorang.[8] Dengan demikian dapat
menjadi sebuah penenang jiwa. Seperti halnya binatang kijang yang menjadi lebih
tenang ketika mendengarkan musik dari si pemburu, apalagi manusia yang
mempunyai perasaan dan akal pikiran.[9]
Karena pada dasarnya setiap makhluk memiliki
jiwa, maka memiliki kecenderungan untuk merasakan alunan musik spiritual.[10] Oleh karena itulah musik
banyak dimanfaatkan oleh kaum sufi
sebagai medium untuk membangkitkan dan menguatkan kecintaan mereka kepada Allah,[11] karena di dalam tasawuf,
musik berfungsi menyejukkan batin para sufi yang sedang melaksanakan perjalanan
spiritualnya.[12]
Seperti
halnya musik, tarian spiritual atau tarian
sufi pun memiliki tujuan yang sama, karena keduanya nantinya akan saling mengiringi. Tarian sufi
adalah suatu ritual keagamaan yang paling tua, karena hal ini dilakukan di
dunia Islam pada zaman awal.[13]
Dasar
tarian sufi yang dipraktekkan juga terletak pada pergerakan nafas dalam
mengucapkan kata-kata suci dalam dzikir
sufi. Di mana irama nafas ini menjadikan
tubuh bergerak secara otomatis,[14] seperti halnya sebuah tarian yang ringan.
Oleh
karena itu selama pertunjukan tarian, para darwis menghindari ekspresi-ekspresi
yang kesannya dibuat-buat. Dengan demikian hendaknya ekspresi itu terjadi dalam
ketidaksadaran bahkan mencapai ekstase,
hai ini diperbolehkan bagi kalangan fuqara' yang telah menolak kehidupan yang
bersifat duniawi. Gerakan-gerakan ini untuk merespon panggilan batin.[15]
Pada
dasarnya, tarian secara fisik tidak ada dalam syariat maupun dalam tasawuf.
Tetapi bukan hanya sebatas itu kita
memahami tentang tarian. Selama tarian itu bernilai secara lahir, yaitu gerak
jasad yang penuh dengan kesenangan duniawi saja, maka semua itu akan sia-sia
dan bahkan dilarang dalam agama.
Tetapi
lain halnya jika tarian itu dapat mempunyai nilai yang lebih dalam lagi, dalam
hal ini tasawuf mengajarkan tarian sufi untuk mencapai ekstase. Hal ini berhubungan dengan jiwa
seseorang yang mana tarian dilaksanakan untuk bisa merasakan kehadiran Allah SWT, dalam dzauq atau perasaan yang dimiliki.[16]
Dalam
hal ekstase, Junaid mengungkapkan dalam sebuah syair yang dikutip oleh Nasr :
"Ekstaseku
adalah ketika aku memindah diriku dari eksistensi melalui anugerah dari Dia
yang menunjukkan padaku kehadiran.”[17]
Dari
uraian di atas, jelas bahwa antara musik dan tarian spiritual adalah sebagai
bagian dan ritual ketaatan para sufi yaitu sebagai cara berdzikir kepada Allah
SWT.[18]
Sama' ini mempunyai kekuatan yang berasal dari
manifestasi Allah SWT. Karena pada awalnya, jiwa manusia bersatu dengan jiwa
Universal, yaitu Allah SWT. Kemudian musik berfungsi di dalam hati untuk
dirasakan, sebagai pembangkit atas jiwa yang terperangkap dalam ikatan
kehidupan duniawi.[19] Seperti
disebutkan dalam al-Qur’an surat Al-A’raf : 172 :
“Dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari Sulbi
mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka {seraya berfirman) :
"Bukankah Aku in Tuhanmu ?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau
Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan : "Sesungguhnya
kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah, terhadap ini ( Keesaan Tuhan
)."[20]
Perjanjian
awal itulah yang dibangkitkan oleh musik dalam hati yang terperangkap dalam
ikatan duniawi.[21]
Karena bagi sama', hati haruslah hidup dan nafsu haruslah mati,[22] mengingat bahwa sama'
sebagai praktek pelepasan kegelisahan duniawi dan untuk membuka hati yang bertujuan untuk mensucikan jiwa. Perlu juga
ditegaskan bahwa konser spiritual ini bukan hanya sebagai hiburan yang menarik,
tetapi ditujukan untuk Allah.[23]
Dari
banyak sufi, Jalaluddin Rumi adalah satu sosok yang mampu mencapai ekstase luar biasa. Beliau selalu
mengidentikkan suara-suara berirama yang didengar nya sebagai musik. Lalu akan
didengarkan seperti mendengarkan asma-asma Allah dalam setiap hembusan nafasnya. Seperti suara denting palu seorang
pandai di pasar pun dapat membuat
al-Rumi bergerak spontan untuk melakukan tarian berputarnya selama berjam jam.[24]
Dalam suatu riwayat, Qadhi Izzuddin, seorang
yang tidak suka musik dan tarian, suatu hari didatangi al-Rumi dan disuruh
masuk ke madrasah al-Rumi dengan tarian spiritual sedang dilakukan oleh para
darwis di dalamnya. Kemudian al-Rumi berkata bahwa majelis suci itu sangat
sesuai dengan kondisinya yang tidak berada dalam pengalaman spiritual. Lalu
Qadhi pun dipenuhi dengan spiritualitas yang kuat dan ikut melantunkan kidung
spiritual seperti murid-murid al-Rumi yang ada di dalam majelis itu.[25]
Memang
terasa janggal jika kita hanya memandang
musik dan tarian sufi sebatas pengertian secara lahir saja. Menurut Imam Ghazali, seperti yang dikutip oleh C.
Ramli Bihar Anwar yang berjudul "Bertasawuf Tanpa Tarekat", bahwa secara
kondisional sesuai dengan keadaan seorang yang mengamalkannya, musik dan tarian
ini bisa menjadi lebih ampuh untuk menyibak hati manusia dalam hal mencapai
ekstase dibandingkan dengan al-Qur'an sekalipun.
Tetapi
perlu dijelaskan bahwa hal ini hanya berlaku bagi orang-orang pilihan saja.
Semakin orang itu akrab dengan al-Qur'an, maka dia akan lebih terbiasa dan
akhirnya menyebabkan daya rohani al-Qur'an terkadang terasa berkurang. Lain
halnya jika orang awam yang mendengarkan al-Qur'an, selama mempunyai motivasi
membuka hati dan dengan anugerah Allah SWT. tentunya, maka hatinya akan tersentuh oleh gema
al-Qur'an.
Sepertinya
juga dicontohkan oleh Abu Bakar, ketika orang Arab Badui mendengar bacaan
al-Qur'an untuk pertama kalinya, mereka sangat tersentuh. Kemudian Abu Bakar
berkata bahwa dahulu beliau juga seperti itu, tetapi sekarang hatinya sudah
mengeras. Demikian halnya orang yang pertama kali melaksanakan haji, mereka
akan merasa takjub dengan melihat langsung kota suci itu. Tetapi lain dengan
orang Arab yang tinggal di situ, mereka telah terbiasa dengan suasana dan keadaan
kota itu sehingga tidak lagi merasa takjub. Beberapa hal inilah yang
melatarbelakangi para sufi mengembangkan konser spiritual yang menggunakan
musik dan tarian sebagai penunjang bagi kehidupan keagamaan mereka.[26]
[1] Seyyed Hossein Nasr, (Editor),
Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam Manifestasi, terj. Tim Penerjemah
Mizan, Mizan, Bandung, 2003, hlm.
600-601
[2] William C. Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi; Ajaran-Ajaran
Spiritual Jalaluddin Rumi, terj. M. Sadat Ismail dan Achmad Nidjam, Qalam,
Yogyakarta, 2001, hlm. 503
[3] Reynold A. Nicholson, Aspek Rohaniah Peribadatan Islam di dalam
Mencari Keridlaan Allah, terj. A. Nashir Budiman, Edisi I, PT. Raja Grafindo,
Jakarta, 1995, hlm. 63
[4] Seyyed Hossein Nasr, Tasawuf
Dulu dan Sekarang, terj. A. Nashir Budiman, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1985,
hlm. 13-14
[5] Ibnu Usman Al-HUjwiri, Kasyf
Al-Mahjub; Menyelami Samudra Tasawuf, terj. Ahmad Afandi. Pustaka Sufi,
Yogyakarta, 2003, hlm. 475
[6] Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas
dan Seni Islam, terj. Drs. Sutejo, Mizan, Bandung, 1994, hlm. 165
[7] Abdul Muhayya, Bersufi Melalui
Musik; Sebuah Pembelaan Musik Sufi oleh Ahmad Ghazali, Gama Media, Yogyakarta,
2003, hlm. 29
[8] Seyyed Hossein Nasr,
Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam Manifestasi, op. cit., hlm. 614
[9] Ibnu Usman Al-Hujwiri, Kasyf
Al-Mahjub; Menyelami Samudra Tasawuf, terj. Ahmad Afandi. Pustaka Sufi,
Yogyakarta, 2003, hlm. 471
[10] Seyyed Hossein Nasr, dkk.,
Spiritualitas dan Seni Islam, op. cit., hlm. 169
[11] Abdul Muhayya, op. cit., hlm.
34
[12] Ibid., hlm. 32
[13] Annemarie Schimmel, Dimensi
Mistik dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono, dkk., Pustaka Firdaus, Jakarta,
2000, hlm. 227
[14] Titus Burckhardt, Mengenal Ajaran
Kaum Sufi, terj.Azyumardi Azra dan Bachtiar Effendi, PT. Dunia Pustaka Jaya,
Jakarta, 1984, hlm. 142
[15] Seyyed Hossein Nasr,
Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam Manifestasi, op. cit. hlm. 607-608
[16] Ibnu Usman Al-Hujwiri,
op.cit., hlm. 489
[17] Seyyed Hossein Nasr,
Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam Manifestasi, op. cit., hlm. 609
[18] Seyyed Hossein Nasr, dkk., Warisan Sufi,
terj. Gafna Razha Wahyudi, Pustaka Sufi, 2002, hlm. 121
[19] Seyyed Hossein Nasr,
Ensiklopedi Tematis Islam Manifestasi, op. cit., hlm. 608-609
[20] Yayasan Penyelenggaraan
Penterjemah, Al-Qur’an dan Terjemah, Depag, 1986, hlm. 250
[21] Seyyed Hossein Nasr,
Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam
Manifestasi, op. cit., hlm. 609
[22] Seyyed Hossein Nasr, dkk.,
Wrisan Sufi, op. cit., hlm. 155
[23] Syaikh Fadhlalla Haeri, Jenjang-Jenjang
Sufisme, terj. Ibnu Burdah dan Shohifullah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000,
hlm. 119
[24] Mojdeh Bayat, Mohammad Ali
Jamnia, Para Sufi Agung; Kisah dan
Legenda, terj. Erna Novana, Pustaka Sufi, 2003, hlm. 147-148
[25] Idries Shah, Butiran Mutiara
Hikmah, terj. Ilyas Hasan, Lentera, Jakarta, 2002, hlm. 52
[26] C. Ramli Bihar Anwar, Bertasawuf
tanpa Tarekat, Hikmah dan Iiman, Jakarta, 2002, hlm. 89-90
No comments:
Post a Comment