Salah satu jiwa keberagamaan yang telah lama dikembangkan umat Islam pada periode awal (Nabi dan Sahabatnya) adalah sikap keberagamaan yang intrinsik. Artinya aktualisasi ajaran agama tidak hanya bersifat formalitas belaka, tetapi juga mampu menyentuh substansi daripada suatu ibadah, misalnya kaitanya aspek sosiologis.[1] Seperti yang diutarakan Syeikh Ali Ahmad al-Jurjawi, bahwa puasa adalah cara mengingatkan orang kaya kepada penderitaan seperti yang dialami fakir miskin sehingga setelah melaksanakan puasa diharap orang kaya tersebut nantinya akan mampu mengasihi dan menyayangi, yakni dengan cara ditempatkan dalam kesempitan. Dengan tujuan orang terebut bisa sekaligus ikut merasakannya. Hal itu bisa menjadi pelajaran bagi orang kaya untuk lebih mengetahui perasaan orang lapar maka orang tersebut harus ikut berlapar-lapar.[2]
Kemudian apabila ada seorang kaya yang berkecukupan dalam hal harta benda, namun terlena dalam kekayaannya diharapkan bisa tergugah keinginannya untuk mau ikut merasakan dan sekaligus dapat menyadari betapa pahit getirnya rasa lapar dan dahaga seperti yang dialami fakir miskin yang tidak mendapatkan bahan makanan padahal sekedar menyambung hidupnya.[3]
Puasa yang pada hakekatnya bukanlah sekedar menahan lapar dan dahaga. Puasa bukan pula sekedar menggugurkan kewajiban. Padahal di dalam puasa pandangan secara sosial itu ternyata mempunyai nilai sosial yang lebih efektif dibanding yang diperoleh dari salat. Di mana pada salat orang kaya dan miskin, besar maupun kecil bisa ditempatkan di dalam satu lingkungan pemukiman yang sama, dapat berkumpul lima kali sehari dalam satu masjid dengan persamaan yang sempurna dan dengan cara itu hubungan sosial yang sehat dapat terbina.
Tetapi hal yang perlu dicatat pada waktu puasa adalah adanya gerak dan masa yang tidak hanya terbatas pada persamaan lingkungan atau bahkan pada satu masjid saja, tetapi melingkupi seluruh dunia. Di mana orang kaya dan miskin pada bulan tersebut bisa berdiri berjajar bersentuh pundak dalam satu barisan, dalam satu masjid padahal pada hari-hari biasa dari masing-masing pribadi mereka hidup dalam lingkungannya yang berbeda. Karakter, kebiasaan dan sebagainya. Hal itu bisa dilihat dari kebiasaan kecil diantaranya adalah bagaimana dalam makan saja orang kaya bisa saja selalu duduk di depan meja yang dipenuhi dengan berbagai makanan serba enak dan mewah, sehingga mereka bisa saja menyantap empat bahkan enam kali dalam sehari, sedangkan orang miskin tidak dapat memperoleh makanan padahal sekedar untuk menghilangkan rasa laparnya meskipun hanya dua kali sehari.
Uraian tersebut dapat menjadi renungan bahwa orang miskin seringkali merasakan pedihnya lapar, sedangkan orang kaya hanya merasa heran mengapa mereka bisa kelaparan. Memang secara logika saja bagaimana orang dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain dan dapat bersimpati kepadanya kalau dia belum merasakan sendiri seperti apa yang dialami orang lain tersebut. Halangan yang terdapat diantara kedua kelas tersebut terlalu besar dan halangan tersebut hanya dapat dihilangkan atau minimal dikurangi apabila orang yang kaya dapat ikut merasakan pedihnya lapar, seperti saudara-saudara mereka yang miskin yang tidak dapat makan padahal untuk sehari sekali saja.
Penggunaan cara tersebut diharapkan orang kaya dan miskin yang beriman diseluruh dunia mampu dibawa kepada tingkatan yang sama yaitu mereka hanya diperbolehkan makan duakali meskipun jenis makanannya tidak sama, tetapi dengan kesadarannya orang kaya dapat menyederhanakan menunya, sebab dengan jalan itu akan menjadikan ia lebih dekat kepada saudara-saudara yang miskin. Sehingga dengan jalan tersebut seorang kaya yang selalu berkecukupan akan dapat merasakan dan menyadari bahwa betapa pahitnya dan getirnya rasa lapar, dahaga seperti yang dialami fakir miskin. Sehingga dari hal itu dapat menjadi pendorong ia untuk mau memberikan bantuan dengan penuh keikhlasan kepada fakir miskin yang memang butuh bantuan.
Maka puasa ditinjau dari aspek sosiologis adalah salah satu bentuk persamaan ibadah pada waktu tertentu, dan hal itu tidak memandang apakah yang melakukan itu orang kaya maupun orang miskin. Di mana justru yang terjadi bahwa pada bulan tersebut bisa menjadi ajang yang paling bagus bagi orang kaya yang mempunyai kesadaran yang tinggi untuk dapat berlatih berjiwa sosial dengan jalan lebih banyak beramal pada bulan tersebut dibanding dengan bulan-bulan yang lain. Dengan memberi bentuan pada fakir miskin yang memang membutuhkkan uluran tangan (bantuan) dari orang yang bercukupan.
[1] Syeikh Ali Ahmad Al-Jurjawi, Hikmah Al-Tasyri Wa Falsafatuhu, terj Hadi Mulyo & Shobahussurur, CV Asyifa Semarang, 1992, Jilid I, hlm.191
[2] Ibid., hlm.191
[3] Ibid., hlm.188
No comments:
Post a Comment