Untuk
dapat menentukan status hukum suatu perbuatan hukum, menurut syariat Islam
harus diketahui terlebih dahulu sumber hukum Islam yang paling solid. Dengan
memahami sumber hukum aslinya, akan lebih mudah beristimbat hukum dalam
berbagai persoalan. Berdasarkan ketetapan yang paling kuat, dan diakui jumhur
ulama Islam, sumber hukum dalam Islam hanyalah satu yaitu wahyu, dalam bentuk
firman-Nya (Al-Qur'an), dan sabda nabi-Nya (Hadits), baru kemudian ijma para
sahabat, atsarnya, lalu pendapat perseorangan diantara mereka.
Ijma
ulama bukanlah sumber hukum, namun merupakan pedoman atau yurisprudensi hukum
Islam, sedangkan Qiyas merupakan suatu cara berijtihad (menggali sumber hukum),
jadi qiyas itu bukan sumber hukum, tetapi alat untuk beristimbat (menggali),
hukum Islam.
Salah
satu syarat perkawinan adalah ijab-Qabul yang harus diucap pada satu pertemuan
(majlis) yang dihadiri oleh pihak-pihak yang bersangkutan, harus diucapkan oleh
orang-orang yang sama hukum berhak melaksanakan akad tersebut.
Karena
dalam hukum Islam ditegaskan bahwa perkawinan secara tegas dinyatakan tidak
dianggap sebagai sakramen (yang bernilai ritual) melainkan sebagai perjanjian (akad)
semata-mata. Rukun-rukun atau unsur-unsur esensialnya adalah ijab (pernyataan
kehendak dari wali untuk menikahkan calon pengantin wanita dengan calon pengantin
lelaki ijab qabul (pernyataan penerimaan dari calon pengantin pria terhadap
ijab tersebut) tanpa ucapan keagamaan apapun, walaupun yang disebut terakhir
ini pada umumnya dianggap sebagai syarat yang bernilai hukum tetapi para fuqaha’
di masa kini banyak yang mempermasalahkannya.
Menurut
Abd al-Rahman al-Jazairi makna “satu majlis” adalah keterlibatan langsung
antara wali atau pun yang mewakilinya dan calon suami atau yang mewakilinya,
dalam pelaksanaan ijab-qabul beberapa ulama mensyaratkan juga hadirnya dua
orang saksi, keterlibatan langsung disini berarti adanya ikut serta kedua belah
pihak dalam melangsungkan sighat ijab-qabul, yang dipentingkan disini adalah bukan
bersatunya individu secara fisik.
Dengan demikian, jaringan internet atau sarana
telekomunikasi lainnya bisa dikategorikan sebagai “satu majlis” jika komunikasi
yang berlangsung masih dalam konteks yang sama. Dalam hal ini, konteksnya
adalah akad ijab dan qabul yang
disampaikan, ketakhadiran fisik calon suami tidak lagi menjadi rintangan sahnya
perkawinan.
Dalam
persoalan akad nikah dengan bantuan video conference para ulama berbeda
pendapat menanggapi hal tersebut.
Pertama,
selain dari madzhab Hanafi, para ulama berpendapat bahwa syarat orang yang melakukan
akad nikah adalah semua pihak harus berada dalam satu tempat dan satu waktu
secara bersamaan. Karena itu, akad nikah yang tidak dilaksanakan pada satu
tempat walaupun kedua belah pihak dapat saling berkomunikasi tetap dihukumi
tidak sah. Menurut Imamiyah, Hambali dan Syafi’i, akad dengan tulisan (surat
dan sebagainya) tidak sah.
Kedua,
madzhab Hanafi menyatakan bahwa akad nikah menggunakan alat teleconference
hukumnya sah. Kesimpulan tersebut diperoleh karena menurut golongan ini, yang
dimaksud dengan majelis yang menjadi keharusan dalam setiap akad bukanlah
keberadaan dua orang yang melakukan ijab qabul di dalam satu tempat secara
fisik. Bisa saja tempat keduanya berjauhan, tetapi apabila ada alat komunikasi yang
memungkinkan keduanya melakukan proses pernikahan dalam satu waktu yang bersamaan,
maka hal itu tetap dinamakan satu majelis, sehingga akad yang dilaksanakan
tetap dihukumi sah.
Kalau
melihat dua pendapat ini, maka yang menjadi akar permasalahannya adalah
perbedaan dalam mempersepsikan syarat satu majelis sebagai syarat dalam
pernikahan.
Golongan
Syafi’iyah, Malikiyah dan Hambaliah menyatakan bahwa yang dimaksud satu majlis
itu adalah berkumpul dalam satu tempat dan satu waktu. Menurut mereka agar
pernikahan dapat sah semua pihak yang terlibat dalam prosesi akad nikah harus
berkumpul secara fisik. Bahkan menurut madzhab Syafi’i walaupun pihak yang
terkait dalam akad sudah berkumpul dalam satu tempat, namun bila satu di antara
mereka tidak dapat melihat yang lainnya,karena gelap atau lainnya, maka
pernikahan itu dianggap tidak sah.
Sedangkan
dalam madzhab Abu Hanifah, yang dimaksud satu majelis ialah di mana dua orang
yang melakukan akad dapat berkomunikasi secara langsung dan melaksanakan akad
dalam waktu yang bersamaan. Jadi media apapun saja dapat digunakan asalkan hal
itu dapat menghubungkan dua belah pihak tanpa ada kemungkinan terjadinya
manipulasi. Dalam hal ini maka sah hukumnya menggunakan media untuk
melaksanakan akad nikah.
Menjawab
soal ijab kabul, Rifyal Ka’bah, hakim agung, menyatakan, selama dapat
diyakinkan bahwa ‘suara’ di seberang sana adalah orang yang berkepentingan, maka
hal tersebut sah-sah saja. Soal pengertian satu majelis, Rifyal berpendapat pengertian
satu majelis saat ini tidak bisa disamakan dengan satu majelis zaman nabi.
Rifyal
yang menyabet gelar master dari Department of Social Sciences, Kairo Mesir, ini
menganalogikan ijab dan kabul perkawinan dengan perdagangan yang menurut Islam
juga harus dilakukan dalam satu majelis.
Namun
bukan berarti Rifyal setuju dengan penggunaan seluruh media komunikasi untuk
ijab kabul perkawinan jarak jauh. Ia berpendapat teleconference dan
telepon sebagai sarana yang memungkinkan ketimbang surat elektronik (surel), SMS
dan faksimili. Alasan Rifyal lebih bersifat otentifikasi media yang digunakan. Artinya,
sulit untuk memastikan bahwa surel, SMS maupun faksimili yang dikirimkan
tersebut benar-benar dikirim oleh orang yang bersangkutan.
Senada
dengan Rifyal, Abdus Salam Nawawi, Dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel
Surabaya, menyadari perkembangan dunia saat ini tidak bisa lagi membatasi ijab
dan kabul harus dalam satu ruang dan waktu.
Menurut
Abdus Salam, inti dari ijab dan kabul adalah akad atau perjanjian. Karenanya,
sama dengan Rifyal, Abdus Salam, berpendapat akad nikah atau ijab kabul sama
dengan ijab kabul dalam jual beli. Beliau mengatakan bahwa pada prinsipnya sama
harus ada ijab dan kabul yang jelas. Apabila kedua pihak yang berakad ini tidak
berada satu majelis, kemudian melalui bantuan teknologi keduanya dapat
dihubungkan dengan sangat meyakinkan, menurutnya dapat ‘dihukumi’ satu majelis.
Begitupun
dengan perceraian jarak jauh. Menurut Nawawi, ijab kabulnya sama dengan akad,
sehingga kalau terpenuhi prinsip-prinsip kepastian, perceraian bisa dilakukan
jarak jauh. Sebagai perbandingan, di Mesir, berdasarkan buku laporan pelatihan
hakim Indonesia gelombang II di Kairo, 2003, pengertian satu majelis tidak
harus duduk dalam satu tempat. Oleh karenanya, ijab kabul melalui telepon
dipandang sah bila dapat dipastikan suara yang didengar adalah suara orang yang
melakukan ijab kabul. Begitupun apabila ijab kabul dilakukan lewat surat
elektronik dibacakan oleh kuasanya yang sah di depan dua orang saksi nikah dan
banyak orang.
Sementara
itu, Moqsith Ghazali dari The Wahid Institute menggunakan pendekatan yang
berbeda dalam menanggapi persoalan ijab kabul jarak jauh ini. Menurutnya,
ketika menggelar prosesi ijab kabul, kedua mempelai harus hadir. Menurutnya
sebenarnya hal ini (akad nikah melalui video conference) masih kontroversial,
hampir semua imam fikih berpendapat ijab kabul harus satu majelis. Namun ulama
kontemporer, dengan menimbang persoalan ekonomi, baru-baru ini memperbolehkan
perkawinan jarak jauh.
Ada
beberapa riwayat jenis pernikahan yang pada prinsipnya mengarah kepada dukungan
mengenai dibolehkannya pernikahan melalui jalur internet, riwayat-riwayat
tersebut ialah:
عن
عقبة بن عامر أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال لرجل ان أزوجك فلانة قال نعم و
قال للمرأة أترضين ان أزوجك فلانا قالت نعم فزوج احدهما صاحبه فدخل بها
“Dari
Uqbah bin Amir, bahwa Nabi SAW pernah berkata kepada seorang laki-laki, “Sukakah
engkau aku kawinkan dengan si Fulanah?
Ia menjawab, “Ya!, dan Nabi bertanya kepada si wanitanya, “Sukakah engkau aku kawinkan dengan si Fulan?” wanita
itu menjawab, “ya”, lalu dikawinkan antara mereka, terus mereka jadi suami isteri,”
(HR. Abu Dawud).
ان
أم حبيبة كانت تحت عبيد الله بن جحش فمات بأرض الحبشة فزوجها النجاشي رحمه الله من
النبي صلى الله عليه و سلم و أمهرها أربعة آلاف درهم و بعث حبيب اليه مع شرحبيل بن
حسنة فقبل النبي صلى الله عليه و سلم
“Bahwasannya
Ummu Habiebah adalah isteri Ubaidillah
bin Jajsy. Ubaidillah meninggal di negeri Habasyah, maka raja Habasyah (semoga
Allah memberi rahmat kepadanya) menikahkan Ummu Habiebah kepada Nabi SAW, ia
bayarkan maharnya 4000 dirham, lalu ia kirimkan Ummu Habiebah kepada Nabi SAW bersama Syurahbiel
bin Hasanah. Lalu Nabi SAW menerimanya”. (HR. Daud, dan Nasa’i)
Dari
dua hadits di atas memberikan informasi bahwa menikahkan seorang wanita kepada
seorang laki-laki tanpa keduanya bertemu itu boleh-boleh saja, asal kedua-duanya
suka. Bahkan nikah model ini (keduanya tidak saling bertemu), justru lebih
aman, asal sudah saling mengetahui watak dan kepribadian masing-masing sebelumnya.
Tidak berpola pendekatan, yang lazim berjalan selama ini, justru akhirnya
sering menimbulkan persoalan psikologis di kemudian hari, dan bahkan sampai
sering mengubah hubungan hukumnya.
Dengan
demikian, jaringan internet atau sarana telekomunikasi lainnya bisa dikategorikan
sebagai “satu majlis” jika komunikasi yang berlangsung masih dalam konteks yang
sama. Dalam hal ini, konteksnya adalah akad ijab dan qabul yang disampaikan,
ketidak-hadiran fisik calon suami tidak lagi menjadi rintangan sahnya perkawinan.
Secara
umum hikmah pernikahan melalui jalur internet sama halnya dengan hikmah
pernikahan menggunakan jalur biasa (konvensional). Hanya saja secara teknis
memang ada bedanya, pernikahan melalui jalur internet dapat menjangkau jarak
jauh. Bisa dipergunakan oleh mereka yang berada berjauhan tempat, sedangkan pernikahan
biasa hanya dimanfaatkan oleh mereka yang berdekatan jaraknya.
No comments:
Post a Comment