Sebagian
para Fukaha berpendapat tentang hukum Akikah terbagi menjadi tiga:
a. Pendapat yang menyatakan bahwa
Akikah itu sunnah, bukan wajib. Ini merupakan pendapat Imam Malik, penduduk
Madinah, Imam Syafi’i dan sahabat-sahabatnya, Imam Ahmad, Ishaq. Mereka
membantah pendapat yang menyatakan, bahwa Akikah itu wajib dengan alasan sebagai
berikut:
1) Jika Akikah itu wajib tentang akan
dinyatakan secara tegas dalam agama. Sebab, hal itu akan merupakan tuntutan
yang berlaku secara umum dan Rasulullah saw. tentu akan menjelaskan wajibnya
dengan suatu keterangan yang diperkuat dengan hujjah.
2) Rasulullah saw. telah mengaitkan
persoalan Akikah dengan rasa suka dari orang-orang yang melakukannya.
Sebagaimana sabda Nabi yang dikutip dalam Kitab Subulus Salam:
من
ولد له ولد فأحبّ أن ينسك عن ولده فليفعل (أخرجه مالك)
“Barangsiapa
yang dikaruniai seorang anak, lalu ia menyukai hendak membaktikannya
(mengaqiqahinya), maka hendaklah ia melakukannya”.[1]
3) Perbuatan Rasulullah saw. dalam
masalah Akikah tidak menunjukkan hukum wajib, tetapi menunjukkan suatu anjuran.
b. Pendapat yang menyatakan, bahwa
Akikah itu wajib. Ini merupakan pendapat Imam Hasan al-Bashri, Al-Laits Ibn
Sa’ad dan yang lainnya.
Dasar
pendapat mereka adalah hadits yang diriwayatkan Muraidaah dan Ishaq bin
Ruhawiah:
أن
النّاس يعرضون يوم القيامة على العقيقة كما يعرضون على الصلوات الخمس
“Sesungguhnya
manusia itu pada hari kiamat akan dimintakan pertanggung-jawabannya atas
aqiqahnya seperti halnya pertanggung-jawaban atas shalat lima waktu”.[2]
Mereka
juga mendasarkan pendapatnya pada hadits Nabi saw.:
لا
أحبّ العقوق
“Setiap
anak itu tergadai dengan Akikahnya”. Menurut mereka, pernyataan bahwa anak
tidak bisa memberikan syafa’at kepada kedua orang tuanya sebelum diAkikahi
merupakan penguat wajibnya Akikah.[3]
c. Pendapat yang menolak
disyariatkannya Akikah. Ini adalah pendapat ahli Fiqih Hanafiah. Dasar yang
mereka gunakan adalah hadits yang diriwayatkan Baihaqi dan Amr bin Syu’aib dari
bapaknya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Aku tidak menyukai
aqiqah-aqiqah itu”.
Mayoritas
Fukaha berpendapat, bahwa konteks hadits tersebut di atas justru menguatkan disunahkan
daan dianjurkannya Akikah. Mereka juga menjawab hadits-hadits yang dijadikan
sebagai argumen para ahli Fikih Hanafiyah dalam menolak disyariatkannya Akikah.
Susunan
kalimat dan sebab-sebab keluarnya hadits yang diriwayatkan oleh Baihaqi dan Amr
bin Syu’aib tersebut sebenarnya menunjukkan bahwa Akikah itu sunah dan
dianjurkan. Lafal hadits itu secara lengkap adalah:
“Rasulullah
saw. ditanya tentang Akikah, beliau menjawab: “Aku tidak menyukai Akikah-akikah”
(seakan-akan beliau hanya tidak menyukai hewan sembelihan itu dinamakan
Akikah). Mereka berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya kami hanya bertanya
tentang salah seorang di antara kami yang dikaruniai seorang anak”. Beliau
bersabda, “Siapa saja di antara kamu menyukai untuk membaktikan (mengakikahi)
anaknya, maka hendaklah ia melakukannya. Bagi anak laki-laki dua ekor kibasy
yang mencukupi dan bagi anak perempuan satu ekor kibasy”.
Dengan
demikian, mengakikahi anak adalah sunah dan dianjurkan. Hal ini sesuai dengan
pendapat kebanyakan ulama ahli fikih. Oleh karena itu, hendaklah orang tua
melakukannya, jika memang memungkinkan demi menghidupkan sunah Rasulullah saw.[4]
No comments:
Post a Comment