PERAN SEMAR DALAM PEWAYANGAN


Secara garis besar,  dalam  pagelaran  wayang  kulit  purwa, Semar mimiliki tugas yaitu sebagai pengasuh atau pamong keturunan  Pandawa. Seperti yang telah dikisahkan bahwa atas keputusan Sang Hyang Tunggal, maka Sang Hyang Ismaya atau Semar berkewajiban mendampingi, mengawasi dan menegur Manikmaya serta menjaga keturunan Manikmaya apabila melakukan kesalahan.

a)  Sebagai Dewa

Dalam kesenian wayang kulit, pada awalnya menceritakan tentang  dewa-dewa hal ini dikarenakan kesenian wayang pada awal mula kemunculan ebagai bentuk kepercayaan animism, pada mulanya kesenian  wayang  adalah  sebagai  bentuk kesenian yang disakralkan, sebagai bentuk penyembahan oleh masyarakat, kemudian pada  masa agama hindu masuk, kesenian wayang mulai digunakan sebagai media spiritual agama hindu yang ditampilkan dalam upacara-upacara spiritual.

Cerita-cerita yang disampaikan dalam pagelaran wayang masa agama hindu ini meliputi cerita tentang dewa-dewa yang menjadi sesembahan masyarakat, kisah yang disajikan dalam pagelaraan wayang masa itu adalah kisah Mahabarata dan Ramayana yang berasal dari india,[1] setelah agama Islam memasuki bumi nusantara ini, kesenian wayang mulai mengalami pergesaran, baik dari karakter tokoh ataupun fungsinya.

Pada masa Islam masuk di Bumi Nusantara, Sunan Kalijaga  berusaha  mempertahankan eksistensi kesenian wayang, akan tetapi beliau juga melakukan beberapa perubahan dalam kesenian wayang diantaranya yaitu fungsi kesenian wayang, pada awalnya kesenian wayang dijadikan sesembahan oleh masyarakat sekitar, akan tetapi kemudian pada masa Islam, wayang dijadikan sebagai media dakwah, sebagai media penyampaian nilai-nilai moral dan sebagai media  pembelajaran, meski dalam ceritanya Sunan Kalijaga masih tetap  menggunakan kisah-kisah Ramayana dan Mahabarata namun  kemudian didalamnya  mulai  disisipi  ajaran-ajaran Agama Islam.[2]

Seperti yang dijelaskan di atas tentang asal-usul tokoh wayang Semar di atas, ini menggambarkan bahwasanya Semar pada awalnya adalah seorang dewa, dalam kitab Tantu Pagelaran yang ditulis abad XV diceritakan bagaimana terjadinya bumi dan langit, teja (sinar) dan cahaya serta Manik dan Maya,[3] penjelmaan tersebut diawali dengan sebuah telur yang akhirnya menjelma menjadi Sang Hyang Batara Guru dan Maya menjadi Sang Hyang Ismaya yang diketahui sebagai Semar.

b)  Sebagai Punakawan

Sering kita ketahui bahwa dalam pagelaran wayang  kulit biasanya seorang satria yang menjadi tokoh utama dalam setiap lakon pasti selalu diikuti oleh pembantunya yang biasa disebut dengan Punakawan. Biasanya dalam pewayangan yang menjadi punakawan adalah Semar, Gareng, Petruk dan Bagong.

Istilah punakawan berasal dari kata pana yang  berarti paham dan  kawan yang berarti teman.[4] Maksud dari punakawan adalah seseorang yang memahami kondisi temannya atau orang lain.

Dalam pewayangan para punakawan tidak hanya berperan  sebagai  seorang abdi atau pengikut biasa saja, akan tetapi mereka juga  memahami apa yang sedang menimpa majikan mereka. Bahkan, seringkali mereka justru bertindak sebagai penasehat majikan mereka.

Sedangkan istilah punakawan berarti “kawan yang menyaksikan” atau pengiring. Saksi dianggap sah apabila terdiri dari dua orang atau lebih, dan yang terbaik apabila saksi tersebut terdiri dari orang yang bukan keluarga sendiri, seperti dalam pewayangan, punakawan bukanlah keluarga kandung dari para Pandawa atau majikannya.

Dalam kisah pewayangan seorang satria yang menjadi majikan keempat punakawan tersebut dia akan selalu menang atau berhasil, akan tetapi sebaliknya, jika satria tersebut mulai meninggalkan punakawan, maka kekalahan dan kegagalan akan menimpa mereka.

Menurut sejarawan Slamet Muljana, tokoh punakawan muncul pertama kali dalam karya sastra yang berjudul Ghatotkacasraya karangan Mpu Panuluh pada zaman Kerajaan Kediri. Naskah tersebut menceritakan tentang bantuan Ghatotkaca terhadap sepupunya yaitu Raden Abimanyu yang berusaha menikahi Ksitisundari putri dari Sri Kresna.

Dalam kisahnya Raden Abimanyu memiliki tiga orang punakawan yaitu bernama: Jurudyah, Punta dan Prasanta, ketiganya dianggap sebagai punakawan pertama dalam sejarah kesusastraan Jawa, akan tetapi dalam kisah tersebut peran ketiganya masih belum seberapa, seolah hanya sebagai pengikut biasa.[5]

Punakawan selanjutnya yang muncul dalam karya sastra Jawa adalah Semar. Semar muncul pertama kali dalam karya sastra yang berjudul “Sudamala” dari zaman Kerajaan Majapahit. Kitab Sudamala merupakan karya sastra Jawa Pertengahan yang dengan tegas menyebut nama Semar, dalaam naskah ini dikisahkan Semar menjadi abdi  dari  tokoh utama yaitu Sadewa dari keluarga Pandawa, dalam kisah tersebut peran Semar lebih aktif dibandingkan dengan ketiga punakawan yang sebelumnya.

Semar adalah salah satu tokoh punakawan yang mempunyai bentuk serba tak teratur dan kontradiktif atau berlawanan, seperti yang dijelaskan di atas, Semar mimiliki tubuh seperti laki-laki tapi juga seperti perempuan, memiliki wajah seperti bahagia yang ditunjukan dengan senyumnya tapi juga seperti sedih yang ditunjukan dengan matanya yang sembab, dia seorang manusia tapi memiliki watak seperti dewa.

Adapun tugas dari punakawan Semar itu kadang-kadang bertindak  sebagai penasehat apabila majikanya berada dalam kesukaran, tetapi  sebaliknya, tak jarang Semar melarang atau menghalang-halangi dan menghambat keinginan majikanya apabila majikanya tersebut terlalu agresif dan emosional, selain itu Semar juga berfungsi sebagai penghibur ketika majikanya sedang dalam keadaan susah, sedih hatinya dan juga Semar bisa menjadi teman ketika majikanya sedang  kesepian, bahkan sering menjadi penyelamat atau penolong ketika majikanya dalam bahaya.[6]

c) Sebagai Rakyat Kecil (Semar mbangun kahyangan)

Dalam pewayangan tokoh Semar merupakan gambaran dari rakyat jelata, dalam banyak hal Semar sering diidentifikasikan sebagai simbol rakyat Jawa,[7] identifikasi demikian muncul karena pertama-tama ia berbicara dengan bahasa ngoko.

Lebih subtile lagi, peranannya dalam dunia pewayangan memperlihatkan suatu makna bagaimana masyarakat menyatakan politiknya. Semar sebagaimana layaknya petani tradisional yang hanya menyerahkan urusan peperangan dan politiknya kepada para kesatria yang memimpin negaranya. 

Tetapi seperti juga masyarakat, Semar akan ikut campur tangan apabila penggunaan kekuasaan disalah gunakan oleh pemimpin yang telah mereka percaya untuk mengemban amanatnya.

Biasanya kekuasaan tersembunyi Semar secara moral terletak pada asumsi bahwa siapapun yang ia ikuti pasti berada dalam kebenaran. Implikasi asumsi tersebut adalah bahwa hanya pemimpin yang mau dan mampu mengemban amanat kebenaran masyarakat yang akan  sukses.  Dalam pengertian ini, peran Semar dalam dunia pewayangan bisa menjelaskan mengenai hubungan masyarakat dengan para pemimpin yang  mengemban  amanat  rakyat.

Jika kekuasaan disalah gunakan maka Semar akan berubah dengan kemuliaan penuh dari sifat aslinya yaitu sifat kedewaanya yang  tersembunyi.[8] Demikian juga ketika ketidak adilan sosial terhadap  petani terjadi, secara keras mereka sering didorong muncul dalam gerakan-gerakan massa untuk menyatakan kekuatan sosial yang seringkali tetap tidak diketahui.




[1] Hanifa  Erfandi,  Konsep  Kepemimpinan  Semar  Ditinjau  dari  Filsafat  Politik, (Yogyakarta: Fakultas Filsafat UGM, 2010), h. 44
[2] Suripan  Hadi  Hutomo,  Sinkretisme  Jawa  –  Islam  (Yogyakarta:  Yayasan  Bentang Budaya, 2001), h. 16.
[3] Haryanto,  Bayang-Bayang  Adihulung  Filsafat,  Simbol  dan  Mistik  dalam  Wayang. (Yogyakarta: Dahara Prize, 1989) h. 58
[4] Lukam Pasha, Buku Pintar Wayang, (Yogyakarta: IN AzNa Books, 2011), h. 39.
[5] Lukam Pasha, Buku Pintar Wayan,g op.cit, h. 42.
[6] Sri Mulyono, Apa dan Siapa Semar. (Jakarta, PT Gunung Agung. 1978), h, 66.
[7] Wasis Sarjono. Semar Gugat. (Solo, Kuntul Press. 2006), h, 254.
[8] Ardian Kresna, Dunia  Semar  Abdi  Sekaligus Penguasa Sepanjang Zaman, (Yogyakarta: Diva Pres, 2012), 277 - 280

No comments:

Post a Comment