Puasa Ramadhan diwajibkan bagi tiap mukmin yang aqil (yang sudah dapat membedakan sendiri antara yang baik dan buruk), Baligh (sudah dewasa dan qadir dan sehat jasmani).[1] Wajib dijalankan selama hayat dikandung badan, dimanapun juga. Apabila seseorang atau sekelompok orang benar-benar tidak mampu atau susah sekali untuk menjalankannya, baru terbuka kelonggaran adalah mereka yang puasa itu menyiksa baginya. Kalau diperinci orang-orang yang diberi kelonggaran adalah sebagai berikut:[2]
a. Orang sakit dan orang yang dalam perjalanan. Golongan ini dibebaskan dari kewajiban berpuasa selama sakit atau selama musafir. Akan tetapi, mereka diwajibkan mengganti puasa sebanyak hari yang ditinggalkannya pada hari-hari lain.
b. Perempuan dalam haid (menstruasi), perempuan hamil dan perempuan yang menyusui anak. Tapi mereka harus meng-qadha di hari lain yang mereka tiada berpuasa atau mereka membayar fidyah, bagi kedua golongan yang terakhir ini.
c. Orang tua yang sudah lanjut umur tiada kuasa lagi berpuasa.
d. Orang sakit yang tidak ada harapan lagi sembuh dari sakitnya.
e. Mereka yang bekerja berat dan karena berat kerjanya itu tidak kuasa puasa, seperti pekerja-pekerja tambang, abang-abang becak, buruh-buruh kasar di pabrik-pabrik dan di pelabuhan-pelabuhan dan sebagainya.
Jadi, bukan keinginan yang Allah tetapi keadaan yang benar-benar tidak memungkinkan kita. Apabila terhalang mengerjakan puasa boleh tidak berpuasa di bulan itu, untuk mengerjakannya sesudah halangan itu lenyap. Atau mengganti hari-hari terlarang berpuasa di bulan tersebut dengan hari-hari lain. Tetapi kalau halangan itu terus menerus sehingga betul-betul tidak mampu mengganti hari-hari tidak berpuasa itu dengan hari-hari lain, bolehlah ia mengganti tiap hari wajib puasa dengan memberi sedekah makanan kepada orang miskin tiap-tiap hari sebanyak ¾ liter beras atau dengan uang yang seharga dengan beras itu (fidyah).
Puasa itu wajib tetapi Islam tidaklah memberatkan dan menyiksakan penganutnya, tapi untuk menunjukkan jalan baginya, di dunia dan di akhirat. Apabila suatu kewajiban yang dibebankan Islam benar-benar tidak terpikat (sehingga benar-benar bersifat menyiksa) dengan sendirinya datang kelonggaran. Disebutlah firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 286,
لا يكلّف الله نفسا إلا وسعها
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
Pada ayat terakhir surat al-Baqarah, ialah lanjutan dan gambaran orang yang beriman bersama Rasul itu. Dan mengandung pula sambutan Tuhan atas permohonan ampun mereka jika terdapat kekurangan pada amal mereka. Allah berfirman: memang tidaklah ada suatu perintah dan didatangkan oleh Tuhan yang tidak akan terpikul oleh tiap-tiap diri.
Tidak ada perintah yang berat, apalagi kalau iman telah ada. Seumpama perintah sembahyang tidak sanggup berdiri, boleh duduk atau tidak sanggup duduk, boleh tidur. Tidak ada air bolehlah tayamun. Puasa di dalam musafir dan sakit, boleh diganti di hari yang lain.[3] Dengan demikian, puasa itu untuk melindungi mukmin bukan untuk menyiksanya. Karena itu anak juga belum diwajibkannya puasa, namun demikian ia sudah dibiasakan sebagai persiapan dan latihan supaya ketika dia sudah menginjak usia aqil baligh nantinya puasa sudah menjadi kebiasaannya.
[1] Sidi Gazalba, Asas-Asas Agama Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hlm. 149.
[2] Nazaruddin Razak, Dienul Islam, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1993, hlm. 262.
[3] Hamka, Tafsir al-Azhar, PT. Pustaka Pandji Mas, Jakarta, 1984, Juz III, hlm. 92.
No comments:
Post a Comment