Dalam
kamus bahasa, ada kata (كلّف) (membebani), (مكلّف) (yang dibebani tanggung jawab).[1] (كلّف بالأمر) (memberati dengan pekerjaan), (مكلّف) (yang diberati, yang bertanggung jawab), (متكلّف) (yang memasuki sesuatu yang bukan perkaranya).[2]
Pendukung
hak adalah manusia yang memiliki berbagai macam hak kodrati atas pemberian
Tuhan.[3] Sehubungan dengan itu
dalam ilmu fiqih ada istilah mukallaf,
dan istilah ini dibahas misalnya dalam bab mahkum alaih yang oleh Abd al Wahab
Khallaf dirumuskan: mahkum alaih adalah mukallaf yang dengan
perbuatannya hukum syar’i berkaitan.[4]
Sejalan dengan itu, murid Abd al Wahab Khallaf
yaitu Abu Zahrah merumuskan pula bahwa hukum adalah tuntutan Allah yang berkaitan
dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa perintah, larangan, memilih
atau ketetapan. Dari definisi ini perlu diungkap tentang pembentuk hukum syara’
(al-Hakim) serta perbuatan orang-orang mukallaf sebagaimana telah
diuraikan.
Kini
tinggal masalah mukallaf yang melakukan perbuatan yang belum dibicarakan, dan
mereka itulah yang disebut sebagai al mahkum alaih (orang yang menjadi
obyek hukum, dalam istilah hukum disebut subyek hukum). Jadi mahkum alaih adalah
orang mukallaf, karena dialah orang yang perbuatannya dihukumi untuk diterima
atau ditolak, dan termasuk atau tidak dalam cakupan perintah atau larangan.[5]
Dari
kedua rumusan tersebut dapat disimpulkan, mahkum alaih adalah mukallaf
sebagai pendukung hak dan kewajiban. Orang yang telah mencapai baligh terkena taklif
yaitu tuntutan pelaksanaan tugas yang sudah ditentukan.[6] Orangnya disebut Mukallaf
yaitu orang yang memikul tanggung jawab terhadap beban tugas pelaksanaan hukum
taklifi. Mukallaf disebut juga
dengan istilah mahkum 'alaih.
Dasar
adanya taklif kepada mukallaf ialah karena adanya akal dan kemampuan memahami
padanya. Saifuddin al-Amidi sebagaimana dikutip Muhammad Abu Zahrah menegaskan,
bahwa telah sepakat para ulama tentang syarat mukallaf yaitu haruslah berakal
dan mampu memahami.
Karena
sumber taklif adalah khithab (firman, sabda). Suatu firman yang dihadapkan
kepada orang yang tidak berakal dan tidak dapat memahaminya akan sisa-sia
belaka. Barangsiapa yang hanya mempunyai kemampuan memahami masih tingkat
dasar, seperti baru dapat memahami bacaannya yang sederhana saja, belum dapat
memahami kandungannya yang mengandung perintah atau larangan, yang berpahala atau berdosa, dan yang memerintahkan itu
adalah Allah yang wajib ditaati, maka orang yang seperti itu orang gila dan
anak-anak yang belum mampu membedakan sesuatu.
Orang-orang yang demikian tidak
ada baginya taklif. Adapun anak-anak yang sudah mumayyiz (mampu
membedakan) meskipun ia sudah mempunyai kemampuan memahami namun masih jauh dari
sempurna tentang wujud Allah dengan sifat-sifat-Nya yang sempurna; tentang
adanya Rasul yang bersifat benar dan menyampaikan ajaran Allah dan sebagainya
yang berhubungan dengan pemahaman taklif. Sangat sulit mengetahui kematangan
orang berpikir sebagai orang mukallaf. Mencapai kematangan itu adalah secara
berangsur-angsur, dan tidak ada suatu pertanda yang tepat untuk itu kecuali
baligh.[7]
Demikian
keterangan al-Amidi. Ringkasnya keterangan al-Amidi itu sebagai berikut:
a. Yang menjadi dasar taklif itu ialah
akal karena taklif itu bersumber pada firman yang harus dipahami oleh
akal.
b. Akal tumbuh dan berkembang secara
berangsur-angsur semenjak usia muda, dan dipandang belum sampai ke batas taklif
melainkan jika akal sudah mencapai kesempurnaan dalam pertumbuhannya.
c. Pertumbuhan akal secara
berangsur-angsur ini terjadi dari masa ke masa secara tersembunyi sehingga baru
jelas permulaan kesempurnaannya (kematangannya) jika sudah mencapai masa
baligh.
Sebagai
batas pemisah antara masa masih kurang sempurna akal dengan mulai mencapai
kesempurnaannya ialah balig. Di kala seseorang sudah baligh termasuklah ia
dalam kategori mukallaf. Dan setiap mukallaf harus bertanggung jawab terhadap
hukum taklifi.[8]
Peranan
akal merupakan faktor utama dan syari'at Islam untuk menentukan seseorang
sebagai mukallaf. Karena itu meskipun seseorang sudah mencapai usia baligh
tetapi akalnya tidak sehat maka hukum taklifi tidak dibebankan kepadanya.
Agar
seseorang dapat dibebani ketentuan-ketentuan hukum syara (mukallaf), harus memenuhi
persyaratan-persyaratan sebagai berikut:
Pertama,
menurut TM.Hasbi Ash Shiddieqy si mukallaf sanggup memahamkan perintah yang
dihadapkan kepadanya. Oleh karena itu, tidak dibebankan perintah kepada
orang gila dan yang belum mengerti arti suruhan,
seperti kanak-kanak umpamanya.[9]
Ini
berarti orang tersebut harus dapat memahami dalil-dalil penetapan hukum baik
dari Al Qur'an maupun Hadits. Jika orang itu tidak dapat memahami dalil-dalil
tersebut, maka tidak mungkin ia akan dapat menunaikan ketentuan-ketentuan hukum
yang ditetapkan oleh dalil-dalil itu.
Kemampuan untuk memahami dalil-dalil taklif
hanyalah dapat dibuktikan dengan akal dan keberadaan nash yang ditaklifkan pada
orang-orang yang berakal pada jangkauan akal mereka untuk memahaminya, sebab
sesungguhnya akal adalah alat memahami dan menangkap, dan dengan akal pulalah
keinginan untuk mengikuti perintah dapat diarahkan.
Karena
akal adalah suatu hal yang abstrak yang tidak dapat ditangkap dengan
penginderaan yang konkrit, maka Syari' mengkaitkan pentaklifan dengan hal yang
konkrit yang dapat ditangkap dengan penginderaan yang menjadi tempat dugaan
keberakalan, yaitu keadaan baligh. Jadi barang siapa yang telah mencapai
baligh, tanpa kelihatan adanya hal-hal baru yang merusak kemampuan akalnya,
maka pada dirinya telah terpenuhi kemampuan untuk dikenakan taklif.[10]
Berdasarkan
persyaratan ini, maka orang yang gila tidak terkena taklif, demikian pula anak
kecil, karena ketiadaan akal yang
menjadi sarana untuk memahami dalil taklif orang yang ghafil (lalai), orang yang tidur, dan
orang yang mabuk juga tidak terkena taklif, karena sesungguhnya mereka dalam
keadaan lalai, tidur, atau mabuk, yang tidak mampu untuk memahami.
Adapun
kewajiban zakat, nafkah, dan ganti rugi atas anak kecil dan orang yang gila,
maka hal itu bukanlah pentaklifan pada mereka. Hal tersebut adalah pentaklifan
terhadap wali atas mereka dengan menunaikan hak/kewajiban keharta-bendaan yang
terkena pada harta mereka, sebagaimana pajak tanah dan milik mereka.
Adapun
penjatuhan talak orang yang mabuk menurut mazhab Hanafiyyah, maka hal tersebut
merupakan hukuman terhadapnya atas kemabukannya. Oleh karena inilah, maka
mereka mensyaratkan, bahwa ia durhaka dengan mabuknya, sebagaimana ia minum
sesuatu yang diharamkan atas kemauan sendiri.
Adapun
orang-orang yang tidak mengetahui bahasa
Arab, dan tidak mampu memahami dalil-dalil pentaklifan hukum syar'iyyah dari
Al-Qur'an dan Sunnah sebagaimana orang-orang Jepang, India, Jawa dan lainnya,
maka mereka tidak sah dikenakan taklif menurut syara' kecuali apabila mereka
telah mempelajari bahasa Arab dan mampu untuk memahami nash-nashnya, atau
dalil-dalil syar'i diterjemahkan ke dalam bahasa mereka, di mana mereka mampu
untuk mendapatkan kitab keagamaan dalam bahasa mereka yang menjelaskan kepada
mereka apa yang ditaklifkan oleh Islam padanya, atau sekelompok orang
mempelajari bahasa umat-umat tersebut yang tidak mengetahui bahasa Arab dan menyiarkan
ajaran-ajaran Islam dan dalil-dalil taklifinya di antara mereka dengan
berbicara dalam bahasa mereka.[11]
Ini
adalah cara yang lurus ketiga, karena sesungguhnya Rasulullah saw. dalam
pidatonya pada hajji Wada' mempersaksikan kepada Allah, bahwa ia telah
menyampaikan risalah-Nya, dan memerintahkan kaum muslimin supaya yang hadir di antara
mereka menyampaikan kepada yang tidak hadir. Yang hadir menjadi saksi adalah
seluruh orang yang mendapat petunjuk kepada Islam dan mengetahui
hukum-hukumnya. Sedangkan yang tidak hadir (ghaib) adalah semua orang
yang tidak mengetahui bahasa Al-Qur'an dan tidak mampu memahami
ayat-ayatnya.
Adapun
apabila orang yang ghaib tersebut dibiarkan dalam keadaannya yang tidak
mengetahui bahasa Al-Qur'an dan tidak mampu memahami dalil-dalilnya, serta
ayat-ayatnya tidak diterjemahkan ke dalam bahasanya, tidak ada pula
seorang yang mengetahui bahasa Al-Qur'an
mengajarkan apa yang ditaklifkan kepadanya dengan bahasa yang dapat difahaminya,
maka ia menurut syara' bukan mukallaf.[12] Karena sesungguhnya Allah
tidaklah membebani seseorang kecuali sekedar kemampuannya.
Kedua, orang tersebut harus telah
berakal sempurna. Menurut TM.Hasbi Ash Shiddieqy, hendaklah orang-orang yang
dibebani hukum itu berakal. Menentukan garis-garis telah berakal amat sukar.
Karena itu syara menjadikan “sampai umur,” tanda telah berakal. Untuk mengetahui
bahwa yang telah sampai umur itu berakal, maka dapat dilihat dari perilakunya,
dan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan sehari-hari.[13]
Keterangan
TM.Hasbi Ash Shiddieqy di atas menunjukkan, dengan kemampuan akal yang
sempurna, seseorang akan dapat memahami dalil-dalil penetapan hukum. Namun
karena sampai saat seseorang itu memiliki kemampuan akal dengan secara
sempurna, melalui suatu perkembangan dan karena tanda-tanda kemampuan akal
secara sempurna pada seseorang itu tidak nampak dengan jelas, maka bukan hal
yang mudah untuk menentukan saat seseorang itu mulai memiliki kemampuan akal
dengan sempurna.
Dalam
hal ini Syara' mengaitkan kemampuan akal dengan sempurna bagi seseorang dengan
kebalighannya. Jika seseorang telah memasuki periode baligh dan dari dirinya
tidak menampakkan tanda-tanda ketidaksempurnaan akalnya, maka orang tersebut dianggap
telah dapat memahami dalil-dalil penetapan hukum.
Sebaliknya,
meskipun seseorang itu telah baligh, tetapi tidak berakal, seperti orang gila
atau belum berakal atau kurang sempurna kemampuan akalnya seperti anak kecil,
atau sedang dalam keadaan tidak sadar sehingga orang itu tidak dapat
menggunakan kemampuan akalnya, seperti orang yang sedang tidur, ia tidak dapat memahami
dalil-dalil penetapan hukum. Karena
itulah orang-orang tersebut tidak dibebani dengan ketentuan-ketentuan hukum
Syara'.
Ketiga,
orang tersebut harus mempunyai ahliyah (kemampuan, kecakapan, kelayakan,
kepatutan),[14]
untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum yang dibebankan kepadanya.[15]
[1] Ahmad Warson Al-Munawwir,
Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta: Pustaka Progressif,
1997, hlm. 1225
[2] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1973, hlm. 381.
[3] Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas
Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam), Yogyakarta: UII Press, 2004, hlm. 27.
[4] Abd al Wahab Khalaf, Ilm usul
al-Fiqh, Jakarta: Maktabah al-Dalam’wah al-Islamiyah Syabab al-Azhar, 1410
H/1990M. hlm. 134.
[5] Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, Mesir: Dar al-Fikr al-Araby,
1971, hlm. 327.
[6] Ismail Muhamamad Syah dkk,
Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1992, hlm. 144
[7] Abu Zahrah, Usul al-Fiqh, Mesir: Dar al-Fikr al-Araby,
1971, hlm. 337
[8] Ismail Muhamamad Syah dkk, op
cit, hlm. 145.
[9] TM. Hasbi ash Shiddieqy, Pengantar
Hukum Islam, Semarang PT.Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm. 501
[10] Abdul Wahhab Khallaf, op. cit,
hlm. 134.
[11] Ibid, hlm. 135.
[12] Ibid
[13] TM.Hasbi ash Shiddieqy, op.
cit, hlm. 503
[14] Hanafie mengartikan ahliyah sebagai kemampuan. Lihat
Hanafie, Usul Fiqh, Jakarta: Widjaya,
2001, hlm. 25.
[15] Ibid, hlm. 6-7.
No comments:
Post a Comment