Para ulama Sufi berpandangan bahwa puasa adalah cara untuk menahan diri dari nafsu jasmani dan memutuskan hasrat-hasrat duniawi yang muncul dari pengaruh bisikan-bisikan syetan dan kawan-kawannya yang ditempatkan pada diri manusia.[1]
Untuk mensikapi bisikan syetan itulah, Allah mengaruniakan hati kepada manusia. Hati adalah termasuk bala bantuan dari Allah, tetapi penganugrahan hati tersebut bisa saja malah bergabung dengan barisan syetan yang nantinya hanya akan membawa manusia menuju ke jurang kenistaan dan kehancuran. Disebabkan sifat dasar manusia yang sebetulnya mudah dikuasai oleh pasukan-pasukan laknat yang cenderung mengumbar marah dan nafsu kalau tidak dikendalikan.[2] Disinilah perlunya penaklukan badan kepada jiwa.
Untuk menaklukan badan kepada jiwa, adalah perlu adanya cara yaitu dengan jalan melemahkan kekuatan badan demi meningkatkan kekuatan jiwa, dan hal itu telah dibuktikan dari berbagai penelitian para ahli. Hasilnya bahwa tiada sesuatu yang semanjur ini seperti lapar dan haus, pembuangan kemauan-kemauan hawa nafsu dan mengontrol lidah, hati (fikiran) dan anggota-anggota lain, selain dengan jalan berpuasa.[3] Dengan demikian, puasa di sini memiliki fungsi untuk menghidupkan jiwa atau hati.
Syeikh Abdul Qadir al-Jailani dalam karya monumentalnya Sirr al-Asrar menyatakan bahwa bila seseorang berpuasa hendaknya mampu mengharmonikan kondisi lahir dan batinnya, seperti perutnya yang dikosongkan dari makan dan minum. Jadi harus ada keseimbangan antara puasa dari sisi syari’at, dan puasa dari sisi ruhani.[4]
Menurut Syeikh Ghulam Mu’inuddin, Puasa yang paling baik, yaitu puasa dalam dimensi pikiran. Dengan kata lain, orang-orang puasa tidak memikirkan apa pun kecuali Allah. Mereka telah dapat mempertimbangkan kehidupannya di dunia ini hanya sebagai bekal kebahagiaan dalam kehidupan selanjutnya.[5]
Puasa yang dikerjakan juga meliputi pengendalian penglihatan dari segala pandangan yang mengarah pada kejelekan dan menjauhkan diri dari percakapan yang tidak bermanfaat seperti, berkata dusta, mefitnah, bicara tidak senonoh dan tindakan-tindakan yang berpura-pura. Singkatnya, orang-orang yang berpuasa seperti itu harus berupaya untuk berdiam diri, dan apabila mereka berkata-kata harus yang baik-baik sehingga jalan untuk mengingat kepada Allah semata akan lebih mudah.[6]
Puasa semacam ini memang sangat sulit dilakukan dan hanya orang-orang yang sudah bisa memahami ibadah bukan sebagai perintah (Syariah) tetapi sudah pada taraf memahami ibadah secara hakikat, yang bisa melakukan puasa semacam ini. Dimana aturannya selama berpuasa orang tidak boleh mendengar perkatan yang terlarang yang berasal dari orang lain, dengan cara berusaha menjauhi pertemuan dengan orang yang susah melanggar larangan tersebut. Sedang pada sisi fisik sewaktu berbuka, hanya boleh makan dan minum sedikit mungkin hanya sekedar untuk menghilangkan rasa lapar dan dahaga.[7]
Manusia yang benar-benar bisa melakukan puasa ini hanya orang-orang tertentu yang telah mempunyai nilai ketaqwan kuat dalam hati dan tingkah laku di mana dalam fikirannya yang ada hanya Allah semata tidak ada yang lain. Tetapi yang demikian itu puasa yang dimaksud oleh ajaran agama. Karena dengan jalan berpuasa yang demikian seseorang akan mampu merasakan dengan sebenar-benarnya manfaat dari pelaksanaan puasa.
[1] Imam Jafar Ashidiqi, Lentera Ilahi, Mizan, Bandung, 1992, hlm. 138
[2] Ibid., hlm. 138
[3] Muhammad Hamidulah, Pengantar Study Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1997, hlm. 100
[4] Syekh Abdul Qadir Jailani, Rahasia Sufi, Penerjemah Abdul Majid Hj. Khatib, Pustaka Hidayah, Bandung, cet. II., 2002, hal. 191
[5] Syeikh Ghulam Moinuddin, Penyembuhan Cara Sufi, Bentang, Yogyakarta, Nov 2000, hlm.148-149
[6] Ibid., hlm. 148
[7] Ibid., hlm. 149
No comments:
Post a Comment