A. Latar
Belakang Masalah
Sejarah
pendidikan Islam di Indonesia, boleh dikatakan, sama tuanya dengan pertumbuhan
dan perkembangan umat Islam di bumi Nusantara ini. Mahmud Yunus menyatakan
bahwa sejarah pendidikan Islam sama tuanya dengan masuknya agama tersebut ke Indonesia.[1] Sejak Islam masuk ke Indonesia pada abad VII
M dan berkembang pesat sejak abad XIII M dengan munculnya sejumlah kerajaan
Islam, pendidikan Islam pun berkembang mengikuti irama dan dinamika perkembangan
Islam tersebut. Di mana pun ada komunitas kaum muslimin, di sana ada aktivias pendidikan
Islam yang dilaksanakan sesuai dengan situasi dan kondisi di tempat mereka
berada.
Sejalan
dinamika dan pasang surut sejarah umat Islam di Indonesia, sejarah pendidikan
Islam pun mengalami dinamika dan pasang surut pula. Pendidikan Islam di
Indonesia dihadapkan pada persoalan
rumusan tujuan yang kurang sejalan dengan tuntutan masyarakat,
sampai persoalan guru, metode, kurikulum
dan lain sebagainya. Tujuan pendidikan Islam sekarang ini, tidak benar-benar
diarahkan pada tujuan positif, melainkan tujuan pendidikan Islam hanya
diorientasikan kepada tujuan akhirat
semata di satu sisi, dan di sisi lain sebagian kecil
mengejar orientasi kemanusiaan tapi kehilangan tujuan yang bersifat akhirat,
sehingga cenderung defensif, yaitu sekedar untuk menyelamatkan kaum muslimin
dari pencemaran dan pengrusakan yang ditimbulkan dampak gagasan Barat
yang datang melalui disiplin
ilmu, terutama oleh gagasan Barat yang mengancam akan meledakkan standar-standar
moralitas tradisi awal Islam.[2]
Filsafat
pendidikan Islam, dalam pandagannya tentang manusia adalah sebagai mahluk yang
antroposentris[3]
dan teosentris.[4]
Karenanya pembaruan paradigma pendidikan Islam harus berorientasi
pada tujuan pembentukan pribadi manusia yang memiliki
keterpaduan sikap antroposentris dan teosentris.
Untuk tercapai tujuan itu aktivitas pendidikan
harus berwawasan sebagai pentransfer nilai-nilai budaya dari beberapa sumber
sekaligus melakukan usaha-usaha kreatif untuk pengembangan kualitas pribadi dan
pendidikan Islam itu sendiri. Serta mampu melakukan pembacaan terhadap
permasalahan yang akan muncul di masa yang akan datang sebagai langkah antisiptaif.
B. Pembahasan
1. Sejarah
pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia
Sumber-sumber
sejarah tentang islamisasi di Nusantara ini sangat sedikit, secara keseluruhan
catatan-catatan sejarah tentang pengislaman di dalam literatur dan tradisi
melayu kurang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Oleh Karena itu, banyak
hal yang sukar terpecahkan sehingga sejarah pendidikan Islam di Nusantara
banyak yang bersifat perkiraan. Seperti dikatakan sejarawan Indonesia, Mahmud
Yunus, bahwa belum ada suatu buku yang meriwayatkan sejarah pendidikan Islam di
Indonesia, sedangkan sejarah Islam di
Indonesia pada umumnya belum dikupas dan dibahas menurut semestinya,
sehingga menjadi buku sejarah Islam yang dapat dipertanggungjawabkan.[5]
Namun demikian, dari sekian perkiraan, kebanyakan menetapkan dan sepakat bahwa
kontak Indonesia dengan Islam terjadi sejak abad ke-7 M / 1H. Meski adapula
yang menyangsikan bahkan membantah, seperti kalangan arkeolog.[6]
Perluasan
Islam baru terjadi abad ke-13 M, yang ditandai berdirinya kerajaan Islam tertua
di Indonesia, seperti kerajaan Perlak dan Samudera Pasai di Aceh pada tahun
1292 dan tahun 1297. Melalui pusat-pusat perdagangan di daerah pantai Sumatera Utara
dan melalui urat nadi perdagangan di Malaka, agama Islam kemudian
menyebar ke Pulau Jawa dan seterusnya sampai ke Indonesia Timur.[7]
Sukses
dan cepatnya perkembangan Islam dipengaruhi antara lain faktor ajaran tentang ketauhidan
–yang berkonsekuensi keadilan dan persamaan derajat manusia dalam hubungan
sosial, dan faktor fleksibelitas ajaran Islam. Faktor-faktor tersebut memunculkan
proses pembentukan dan pengembangan masyarakat Islam yang pertama, yang melalui
berbagai macam corak, seperti jual beli, perkawinan, dan dakwah langsung
serta sebagainya, baik individu maupun kolektif.
Dari
situ pula semacam proses pendidikan dan pengajaran Islam dimulai di Indonesia, pendidikan Islam
pada mulanya dalam
bentuk sangat sederhana.[8]
Materi yang pertama kali diajarkan adalah syahadat. Sebab barang siapa
yang sudah bersyahadat
berarti orang itu
telah menjadi Islam.
Para
penganjur Islam –yang mula-mula mengembangkan agama Islam (pendidikan Islam),
melakukan pendidikan Islam secara berangsur-angsur dan mudah, sedikit demi
sedikit. Pendeknya bila seseorang mengucapkan syahadat, mengakui rukun iman dan
Islam, telah dianggap seorang Muslim. Kemudian setelah itu barulah
diperkenalkan bagaimana cara-cara melaksanakan shalat lima waktu, membaca
al-Qur’an dan seterusnya.
Sejak awal
pendidikan telah mendapat prioritas
utama bagi masyarakat Muslim, didorong kepentingan islamisasi yang telah
mengarahkan umat Islam untuk melaksanakan pengajaran Islam sekalipun
dalam sistem sederhana seperti
halaqah yang dilakukan
di tempat-tempat ibadah; masjid,
mushalla bahkan di rumah ulama.[9]
Islamisasi tersebut, juga mendorong untuk mengadopsi dan mentransfer lembaga
keagamaan dan sosial yang sudah ada saat itu ke dalam lembaga pendidikan Islam
di Indonesia.
Di
Jawa umat Islam mentransfer lembaga keagamaan Hindhu-Budha menjadi Pesantren,[10] di
Minangkabau mengambil alih surau sebagai
peninggalan adat masyarakat setempat menjadi lembaga pendidikan Islam, dan di Aceh mentransfer meunasah
dan dayah sebagai lembaga pendidikan Islam. Sebagaimana pernyataan
Haidar Putra Daulay, pendidikan Islam pada mulanya berlangsung secara tradisional, dilaksanakan di Surau, Masjid,
Meunasah, Rangkang, Dayah, ataupun
Pesantren. Pendidikan di tempat tersebut dipimpin langsung oleh ulama.[11]
Yang
berkembang dan banyak memberi corak pendidikan Islam di Indonesia kemudian,
adalah Pesantren.[12]
Menurut Zamakhsyari Dhofier, istilah pesantren berasal dari kata santri, dengan
awalan pe- dan akhiran –an, berarti tempat tinggal santri.[13]
Pesantren telah ada pada abad ke-15 yang didirikan di antaranya oleh Walisongo
di samping ulama lainnya, meskipun banyak yang menilai tidak ada bukti-bukti kapan
pesantren pertama muncul atau dirikan. Namun, akar dan embrio pesantren seperti
ditulis Abdurrahman Mas’ud, bisa dilacak sejak periode Walisongo.[14]
Pada mulanya sistem (dalam pengertian sederhana) pendidikan masa Walisongo
–yang dapat disebut unsur-unsur pesantren saat itu, adalah Masjid, Asrama dan
Santri serta Kyai.
Di
Minangkabau lembaga pendidikan Islam seperti Pesantren disebut Surau, dan di
Aceh disebut Dayah atau Madrasah, dan Meunasah.[15]
Tempat-tempat itu pada mulanya ada yang berfungsi sebagai tempat berkumpul atau
rapat (surau), sebagai tempat ibadah di setiap kampung (meunasah),
dan sebagai tempat belajar dan shalat berjama’ah (dayah). Dayah dan meunasah
ini dibedakan hanya oleh materi belajar yang disajikan di dayah lebih tinggi.
Kesemuanya mengalami proses Islami.
Lembaga-lembaga
pendidikan tersebut merupakan lembaga-lembaga pendidikan yang vital di
Indonesia. Lembaga seperti inilah yang sangat berarti untuk mengajarkan
nilai-nilai Islam. Melalui lembaga
tersebut Islam mengakar kuat di Nusantara,
sampai akhirnya datang kolonialisme yang
membawa jargon westernisasi, modernisasi, sekaligus kolonialisasi. Di
mana tidak lama implikasi yang nyata dari
“makhluk” berbahaya ini adalah terhapusnya beberapa lembaga pendidikan Islam. Dan
tinggal yang eksis adalah pesantren. Pesantren kuat dan eksis tidak lebih didukung oleh
fungsi pesantren saat itu. Yaitu
di masa sebelum datang kolonialisme pesantren selain sebagai tempat pendidikan
keagamaan, juga menjadi semacam “balai
pendeta”, tempat para Sultan berkonsultas kepada para Wali mengenai urusan
pribadi maupun kenegaraan, sehingga pesantren
memiliki posisi kuat. Sedangkan pada
masa penjajahan kolonial
kondisi pesantren menjadi oposisi utama di mana ia menjadi pilar pergerakan perlawanan umat Islam terhadap penjajah.
Di
pesantren pendidikan diorientasikan pada ikhtiar menguasai ilmu-ilmu agama yang
dipegang kuat, bahkan merupakan ciri khas pesantren, yang akan merubah status
pesantren jika dipelajari pula ilmu pengetahuan umum, yakni bukan lagi
pesantren tradisional.[16]
Arifin
lebih spesifik membagi tujuan pesantren menjadi tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan
umum membimbing anak didik menjadi manusia bekepribadian Islami yang dengan
ilmu agamanya sanggup menjadi muballigh. Tujuan khususnya mempersiap-kan santri
menjadi orang alim agama dan mengamalkannya.[17]
Pada
masa pertumbuhan selain pesantren dan lembaga pendidikan Islam yang di sebut di
atas, ada juga pendidikan Islam yang lebih bersifat non-formal. Pendidikan
seperti ini dapat disebutkan pengajian; dalam rangka haul ulama, halal
bi halal, hari
besar Islam dan sebagainya, ada jam’iyah; seperti
jam’iyah tahlil, yasinan, perzanjain dan sebagainya. Pendidikan yang bersifat non formal ini termasuk pendidikan Islam, yang
di dalamnya terkandung tujuan hampir sama dengan lembaga pendidikan Islam formal, dan tidak memiliki sistem pendidikan
yang jelas.
2. Periodisasi
perkembangan pendidikan Islam
Harun
Nasution membagi periodesasi perkembangan pendidikan Islam menjadi zaman
pembinaan, keemasan, kemunduran dan pembaruan.[18]
Hasan Langulung kemudian merumuskan ciri
khas dalam kaitan dengan
pendidikan Islam pada masa-masa tersebut. Masa pembinaan; masa nabi sampai penghujung kekuasaan Bani Umayyah yang ditandai dengan
konsentrasi pendidikan dalam bidang baca tulis,
komunikasi untuk kepentingan peneguhan dasar-dasar Islam. Masa keemasan
dimulai pada masa pemerintahan Abbasiyah sampai
runtuhnya Bagdad dan
Kordoba yang ditandai dengan
orientasi pendidikan yang memasukkan
ilmu-ilmu akal dan pembinaan sistem sekolah (madrasah). Masa kemunduran
terhitung mulai zaman kekuasaan Turki sampai lepasnya negara-negara Arab dari kekuasaan tersebut, yang ditandai dengan kebekuan
pemikiran islam, kembali mengutamakan
ilmu-ilmu naqli dan masuknya pengaruh-pengaruh Barat. Masa pembaruan terhitung
dari terlepasnya negara-negara Arab dari kekuasaan Turki dan bekelanjutan
hingga sekarang.[19]
C. Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa,
1. Sejarah
pertumbuhan dan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia sebenarnya sama
tuanya dengan pertumbuhan dan perkembangan agama Islam di bumi Nusantara ini.
Sejak Islam masuk ke Indonesia pada abad VII M dan berkembang pesat sejak abad
XIII M dengan munculnya sejumlah kerajaan Islam, pendidikan Islam pun
berkembang mengikuti irama dan dinamika perkembangan Islam tersebut.
Sejak awal
pendidikan telah mendapat prioritas
utama bagi masyarakat Muslim, didorong kepentingan islamisasi yang telah
mengarahkan umat Islam untuk melaksanakan pengajaran Islam sekalipun
dalam sistem sederhana seperti
halaqah yang dilakukan
di tempat-tempat ibadah; masjid,
mushalla bahkan di rumah ulama. Islamisasi tersebut, juga mendorong untuk
mengadopsi dan mentransfer lembaga keagamaan dan sosial yang sudah ada saat itu
ke dalam lembaga pendidikan Islam di Indonesia.
2. Periodisasi
perkembangan pendidikan Islam dapat dikategorikan dalam empat zaman, yaitu
zaman pembinaan, keemasan, kemunduran dan pembaruan.
[1] Mahmud Yunus, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Hidakarya Agung, 1985), hlm. 6
[2] Fazlur Rahman,
Islam dan Modernitas, diterjemahkan
oleh Ahsin Muhammad, (Bandung: Pustaka, 1995), Cet. 2, hlm. 160-164
[3] Antroposentris adalah merupakan
tradisi pemikiran filsafat alam Yunani, di mana asas-asas teologis tidak
mendapat tempat di dalamnya. Antroposentris similar dengan sekuleristik yang
merupakan sama-sama tradisi filsafat Yunani tentang alam. Lihat Muhaimin,
Wacana Pengembangan Pendidikan Islam,
(Surabaya: Pusat Studi
Agama, Politik dan
Masyarakat (PSAPM) bekerjasama dengan Pustaka Pelajar Yogyakarta, 2003),
hlm. 33
[4] Sedangkan teosentris adalah
kebalikan dari antroposentris, yakni asas filsafat yang lebih berorientasi teologis,
dan banyak mewarnai
pemikiran filsafat Islam.
Namun Mastuhu mengatakan, bahwa
konsep pendidikan sekuler yang
bertolak dari antroposentris dan konsep pendidikan Islam yang bertolak
dari teosentris, sesungguhnya konsep antroposentris adalah bagian esensial dari
konsep teosentris. Lihat Mastuhu, Memberdayakan Sistem
Pendidikan Islam, (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 17
[5] Mahmud Yunus,
Sejarah Pendidikan Islam
di Indonesia, (Jakarta:
Mutiara Sumber Widya, 1995), Cet. 4, hlm. 6
[6] Kalangan arkeolog tidak dapat
begitu saja menerima tesis para sejarawan tentang Islam yang telah ada
kontak dengan masyarakat
Indonesia sejak abad
ke-7 M, berdasarkan data arkeologi yang mereka
temukan, menurut mereka Islam masuk ke Indonesia kurang lebih abad ke-13 M.
Baca Hasan Muarif Ambary, Menemukan Perdaban; Jejak Arkeologis dan Historis
Islam di Indonesia, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), hlm. 55
[7] Mengenai masuknya Islam ke
Indonesia, sejak zaman para sejarah, penduduk di bumi Nusantara ini
dikenal sebagai pelayar-pelayar yang
sanggup mengarungi lautan
lepas. Sehingga pada awal
abad Masehi sudah
ada rute-rute pelayaran
dan perdagangan antara kepulauan Nusantara dengan berbagai
daratan Asia Tenggra. Wilayah Barat Nusantara dan sekitar Malaka adalah
penghasil bumi yang menjadi titik perhatian para pedagang dan menjadi jalur
penting Cina dan India. Pedagang Muslim Arab, Persia dan India ada yang samapi
ke pulauan Nusantara untuk berdagang sejak abad ke-7 M (abad 1 H) ketika Islam
pertama kali berkembang di Timur Tengah. Dari hubungan perdagangan dan
pelayaran ini Islam masuk ke Indonesia. Lihat Fatah Syukur NC, Dinamika Madrasah dalam Masyarakat Industri,
(Semarang: al-Qalam Press
Semarang, 2004), hlm. 22-23
[8] Hasbullah, Sejarah
Pendidikan Islam di
Indonesia, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1995),
hlm. ix
[9] Ulama, di Jawa disebut dengan
panggilan Kyai, di Minagkabau disebut dengan Abuya atau Inyik, di Aceh disebut
dengan Tengku. Lihat Haidar Putra Daulay,
Historisitas, dan Eksistensi Pesantren, Sekolah dan Madrasah,
(Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 2001), hlm. 1
[10] Pesantren berasal dari masa
sebelum Islam serta mempunyai kesamaan dengan Budha dalam bentuk asrama. Ia
memberi alasan, karena
sekarang dianggap pasti
bahwa Islam telah masuk ke
wilayah kepulauan di Asia Tenggara jauh lebih dini daripada perkiraan semula,
yaitu sudah sejak pertengahan abad ke-9, tampaknya masuk
akal, bahwa pendidikan agama yang melembaga berabad-abad
berkembang secara paralel.
Pendapat tentang Islam masuk ke wilayah Asia Tenggara sejak pertengahan
abad ke-9 tersebut, didukung data sejarah, sebagaimana dikutip Hasan Muarif
Ambary kapal-kapal dagang Arab sudah mulai berlayar ke wilayah Asia Tenggara
sejak permulaan abad Masehi. Dari literatur-literutur Arab terdapat berita
tentang perjalanan mereka ke Asia Tenggara, meski Ambary meragukan validitas
literatur ini, tapi diakhir tulisannya yang membahas hal tersebut, memberi kata
akhir sebagaimana Junus Djamil tentang kitab Idharul haq, bahwa kitab tersebut berangka
tahun 225 H/840 A.D., yang
memberi petunjuk bahwa telah hadir
kesultanan Islam di Sumatera pada Abad ke-3-5 H/9-11 M. Lihat Hasan
Muarif Ambary, Op.Cit.,
hlm. 55-56
[11] Haidar Putra
Daulay, Historisitas, dan
Eksistensi Pesantren, Sekolah
dan Madrasah, (Yogyakarta:
PT. Tiara Wacana, 2001), hlm. 1
[12] Fatah Syukur NC
bahkan memasukkan sub
dari sub judul
Bab II dengan
tema Pesantren sebagai akar pendidikan Islam di Indonesia. Ia menegaskan
pesantren merupakan lembaga pendidikan
Islam tertua di Indonesia, dan merupakan
akar berdirinya madrasah yang mewarisi
beberapa nilai budaya yang telah
berkembang di pesantren. Fatah
Syukur NC, Op.Cit., hlm. 26 dan 32
[13] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi
Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1994), hlm. 18
[14] Abdurrahman Mas’ud, Intelektual
Pesantren; Perhelatan Agama dan Tradisi, (Yogyakarta: LKiS, 2004), hlm.
77
[15] Keterangan lebih
banyak dan lengkap
tentang lembaga-lembaga tersebut
dapat dilihat dalam Imam Bawani, Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam,
(Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), hlm. 88
[16] Hasbullah, Op.Cit.,
hlm. 23
[17] M. Arifin, Kapita Selekta
Pendidikan Islam dan Umum, (Jakarta: Bina Aksara, 1991), hlm. 248
[18] Harun Nasution,
Pembaharuan dalam Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang,
1992), hlm. 8
[19] Hasan Langgulung, Manusia
dan Pendidikan; Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, (Jakarta: PT. Al
Husna Zikra, 1995), hlm. 10-11
No comments:
Post a Comment