UNSUR ESTETIKA DALAM TARIAN SPIRITUAL


Estetika berarti hal mengenai keindahan, tentang apresiasi keindahan yang meliputi alam, seni dan sastra yang merupakan penilaian terhadap keindahan.[1] Dalam ibadah yang dilakukan oleh kaum sufi, unsur estetika merupakan hal yang penting, seperti pendapat Schimmel yang dikutip oleh Fritz Meier :

"Sama' (tarian musikal sakral) membuka pintu gerbang surga karena itu sama’ menjadi salah satu aspek terpenting bahkan dapat dikatakan poros, dari syair al-Rumi.”[2]

Sama’ merupakan seni, dan seni adalah basis dan sebab dari cinta. Karena perasaan cinta itulah yang mengantarkan semua hal menuju kepada puncak keindahan yang juga merupakan kesempurnaan abadi yaitu Allah SWT. Menurut lbnu Arabi, seperti yang dikutip oleh A. E. Affifi, bahwa kita hendaknya mencintai Allah karena Dia itu indah. Dan Allah mencintai kita sebagai manusia dan juga mencintai semua ciptaannya karena Dia  mencintai keindahan.

Dalam arti bahwa semua ciptaan Allah adalah sebuah bentuk, balk yang abstrak misalnya sifat-sifat, maupun bentuk rill seperti  manusia. Keduanya mencerminkan wujud. Dan pada dasarnya semua wujud atau ciptaan adalah seni, dan seni adalah keindahan.[3]

Para sufi bisa dikatakan sebagai pengolah seni, karena dengan jalan bertasawuf mereka akan menjadi lebih sadar akan keindahan Ilahi dengan menciptakan karya-karya seni yang indah sesuai dengan keindahan kodrat penciptaannya sendiri dan juga sesuai dengan norma-norma seni yang sesungguhnya, dengan memancarkan keindahan Sang Seniman Agung, Allah SWT.[4]

Praktek-praktek tasawuf dalam tradisinya yang mengandung aspek Ilahiah telah menjadikan suasana kehidupan rohani para sufi memancarkan keindahan. Karena Islam sendiri menyebut tasawuf sebagai keindahan, sehingga karya-karyanya pun merupakan karya yang indah dan berbobot, di antaranya berupa musik dan tarian spiritual.[5]

Irama musik dapat memanggil hati  manusia, untuk menyerahkan jiwanya sepenuhnya pada Sang Pencipta segala sesuatu, termasuk pencipta indahnya irama musik yang terdengar, yaitu Allah SWT. Karena sebenarnya irama musik yang selaras itu adalah aspek  keagungan Allah, dan aspek yang lain yaitu aspek keindahan yang berada dalam melodi musik tesebut.[6]

Hal ini dimaksudkan untuk memperingatkan manusia dalam hubungannya dengan Allah Yang Maha Indah melalui perasaan dan gerak hati yang mendalam pada jiwa seseorang.[7]

 Hal ini bisa dikatakan bahwa mendengarkan musik, adalah pengaruh Ketuhanan yang menggerakkan hati untuk melihat Allah. Mereka yang mendengarkan secara spiritual akan sampai pada Allah, dan mereka yang mendengakan secara sensual akan jatuh ke dalam kesesatan.[8]

Sehubungan dengan hal di atas, menurut Al-Qusyayri sebagaimana yang dikutip oleh Seyyed Hossein Nasr menyatakan bahwa musik dalam nyanyian bisa dilagukan dengan suara yang indah selama penyanyi itu tidak memiliki hawa nafsu yang hanya bersifat kesenangan yang dilarang agama. Dan dalam hal ini penyanyi hendaknya memiliki niat untuk pelaksanaan ibadah, sehingga musik dan nyanyian memiliki makna yang tepat.[9]

Seperti halnya musik, tarian spiritual pun demikian. Tarian musikal yang bernuansa  estetis ini melambangkan penyatuan spiritual antara sang Sufi dengan Allah SWT, dan merupakan cara untuk mencapai kesempurnaan tertinggi dalam pengalaman spiritual.[10]

Pada zaman kuno para pengarang memandang tarian sebagai gerakan dewa-dewi atau gerakan bintang di langit.  Sedangkan pada zaman pertengahan kadang-kadang dipandang sebagai tarian kebahagiaan abadi, seperti yang digambarkan sangat indah dalam lukisan-lukisan. Keindahan ini juga dilambangkan oleh Ruzbihan dalam kutipan Schimmel, sebagai penggemar sama'. Menurutnya, untuk mendapatkan kenikmatan rohani diperlukan tiga hal yang bersifat indah, yaitu bau-bauan harum, wajah cantik dan suara merdu.[11]

Sedangkan Jalaluddin Rumi yang mengembangkan tarian spiritual dengan iringan musik dalam Tarekat Maulawiyahnya[12] menggunakan citra yang luar biasa dalam menggambarkan keindahan dan  kekuatan tarian spiritual. Dia menggambarkan gerakan-gerakan ini didorong oleh kekuatan Kekasih yang melihat pencinta, sehingga pada waktu ekstase memungkinkan Allah hadir dalam hati pencinta.[13]

Indah berasal dari Yang Maha Indah, Allah SWT, karena indah adalah salah satu sifat-Nya. Meskipun kita tidak dapat melihat-Nya, tetapi kita bisa melihat dan merasakan indah melalui mata dan telinga, yaitu dengan menikmati musik dan tarian sufi sebagai seni. Oleh karena itu antara keindahan dan tasawuf memiliki hubungan sangat erat., sebab seni dan tasawuf sama-sama merupakan keindahan.[14]




[1] Bidang Perkamusan dan Peristilahan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi I, Balai Pustaka, Jakarta,1998, 236
[2] Fritz Meier, Sufisme Merambah ke Dunia Mistik Islam, terj. Sunarto, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm. 113
[3] A. E. Affifi, Filsafat Mistik Ibnu Arabi, terj. Sjahrir Mawi dan Nandi Rahman, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1989, hlm. 238-239
[4] Seyyed Hossein Nasr,  Tasawuf Dulu dan Sekarang, terj. A. Nashir Budiman, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1985, hlm. 14
[5] Ibid., hlm. 12-13
[6] Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam Manifestasi, terj. Tim Penerjemah Mizan, Mizan, Bandung, 2003, hlm. 609
[7] Imam Ghazali,  Mutiara ihya Ulumuddin, terj. H. Rus’an, Wicaksana, Semarang, 1984, hlm. 315
[8] Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam Manifestasi, op. cit., hlm. 598
[9] Seyyed Hossein Nasr, dkk., Warisan Sufi, terj. Gafna Raiza Wahyudi, Yogyakarta, 2002, hlm. 152
[10] Fritz Meier, op. cit., hlm. 112
[11] Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono, dkk., Pustaka Firdaus, Jakarta, 2000, hlm. 231
[12] Fritz Meier, op. cit., hlm. 110
[13] Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, op. cit., hlm. 234
[14] Fritz Meier, op. cit., hlm. 114

No comments:

Post a Comment