HIKMAH PUASA


Puasa yang dijalankan sebagai pengabdian kepada Allah Swt mengandung nilai dan hikmah bagi manusia yang menjalankan dengan baik. Nilai dan hikmah ini bukanlah tujuan dari puasa, melainkan merupakan efek langsung yang diterima oleh hamba yang berpuasa. 

Dalam al-Qur'an menyatakan bahwa tujuan puasa yang hendaknya dipegangkan adalah untuk mencapai ketaqwaan/la’alakum tattaqun. Taqwa diambil dari kata yang bermakna, menghindar, menjauhi atau menjaga diri.

Kalimat perintah Ittaqullah secara harfiyah berarti hindarilah, jauhilah atau jagalah dirimu dari Allah Swt.[1]

Hikmah puasa sangat banyak, baik yang bersifat spiritual maupun yang bersifat material, jasmani maupun rohani. Diantara hikmah-hikmah puasa dapat dikelompokkan menjadi:

1. Disiplin Rohaniah

Puasa melepaskan manusia dari pada ikatan kehewanan, karena hanya binatanglah yang tidak sanggup menahan seleranya. Tidak sanggup menahan syahwat birahinya dan hanya takut kepada apa-apa yang dilihatnya. Sebagaimana pendapat Sidi Gazalba ;

Tidak ada jariku yang lebih kuat dan pada makan dan minum serta berhubungan dengan istri, manakala kita memiliki tiga unsur itu, namun demikian nafsu itu kita tundukkan, karena puasa. Banyak hal-hal yang tidak baik tapi menyenangkan. Kita senang melihatnya, mengucapkannya dan memperbuatnya, tetapi nafsu kita kendalikan karena puasa.[2]

Wahbah Al-Zuhaily yang juga menyatakan, “puasa dapat menenangkan nafsu amarah dan meruntuhkan kekuatan yang tersalurkan dengan anggota tubuh, seperti, mata, lidah, telinga, dan kemaluan. Dengan puasa aktivitas nafsu menjadi lemah.[3]

Puasa yang dilakukan disini ialah mengendalikan hawa nafsu dan mengontrolnya. Dengan puasa orang siddik untuk mengendalikan nafsu-nafsunya. Nafsu-nafsu itu ditundukkannya terhadap kemauan untuk tunduk atas semata Allah Swt. dengan diri, dari fajar menyingsing sampai malam. Tiap tahun dalam sebulan lamanya mukmin mendisiplinkan jiwanya dengan mengendalikan nafsu-nafsu yang vital dalam dirinya.

2. Disiplin Akhlak

Ibadah puasa menanamkan sifat lurus dan jujur dalam segala urusan dan mempertanggungjawabkan, sekalipun manusia tidak ada yang mengawasinya. Selanjutnya puasa meninggikan budi pekerti manusia, karena ia tidak lagi menjadi budak dari hawa nafsu dan keinginannya, tetapi ia dapat menguasai siswa itu dan sedikit yang telah diakui oleh para sarjana itu jiwa seluruh dunia seorang yang dapat menguasai hawa nafsunya adalah yang mempunyai keluhuran budi.[4]

Manusia dalam tingkah lakunya perbuatannya selalu dalam pilihan antara baik dan buruk. Dalam puasa kemauan dilatih untuk selalu memilih yang baik sehingga melahirkan tingkah laku perbuatan yang baik pula.

Dibiasakan seorang mukmin mendisiplinkan akhlaknya untuk suatu ketika menjadi kebiasaan dan tabiatnya. Dan tabiat akan membentuk kepribadian muttaqin yaitu orang yang senantiasa tattaqun. Disiplin akhlak melindungi jiwa manusia agar dapat menghindarkan diri dari perbuatan jahat. Puasa dapat menertibkan kemauan dan jiwanya dari pada maksud-maksud hina dan keji yang senantiasa menggoda hatinya 

3. Disiplin Sosial

Puasa dapat menumbuhkan rasa solidaritas dikalangan umat Islam. Baik yang ada di timur ataupun di barat. Mereka berpuasa dan berbuka pada satu waktu. Puasa dapat menumbuhkan rasa kasih sayang, ukhuwah dan perasaan keterikatan dalam tolong menolong yang dapat menjamin rasa persaudaraan sesama umat Islam.[5]

Perasaan lapar mukmin misalnya bisa mendorong seorang untuk bersilaturrahmi dengan orang lain serta ikut berpuasa dalam menghilangkan bahaya kemiskinan, kelaparan dan penyakit. Hal ini akan semakin menguatkan ikatan solusi antara sesama manusia dan akan membangkitkan. Mereka untuk saling membantu dan memberantas penyakit-penyakit masyarakat sosial (deviasi sosial).

Puasa terkadang bisa menyetarakan orang yang berpuasa dengan orang-orang miskin yaitu dengan ikut menanggung aku merasakan penderitaan mereka. Tindakan seperti ini akan menyangkut kedudukannya disisi Allah SWT. Dengan lapar dan haus yang dirasakan ketika puasa, sadarkan mukmin betapa penderitaan orang tak mampu itu menderita, sekarang ia tidak hanya tahu yang bersifat teori tapi merasakannya sendiri yang bersifat praktek.

Setelah sebulan mukmin merasakan penderitaan orang-orang miskin pada akhir bulan itu diujikan dia, apakah rasa sosial itu telah tumbuh. Disuruh memberikan sebagian makannya kepada orang miskin dengan zakat fitrah. Kalau itu dilakukan dengan ikhlas terwujudlah nilai sosial dari puasa.

4. Disiplin Jasmaniah

Puasa secara praktis memperbaharui kehidupan manusia yaitu membuang makanan yang telah lama mengendap dan menggantinya dengan yang baru, mengistirahatkan perut dan alat pencernaan, memelihara tubuh, membersihkan sisa-sisa makanan dan minuman.

Menurut statistik ilmu kesehatan lebih dari 60% penyakit berasal dari perut, apabila perut tidak dikendalikan, banyak penyakit akan tumbuh.[6] Dalam hal ini Sidi Gazalba menjelaskan bahwa kendalikan perutmu, maka akan berlindunglah kita dan sebagian besar kejahatan (penyakit) yang diakibatkan perut.[7]

Hal yang sama juga dikemukakan oleh al-Hasani ar-Nadwi bahwa manusia telah berlebih-lebihan di dalam makan dan minum dan tergila-gila dalam bermacam-macam makanan dan minuman sehingga mereka diserang penyakit-penyakit baik badan maupun mental.[8]

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hikmah puasa bagi orang mukmin bisa berupa fisik atau jasmaniah maupun psikis atau rohaniah. Hikmah itu melindungi mukmin dari kejahatan jasmaniah dan rohaniah.

Dari empat nilai hikmah yang dapat dipetik dalam menjalankan ibadah puasa tersebut menyatakan bahwa dengan puasa akan terpeliharalah kehidupan rohani dan jasmani seorang muslim, tetapi harus kita ingat bahwa puasa itu ditujukan kepada orang-orang yang beriman. Maka nilai dan hikmah rohaniah dan jasmaniah dari puasa itu hanya akan diterima oleh orang mukmin yang menjalankan puasa atas dasar iman dan takwa.

Dari uraian-uraian tentang puasa serta melihat dari berbagai aspek, tergambarlah bahwa puasa sangat banyak hikmah dan efeknya (pengaruhnya) bagi orang-orang yang melaksanakannya, baik dipandang sebagai ubudiah maupun sebagai latihan. Secara ringkas dapat dapatlah dirumuskan hikmah puasa sebagai berikut:

a. Tazkiyat al-Nafsi (membersihkan jiwa), yaitu dengan jalan mematuhi perintah-perintahnya, menjauhi segala larangan-larangan-Nya, dan melatih diri untuk menyempurnakan peribadatan kepada Allah Swt semata.

b. Puasa disamping menyehatkan badan sebagaimana yang telah diteliti oleh dokter spesialis, juga memenangkan aspek kejiwaan atas aspek materiil yang ada dalam diri manusia.

c. Puasa mendidik iradah (kemauan), mengendalikan hawa nafsu, membiasakan bersifat sabar, dan dapat membangkitkan semangat.

d. Puasa dapat menurunkan daya seksual.

e. Dapat menumbuhkan semangat bersyukur terhadap nikmat Allah.

f. Puasa mengingatkan orang-orang yang kaya akan penderitaan dan kelaparan yang dialami oleh orang-orang miskin.

g. Dapat menghantarkan manusia menjadi insan bertakwa.[9]

Menurut TM. Hasbi Ash-Shiddiqie, hikmah puasa itu telah diterangkan dalam Al-Qur'an yaitu menjadi orang yang takwa dan menjadi tangga yang menyampaikan kita kepada derajat  muttaqin. Jadi Allah Swt memfardlukan puasa kepada kita agar:

a. Untuk menanamkan rasa sayang dan ramah kepada fakir miskin, kepada anak yatim dan kepada orang melarat hidupnya.

b. Untuk membiasakan diri dan jiwa memelihara amanah. Perlu diketahui bahwa puasa itu suatu amalan Allah Swt yang berat dan sukar. Maka apabila kita dapat memelihara amanah Allah Swt dengan sempurna terdidiklah kita untuk memelihara segala amanah yang sempurna yang dipertaruhkan kepada manusia.

c. Untuk menyuburkan dalam jiwa manusia kekuatan menderita, bila terpaksa menderita dan untuk menguatkan  iradah atau kehendak manusia dan untuk meneguhkan keinginan dan kemauan.[10]




[1] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur'an, (Bandung: Penerbit Mizan, 1996), hlm. 530
[2] Sidi Gazalba, Asas-asas Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 51
[3] Wahbah al-Zuhaily,  Puasa dan Itikaf, Terj. Agus Effendi dan Bahruddin Funnany, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1995) hlm. 89.
[4] H. Abdullah Sidik, S.H., Azas-azas Hukum Islam, (Jakarta: Wijaya, 1982), hlm. 131.
[5] Wahbah al Zuhayly, Puasa dan Itikaf, Terj. Agus Effendi dan Bahruddin Funnany, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1995), hlm. 88.
[6] Sidi Gazalba, Op. Cit., hlm. 154.
[7] Ibid. hlm. 154.
[8] A. A. A. H. al-Hasani ar-Nadwi,  Empat Sendi Agama Islam, disadur dari Drs. Zainuddin et all, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991) hlm.213.
[9] Yusuf Qardhawi, Fiqh Puasa, (Surakarta: Era Inter Media, 2000), hlm. 21-27.
[10] TM.  Hasby  Ash-Shiddiqie,  Pedoman  Puasa,  (Semarang:  Pustaka  Rizki Putra, 1997), hlm. 44.

No comments:

Post a Comment