Istilah
peminangan banyak dikenal oleh anak muda maupun oleh mereka yang sudah dewasa
atau oleh segenap anggota masyarakat. Hukum peminangan dalam Islam merupakan
sub sistem dari keseluruhan hukum Islam yang mengatur perkawinan, karena
sebelum perkawinan berlangsung antara pihak laki-laki dan pihak perempuan dianjurkan untuk saling mengenal dan memahami
kepribadian masing-masing agar tidak ada kata penyesalan di kemudian hari yang
akan menimbulkan keretakan hingga perceraian dilakuan. Sebab, peminangan merupakam
alat untuk mengurangi terjadinya perceraian yang merupakan perbuatan halal yang
dibenci Allah.
عن
ابن عمر رضي الله عنهما قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ابغض الحلال الى
الله الطلاق (رواه ابو داود و ابن ماجه و الحاكم)
“Dari
ibnu umar, ia berkata bahwa Rosullulah SAW bersabda Sesuatu yang di benci Allah
adalah talak.” (Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah dan al Hakim)[1]
Peminangan
merupakan langkah awal yang dilakukan oleh laki-laki kepada perempuan untuk
dijadikan istri atau dalam ketentuan umum pasal I KHI yang dimaksud dengan
peminangan atau egagement adalah:
Kegiatan
upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang
wanita, dimanapun ia berada dan berbeda-beda dalam pelaksanaannya, tetapi pada prinsipnya
adalah sama yaitu: langkah awal sebelum adanya pernikahan dengan adanya
peminangan diharapkan antara laki-laki dan perempuan untuk saling mengenal,
tahu kelebihan dan kekurangan yang akhirnya kedua belah pihak saling mengenal
dan menutupi. Karena perkawinan merupakan kondisi yang kokoh bagi terbangunnya
kehidupan masyarakat yang baik, pasangan suami istri yang saling meghormati,
saling mengerti merupakan pilar dasar terciptanya keluarga sakinah mawaddah
warrohmah.
Hal
ini sesuai dengan rumusan UU perkawinan no 5 th 1974 yang mendefinisikan bahwa
perkawinan sebagai sebuah ikatan lahir batin antara pria dan wanita untuk
membentuk keluarga yang kekal menurut agama dan kepercayaan masing-masing
begitu juga dengan KHI yang menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad yang
sangat kuat (misaqoh gholidzah) untuk menta’ati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.
Meskipun
dalam Al-Qur’an dan Hadis banyak menjelaskan tentang peminangan serta pendapat
ulama’ lain yang sudah menjelaskan secara pasti dan rinci, namun dalam beberapa
bagian tertentu terdapat pula karya ijtihad yang memberikan formulasi aktual,
dimana produk hukum yang dilakukan sesuai dengan keadaan dimana masyarakat itu
berada, sehingga hukum yang dilakuakan di masyarakat Arab belum tentu aktual dengan
masyarakat yang berbudaya lain. Hal ini disebabkan setiap perubahan masa,
tempat menghendaki kemaslahatan yang sesuai dengan keadaan masa itu, dan ini
mempunyai pengaruh besar terhadap pertumbuhan suatu hukum, karena hukum itu
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Islam
memandang tradisi atau adat sebagai suatu hal yang dapat ditolelir sejauh tidak
bertentangan dengan undang-undang dan agama, serta tidak berkaitan dengan
kepercayaan yang menjerumuskan kepada kemusrikan. Tradisi yang baik dan
memberikan kemaslahatan umat dapat dijadikan landasan hukum dalam hal ini
sesuai dengan kaidah fiqiyah:
العادة
محكمة
“Adat
kebiasaan dapat dijadikan hukum.”[2]
Adat
dan kebiasaan selalu berubah-ubah dan berbeda-beda sesuai dengan perubahan
zaman dan keadaan. Sebagaimana dengan manusia itu sendiri waktu dan tempat maka
keadaan itu terjadi pula pada dunia dan negara.
Realitas
yang ada dalam masyarakat berjalan terus menerus sesuai dengan kemaslahatan
manusia karena berubahnya gejala sosial kemasysrakatan. Oleh karena itu,
kemaslahatan manusia itu menjadi dasar
setiap macam hukum. Maka sudah menjadi kewajaran apabila terjadi perubahan
hukum karena disebabkan perubahan zaman dan keadaan serta pengaruh dari gejala
kemasyarakatan itu sendiri.
Dalam
kaitannya dengan hal ini adalah keberadaan pelaksanaan peminangan yang menjadi
tradisi sebagian masyarakat diantaranya masyarakat Menoro Kecamatan Sedan Kabupaten
Rembang. Masyarakat Menoro mempunyai adat peminangan yang diprakarsai oleh
pihak perempuan kepada laki-laki.
Peminangan
perempuan kepada laki-laki merupakan kontroversi yang banyak menimbulkan pro
dan kontra karena dalam ketentuannya peminangan diawali oleh pihak laki-laki tetapi
adat masyarakat tentang peminangan di disebagian daerah yang memprakarsai
adalah pihak perempuan.
Uraian
ringkas tentang peminangan perempuan kepada laki-laki yang dilakukan oleh
sebagian masyarakat adalah apabila seorang remaja mendapat jodoh masih satu Desa
dan sudah diketahui keduanya sudah sama-sama mencintai maka orang tua dari
pihak perempuan mengajak musyawarah atau berunding bersama pihak laki-laki
untuk menentukan waktu kapan upacara peminangan itu dilakukan.
Tetapi
apabila anaknya laki-laki maupun perempuan yang belum mendapat jodoh. Maka diawali
dengan tahap pencarian. Jika orang tua dari pihak perempuan menghendaki anaknya
mendapat jodoh yang dekat dan masih satu Desa maka orang tua mencari jejaka
yang sikaranya pantas untuk dijodohkan dengan anak gadisnya. Apabila tahap
pencarian tersebut berjalan lantas dan sudah disepakati bersama maka upacara
peminangan dari pihak perempuan kepada laki-laki dilaksanakan.
Adapun
praktek peminangan perempuan kepada laki-laki juga pernah terjadi di Negara
Arab, yaitu peminangan yang dilakukan oleh Siti Khodijah dengan Rosullah.
Pernikahan (marriage) yang agung ini justru berawal dari inisiatif Siti
Khodijah. Ia mengusulkan kpada Maisyaroh yang menjadi pembantunya untuk untuk
mmperhatikan gerak-gerik dan tingkah
laku Nabi Muhammad dari dekat, laporan Maisyaroh kelak yang mendorong Khodijah menawarkan
dirinya kepada Beliau (Muhammad).
Khodijah
mengungkapkan dirinya kepada Muhammad: “Wahai Muhammad aku senang kepadamu
karena kekerabatanmu kepadaku, kemuliaanmu dengan tingkah lakumu di
tengah-tengah kaummu, sifat amanahmu dimata mereka, kabagusan ahklakmu, dan
kejujuranmu’’. Setelah melalui proses peminangan yang agung akhirnya Khodijah
menikah dengan Muhammad.
Dalam
Al-Qur’an surat Al-Qashash Ayat 27 dan 28 terdapat kisah yang artinya:
“Berkatalah
Dia (Syu’aib), “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu (Musa) dengan salah
satu dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu telah bekerja dengan ku
selama delapan tahun dan jika kamu genapkan sepuluh tahun maka itu adalah
(suatu kebajikan) dari kamu, maka aku tidak hendah memberi kamu, dan kamu
Insyaallah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik. Dan (Musa) berkata:
itulah (perjajian) antara aku dan kamu, mana saja dari kedua waktu itu aku
sempurnakan, maka tidak ada tuntutan tambahan atas diriku (lagi), dan Allah
adalah saksi yang kita ucapkan.”
Selain
itu pada masyarakat Lamongan juga mempunyai adat peminangan perempuan kepada
laki-laki. Adat ini masih berlaku sampai sekarang, dan telah membudaya
dikalangan mereka, dan tidak merupakan suatu hal yang aneh atau tabu bahkan
sudah berurat akar dan turun-temurun dari generasi kegenerasi berikutnya.
Adat
yang demikian itu masih dijunjung tinggi oleh masyarakat Lamongan, terutama
bagi mereka yang hidup di pedesaan, mereka memandang bahwa adat peminangan yang
di awali dari pihak perempuan kapada laki-laki merupakan adat yang harus
dijunjung tinggi. Karena ini merupakan adat, maka keberadaanya selalu
berubah-ubah, sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan latar belakang sejarah munculnya adat tersebut.
Berdasarkan
permasalahan tersebut maka menurut penulis bahwa peminangan perempuan kepada
laki-laki yang dilakukan oleh sebagian masyarakat hukumnya boleh, dilakukan,
tergantung pada pihak mana yang lebih berhasrat karena sudah saatnya untuk
menikah. Menurut penulis peminangan dapat bermula dari pihak perempuan atau
pihak laki-laki, asalkan esensi dari peminangan itu dapat tercapai.
Perkawinan
yang merupakan fitroh manusia (human nature), sedangkan peminangan
merupakan langkah awal yang mengantarkan ke perkawinan. Dalam hal ini hak
perempuan dan laki-laki adalah sama. Keduanya sama–sama mempunyai hak sama
dalam nenetukan pilihannya.
Siapa
saja diantara kedua insan yang berlainan jenis kelamin tersebut memiliki
kemauan lebih awal terhadap seseorang yang telah dipilih sesuai pilihan yang
terbaik untuk hidup bersamanya, maka ia berhak untuk mengutarakan kemauanya,
tidak harus menunggu datangnya seorang laki-laki untuk meminangnya, jika
terlalu lama menunggu dikhawatirkan akan melakukan perbuatan yang tidak di
bolehkan (haram hukumnya) karena tidak ada ikatan yang perkawinan yang syah.
Setiap
jalan yang menunggu mistaqon gholizho (perjajian yang sangat berat)
dimuliakan Allah. Islam memberi penghargaan yang suci kepada niat dan ikhtiar
untuk menikah. Nikah adalah urusan agama, bukan sekedar legalitas penyaluran
kebutuhan biologis dengan lawan jenis.
Islam
memperbolehkan perempuan menawarkan dirinya kepada laki-laki yang berbudi
luhur, soleh, yang ia yakini kekuatan agamanya dan kejujuran amanahnya untuk
menjadi suami yang bertaqwa dan bertanggung jawab.
Sikap
menawarkan diri menunjukkan ketinggian ahlak dan kesungguhan untuk mensucikan
diri. Sikap ini lebih dekat kepada Allah dan untuk mendapatkan pahalan-Nya.
Yakinlah Allah akan mencatat sebagai kemuliaan dan perjuangan (mujahadah).
Tujuan
umum ditetapkannya hukum adalah untuk menarik kemanfaatan atau bagi kepentingan
manusia dan menghindarkan perbuatan merugikan serta membahayakan kepentingan.
Kemaslahatan yang dibawa oleh Islam mempunyai ciri-ciri mendatangkan manfaat
dan menolak terhadap kerusakan dan mengikuti perkembangan zaman.
Ada
tidaknya hukum selalu mengikuti illatnya, tingkah laku umat manusia, adat
istiadat dan peradapan tidaka pada satu gerak yang tetap, namun dapat
berubah-ubah dan berbeda-beda sesuai dengan perubahan zaman.
Sebagian
masyarakat dalam menjalankan urf atau kebiasaan dalam peminangan (egagement)
perempuan kepada laki-laki saling pengertian, tidak tidak ada yang merasa
direndahkan dan tidak merasa dibanggakan baik laki-laki maupun perempuan dan
tidak menggap hal itu sesuatu yang buruk. Hal ini menujukkan segala adat yang
dianggap baik oleh umat Islam adalah baik juga menurut Allah, oleh karena itu
Urf yang baik yang memberikan kemaslahatan umat dapat dijadikan dasar hukum dan
boleh diperhatikan, tetapi urf yang tidak baik tidak fasid boleh di pelihara.
Hal ini sesuai dengan Hadis,
ما
رآه المسلمون حسنا فهو عند الله حسن
“Apa
yang dianggap baik oleh Islam, maka dianggap baik pula oleh Allah.”
Dalam
hal ini Allah berfirman:
و
ما جعل عليكم في الدين من حرج
“Dan
Allah tidak menyempikanmu dalam urusan agama.’’
Dari
keterangan tersebut, bisa diketahui bahwa sesuatu yang sudah dianggap baik oleh
masyarakat muslim dan telah menjadi adat, sedangkan adat tersebut tidak
menberikan kerusakan bagi masyarakat, tidak mengandung ungsur kemusyrikan atau
keharaman, maka Allah tidak menyempitkanya.
Adapun
praktek peminangan yang dilakukan oleh sebagian masyarakat telah menjadi adat
yang masih dilakukan sampai sekarang. Mereka memandang bahwa adat yang mereka
lakukan telah memberikan kehidupan baru sehingga peminangan yang diprakarsai
oleh perempuan dianggap adat yang baik bagi masyarakat muslim.
Adat
yang sudah dikenal masyarakat dan telah dilakukan terus- menerus, serta
dianggap baik oleh mereka, maka tidak diharamkan. Oleh karena itu praktek peminangan
perempuan kepada laki-laki yang sudah dilakukan terus-menerus oleh sebagian masyarakat,
sedangkan adat tersebut tidak ada unsur kemusyrikan atau menghalalkan yang
haram atau sebaliknya, maka menurut penulis praktek peminangan perempuan kepada
laki-lak yang dilakukan sebagian masyarakat hukumnya boleh asalkan tujuan dari
peminangan itu sama. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqhiyyah:
“Urf pada syara’ mempunyai penghargaan dan
diatasnyalah kadang-kadang didasarkan hukum.”
Maka
yang bisa diambil atau dijadikan hukum harus sesuai dengan ketentuan yang sudah
ditetapkan. Maka urf yang boleh dipelihara harus berupa urf yang shohih,
sedangkan urf yang sudah dilakukan oleh sebagian masyarakat menurut penulis
bahwa praktek peminangan perempuan kepada laki-laki merupakan adat yang shohih
maka hukumnya boleh.
No comments:
Post a Comment