Waktu-waktu shalat menurut Ibn Arabī terbagi atas waktu-waktu tertentu dan tidak tertentu. Waktu shalat yang tidak tertentu adalah waktu ketika orang lupa menjadi ingat dan orang tidur menjadi terbangun. Orang yang shalat (muṣallī) adalah orang kedua dari yang pertama dalam arena pacuan dan shalat adalah yang kedua dalam urutan yaitu setelah syahadat tauhid.
Bagi seorang ārif, yang konsisten di dalam shalatnya dan di dalam bermunajat kepada Tuhannya, yang teguh dalam gerakan maupun diamnya, baginya tak ada waktu tertentu maupun tidak tertentu. Akan tetapi, ia adalah penguasa waktu. Jika seseorang belum mencapai puncak penyaksian seperti ini, maka ia termasuk kelompok yang disebutkan Tuhannya, yakni orang-orang yang tidak hadir bersama-Nya.[1]
1. Waktu Shalat Ẓuhur.
Menurut Ibn Arabī, shalat diwajibkan pada waktu tertentu, ada yang luas waktunya, ada yang sempit, sehingga harus dikatakan mawqūtan (ditentukan waktunya). Oleh karena itu, orang yang mengerjakan shalat farḍu di luar waktu yang telah ditentukan baginya dan ia dalam keadaan ingat, bukan pula orang yang lupa, maka ia dapat mengqadā’ untuk selama-lamanya dan tanggungannya tidak terbebaskan. Ia tidak menunaikan shalat yang disyari’atkan, karena waktu merupakan syarat sahnya shalat.
Ibn Arabī menganjurkan memperbanyak shalat-shalat sunnah setelah bertaubat dan tidak ada qadā’ baginya, karena telah keluar dari waktu yang merupakan syarat sahnya. Waktu bagi orang yang lupa atau tidur adalah ketika ia ingat atau setelah bangun dari tidurnya. Ia harus menunaikannya dan hal itu tidak dinamakan qadā’ dalam pengertian yang diberikan para fuqahā,[2] bukan pengertian yang diberikan ahli bahasa, karena orang yang mengqadā’ dan yang menunaikan pada waktunya tidak berbeda menurut bahasa. Setiap orang yang menunaikan shalat, berarti telah menyelesaikan (atau mengqadā’) apa yang ditetapkan baginya. Dengan menunaikannya, ia telah memenuhi apa yang telah ditentukan baginya agar ditunaikan dari Allah SWT.[3]
Menurut Ibn Arabī, waktu shalat Ẓuhur adalah saat matahari tepat berada di atas (istiwā’).[4] Keadaan ini adalah posisi di mana seorang hamba berdiri ditempat memandang tanpa memperdulikan apa yang dikerjakannya yaitu dengan suatu niat apapun untuk maksud ibadah. Maka dalam keadaan istiwā’ ini, ia tidak memiliki pilihan. Ketika matahari telah tergelincir, barulah ia dapat menentukan pilihan. Saat zawāl, merupakan saat baginya untuk menyembah-Nya sebagai hak Tuhan atas hamba-Nya, karena nikmat-nikmat yang telah diberikan-Nya kepada hamba ini, dari saat terbit hingga saat tengah hari itu. Hamba menyembah-Nya sebagai rasa syukur atas kenikmatan ini.
Apabila hamba memandang hilangnya kenikmatan tersebut dengan pandangan perpisahan, karena mengharap keterbenaman dari-Nya dan diturunkan tabir antara Dia dan hamba-Nya, maka ia akan menyembah-Nya dengan rasa hina, faqīr, hancur dan mengharapkan penyaksian. Hamba itu akan senantiasa mengawasinya, sehingga terbenam dan dari terbenamnya itu, ia mengawasi pengaruh-pengaruhnya dengan shalat Maghrib dan shalat sunnah sesudahnya hingga hilangnya Mega Merah.
Kemudian, ia kehilangan bekas-bekasnya dan berada dalam kegelapan malam sambil memohon, menangis dan merendahkan diri. Ia memperhatikan bintang-bintang malam yang mendapat cahaya dari cahaya matahari. Ia memohon dan merendahkan diri hingga terbit fajar, sehingga ia melihat kedatangan dan keterkabulan do’anya. Selanjutnya, ia beribadah lagi kepada-Nya sebagai rasa sukur atas hal tersebut, sementara ia menyaksikan tanda-tanda keterkabulan sehingga ia menunaikan shalat farḍu Subuh dan senantiasa merasa diawasi dengan berẓikr hingga terbit matahari.[5]
Apabila cahaya matahari telah memutih dan hilanglah perubahan yang menghalangi pandangan dari terangnya siang yang berasal dari tabir-tabir uap bumi (nafas alam), berdirilah hamba dengan penuh kehormatan di atas pijakan syukur hingga batas istiwā’. Ia senantiasa berada dalam ibadah kebahagiaan dan syukur hingga matahari tergelincir. Lalu, ia kembali ke ibadah kesabaran dan kefaqiran, serta menyaksikan perpisahan selama ia masih hidup.
Jadi, ia selalu berada di antara dua ibadah. Hal itu karena, ketika ia mendengar Rasulullah bersabda: “Kalian akan melihat Tuhan kalian sebagaimana kalian melihat matahari”,[6] maka pemahaman itu dalam arti ibadah, dalam shalat-shalatnya yang farḍu, maupun yang sunnah, dalam keadaan syukur dan kefakiran, antara kenikmatan dan cobaan, serta kesusahan dan kemudahan. Sesungguhnya, seorang mukmin adalah orang yang rasa takut dan harapnya seimbang.[7]
Ia menyeru Tuhannya dengan penuh rasa takut dari batas tergelincirnya matahari hingga terbenamnya Mega Merah dan dengan penuh harapan pada sisa malamnya hingga terbit fajar, sampai terbit matahari, hingga batas istiwā’ – berharap agar tidak ada tabir lagi setelah itu. Demikianlah ibadah kaum ārif.
Dalam kacamata Ibn Arabī, sesungguhnya dalam sehari semalam ada 24 jam, yaitu 4/4. Setiap 1/4 adalah 6 jam. Dari terbitnya matahari hingga Ẓuhur adalah 1/4 hari, yaitu 6 jam dan bukan waktu untuk melaksanakan shalat farḍu berdasarkan hukum ta’yīn. Menurut Ibn Arabī, adanya hukum ta’yīn, karenaadanya kasus orang yang lupa dan tertidur, karena waktu yang ditentukan itu tidak berlaku baginya. Waktu shalat yang ditentukan bagi orang yang lupa adalah ketika ia ingat dan bagi orang yang tertidur adalah setelah ia bangun, baik pada waktu itu (dari terbit matahari hingga menjelang Ẓuhur) maupun pada waktu yang lain.[8]
Demikian pula, manusia dibagi ke dalam 4/4 bagian. 3/4 bagian di antaranya beribadah kepada Allah dengan amalan-amalan yang khusus, seperti ¾ dalam hari. 4/4 manusia adalah lahir, batin (hati), latīfah (rūh) yang diajak bicara, dan tabiatnya. Lahiriah, hati dan ruhnya tidak terpisah sama sekali dari suatu ibadah pun yang berkaitan dengannya. Oleh karena itu, ada yang taat dan ada yang durhaka. 1/4 lainnya adalah tabiatnya, yaitu seperti waktu dari terbit matahari hingga zawāl dalam hari. Dengan tabiatnya, ia melakukan perbuatan mubāḥ. Hal itu tidak berdosa baginya. Namun, jika ia bergabung dengan 3/4 yang lain dalam ibadah, maka ia mengerjakan perbuatan yang mubāḥ baginya sebagai perbuatan mubāḥ yang berdasarkan syari’at dan hadir bersama keimanan kepadanya, seperti orang yang shalat pada waktu antara terbit matahari hingga awal zawāl, yaitu istiwā’. Tidak ada larangan baginya untuk melakukan hal tersebut, karena waktu tersebut bukan waktu diwajibkannya shalat lima waktu.[9]
Adapun berkenaan dengan waktu yang disukai, semua sepakat adalah awal waktu. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat dalam beberapa hal. Demikian pula hamba berusaha dalam beribadah kepada Tuhannya karena keberawalan Tuhannya, bukan karena keberawalan esensinya, karena keberawalan esensinya berasal dari banyak keberawalan sebelumnya. Maksudnya, berasal dari banyak sebab. Allah adalah sebab pertama, yang tidak ada sebab bagi keberawalannya.
Apabila sang ārif menyembah-Nya dalam keberawalan tersebut yang disucikan dari didahului oleh suatu keberawalan, maka peribadatan sang ārif ini beralih menjadi peribadatan kepada setiap makhluk yang diciptakan Allah dari makhluk pertama hingga waktu keberadaan-Nya, yaitu keberawalan yang berpengaruh terhadap penciptaan segala makhluk.
Ia telah menyembahnya pada waktu yang disukai, baik menyembah-Nya dengan sifat khusus dan dari organ-organ yang diberi taklīf, seperti shalat sendirian (munfarid), atau menyembahnya dengan seluruh organnya seperti shalat berjama’ah atau pada waktu bebas yaitu dalam ketakutan yang sangat besar, mujāhadah, intensitas kerinduan, akstase (wajd), akstase berlebihan (walah) dan cintanya atau dalam keadaan pengetahuan, keyakinan dan ketenangannya dalam keadaan apapun. Keberawalan lebih utama baginya. Dia juga memuji orang yang memiliki keadaan seperti ini.
Dengan demikian, semacam ini termasuk kelompok yang menggabungkan kedua ibadah itu (ahl al-jam’i). Jika manusia mencari jalan menuju Allah melalui sesuatu yang disyari’atkan-Nya, maka al-Ḥaqq yang membuat syari’at menjadi tujuannya. Jika manusia mencarinya melalui kejernihan yang diberikan jiwanya dan bergabung dengan dunianya yaitu membebaskan diri dari hukum alam terhadapnya, maka tujuannya adalah bergabung dengan alam rūḥānī semata. Dari sana, muncullah syari’at-syari’at ruh yang ia jalani hingga al-Ḥaqq menjadi tujuannya. Hal ini, apabila Allah memberinya kelonggoran dalam ajal. Namun, jika ia mati, maka ia tidak akan mencapai hal tersebut selamanya.
2. Waktu Shalat Aṣar.
Para Ulama syari’at berbeda pendapat tentang awal waktu shalat Aṣar, tentang akhir waktu Ẓuhur dan akhir waktu shalat Aṣar. Sebagian dari mereka berpendapat, bahwa awal waktu Aṣar adalah juga akhir waktu Ẓuhur yaitu ketika panjang bayangan suatu benda sama dengan tinggi benda tersebut.[10]
Dalam hal inipun mereka berbeda pendapat. Ada yang berpendapat bahwa waktu tersebut adalah waktu gabungan untuk dua shalat dan kadarnya adalah lama waktu yang dibutuhkan untuk shalat empat rekaat bagi yang muqīm dan shalat dua rekaat bagi yang qaṣr. Sebagian lain berpendapat, bahwa, akhir waktu Ẓuhur adalah awal waktu Aṣar, yaitu waktu yang tidak terbagi dalam masalah ini dan juga masalah-masalah lain yang serupa.[11] Namun, Allah menjadikan perbedaan ini sebagai rahmat bagi hamba-hamba-Nya dan keleluasaan terhadap apa yang diwajibkan atas mereka, yaitu peribadatan kepada-Nya.
Tentang akhir waktu Aṣar, ada yang berpendapat bahwa akhir waktunya adalah ketika panjang bayangan suatu benda dua kali tinggi benda tersebut.[12] Sebagian berpendapat, bahwa, akhir waktu Aṣar adalah menjelang munculnya Mega Kuning.[13] Sebagian lain berpendapat bahwa akhir waktu ashar adalah menjelang matahari terbenam sekadar waktu yang diperlukan untuk menunaikan satu rekaat.[14]
3. Waktu Shalat Maghrib.
Waktu shalat Maghrib adalah panjang, yaitu di antara terbenamnya matahari hingga hilangnya Mega Merah (syafaq ahmar). Pendapat inilah yang Ibn Arabī pilih. Perlu di ketahui, bahwa, perbedaan pendapat ini terjadi karena shalat Maghrib adalah ganjil (witr) dan bilangan ganjil merupakan satuan asal, sehingga sebaiknya Maghrib memiliki satu waktu karena kesesuaiannya dengan keganjilan.
Oleh Karena itu, hadith tentang Jibril yang mengimami Rasulullah saw. disebutkan bahwa ia menunaikan shalat Maghrib dalam dua hari pada waktu yang sama pada awal difarḍukannya shalat. Hal ini karena, Malaikat itu lebih dekat dengan keganjilan dari pada manusia. Shalat Maghrib adalah witirnya shalat siang, sebagaimana diberitakan Rasulullah saw. Hal itu terjadi sebelum Allah menambahkan witir shalat malam untuk kita. Rasul bersabda: “Allah telah menambahkan untuk kalian satu shalat pada shalat-shalat kalian”.[15] Kemudian beliau menyebut salat witir dan melanjutkan: “Oleh karena itu, lakukanlah shalat witir wahai ahli al-Qur’an!”. Beliau menyamakan shalat yang satu ini dengan shalat-shalat farḍu dan memerintahkannya. Beliau menjadikannya kewajiban yang bukan farḍu dan di atas sunnah, serta berdosa bagi orang yang meninggalkannya.[16]
Selanjutrnya, Nabi bersabda: “Allah adalah Ganjil dan menyukai yang ganjil”.[17] Maghrib diikat dengan keganjilan atau witir shalat siang, sedangkan witir diikat dengan kegajilan shalat malam. Artinya, Dia menyukai witir bagi diri-Nya, sehingga Dia mensyari’atkan dua witir untuk kita agar menjadi genap, karena keganjilan bagi makhluk adalah mustahil, sehingga ke-Esaan hanya pantas dimiliki oleh Allah.
Ibn Arabī ingin membebaskan Allah dari adanya keganjilan selain diri-Nya. Dengan dasar ayat tersebut sepertinya ia ingin betul-betul memurnikan Allah dari sifat-sifat makhluk-Nya yang salah satunya adalah keberpasangan sebagaimana malam selalu berpasangan dengan siang dan lain-lain.
Ketika Rasulullah mengetahui bahwa, Allah telah mensyari’atkan shalat witir, agar shalat witir siang menjadi genap, agar supaya Allah saja yang memiliki hakikat keganjilan serta yang tidak menerima kegenapan, pada saat yang sama, tidak ada Tuhan lain yang menggenapkan keganjilan al-Ḥaqq sebagaimana keganjilan shalat malam menggenapi keganjilan shalat siang. Dengan demikian, Dia menciptakan dua witir, sehingga masing-masing menggenapkan keganjilan pemiliknya. Oleh karena itu, Rasulullah tidak menggabungkanya dalam shalat sunnah (nāfilah).
4. Waktu Shalat Ishā’.
Menurut Ibn ‘Arabī, dalam hal awal dan akhir waktu Ishā’, hendaklah diketahui bahwa, al-Ḥaqq telah membagi alam ini ke dalam tiga tingkatan dan al-Ḥaqq juga telah membagi waktu-waktu shalat ke dalam tiga tingkatan. Dia telah menjadikan alam nyata, yaitu alam indera dan penampakan dalam posisi shalat siang. Kemudian, manusia bermunajat kepada al-Ḥaqq, karena apa yang diberikan alam nyata dan indera berupa penunjukan kepada-Nya dan nama-nama yang dilihatnya. Rasulullah bersabda: “Dalam hal seperti ini, Allah berfirman melalui lisan hamba-Nya, “Sami’allāhu li Man Ḥamidah” (Allah mendengar orang yang memuji-Nya)”. Hal ini terjadi di dalam shalat.[18]
Dia telah menjadikan alam gaib (alam akal), yakni dalam posisi shalat Ishā’ dan shalat malam sejak hilangnya shafq hingga terbitnya fajr. Orang yang shalat, bermunajat kepada Tuhan-Nya dalam shalat tersebut, karena apa yang diberikan alam gaib, akal dan pikiran berupa penunjukan dan burhān kepada-Nya, yaitu penunjukan khusus kepada ma’rifat khusus yang diketahui oleh ahli malam (shalat para pencinta), serta para pemilik rahasia-rahasia dan seluk beluk pengetahuan yaitu orang-orang yang dikelilingi ta’bīr.
Dia memberikan kepada mereka pengetahuan sesuai dengan waktu ini dan di alam ini, yaitu waktu mi’rāj para Nabi, para Rasul dan ruh-ruh manusia untuk melihat tanda-tanda ideal Ilahī dan kedekatan rūhanī. Itulah waktu al-Ḥaqq turun dari maqām istiwā’ ke langit yang lebih dekat kepada kita orang-orang yang berisitghfār, bertaubat, memohon, dan berdo’a.[19]
Allah telah menciptakan alam imajinasi (takhayyul) dan barzakh yaitu turunnya makna-makna dalam bentuk yang terindera. Alam ini bukan dari alam gaib, karena diselubungi dengan bentuk-bentuk yang terindera dan bukan pula dari alam nyata, karena berupa makna-makna yang murni (luput dari materi). Kemunculannya dengan bentuk-bentuk tersebut, merupakan aksiden yang tampak kepada orang yang mengenalnya, tidak pada makna itu sendiri, seperti pengetahuan agama dalam bentuk ikatan dan keimanan dalam bentuk pegangan.
Di antara waktu-waktu shalat, ini adalah waktu antara shalat Maghrīb dan subuḥ. Keduanya, merupakan waktu yang bukan malam dan bukan pula siang. Kedua waktu itu, merupakan pemisah di antara siang dan malam dan kedua tepinya, karena, waktu malam dan siang merupakan sebuah siklus. Barangsiapa menutupkan surban, ia menyembunyikan salah satu ujungnya dan menampakkan ujung yang lain. Demikian pula siang menutup malam.
Orang yang shalat bermunajat pada waktu ini, karena apa yang diberikan alam berzakh berupa petunjuk-petunjuk menuju Allah dalam bentuk manifestasi-manifestasi, keberagaman dan perubahan bentuk-bentuk sebagaimana disebutkan dalam hadith saḥīḥ. Namun, transisi (barzakhiyyah) dalam shalat Maghrīb adalah keluarnya hamba dari alam nyata ke alam gaib.
Demikian pula barzakh fajar, yaitu keluarnya alam gaib menuju alam nyata dan indera, pasti melewati barzakh imajinasi, yaitu waktu shalat Subuḥ dari terbit fajar hingga terbit matahari. Ia bukan bagian dari alam gaib dan bukan pula bagian dari alam nyata. Sebagai contoh bentuk rumah di dalam akal merupakan bentuk lembut yang rasional.
Apabila imajinasi memandangnya, maka dengan kekuatannya, ia memberinya bentuk, memisahkan, dan mengkasarkan dari kelembutannya di dalam akal. Kemudian, dalam membangunnya, organ-organ digunakan dengan mengumpulkan batu bata, tanah, kapur, dan segala sesuatu yang dibayangkan arsitek. Lalu, ia menempatkannya dalam indera dalam bentuk kasar karena imajinasinya, padahal sebelumnya berbentuk lembut yang terbentuk dalam bentuk apapun yang dikehendaki.[20]
Malam adalah 3 x 1/3, dan manusia adalah 3 alam yaitu alam indera, yaitu 1/3 pertama; alam khayal, yaitu 1/3 kedua; dan alam makna, yaitu 1/3 yang terakhir dari malam kejadiannya. Pada malam itulah al-Ḥaqq turun. Itulah makna firman-Nya: “Hati hamba-Ku cukup untuk memuat-Ku”[21] dan sabda Nabi: “Allah tidak memandang bentuk lahiriah kalian – yaitu 1/3 pertama – dan tidak pula memandang perbuatan kalian – yaitu 1/3 kedua – tetapi Dia memandang hati kalian – yaitu 1/3 terakhir”.[22]
Allah mengeneralisir sepenuh malam. Oleh karena itu, barangsiapa berpendapat bahwa akhir waktu Ishā’ adalah 1/3 pertama, maka ia berpendapat dengan memandang 1/3 indera; dan barangsiapa berpendapat bahwa akhir waktunya adalah hingga terbit fajar, maka ia berpendapat dengan memandang alam makna pada manusia.[23]
5. Waktu Shalat Subuh.
Menurut Ibn Arabī, hendaklah diketahui bahwa, barangsiapa memahami dengan baik sabda Rasulullah dan firman Allah tentang melihat Allah, maka hal itu berpangkal pada ilmu dan akal, bukan pada penglihatan. Itulah yang dikatakan kelompok orang-orang berakal dan ahli nalar dari kalangan ahli sunnah.
Barangsiapa memahami apa yang terkandung di dalam syari’at tentang melihat Allah, bahwa hal itu adalah dengan penglihatan, bahwa hal itu bukan aib bagi Allah dan bahwa arah tidak membatasi penglihatan tersebut, tetapi membatasi organ badan, maka ia dalam posisi orang yang memandang isfār (sebagai waktu yang utama). Untuk shalat subuh, di mana tersisa waktu sekadar cukup untuk satu rekaat dari terbitnya matahari atau ia bersalam pada saat matahari mulai bersinar.[24]
[1] Ibn Arabī, Al-Futūḥāt.., Jilid 2, hlm.19.
[2] Seluruh ulama fiqh sepakat akan wajibnya menqadā shalat yang terlewatkan. Bahkan, al-Shāfi‟ī mewajibkan seseorang segera melaksanakan shalat yang sudah terlewatkan dari waktunya segera setelah ia ingat. Lihat dalam Abī al-Ḥasan Alī bin Muḥammad bin Ḥabīb al-Māwardī al-Baṣrī, Al-Ḥawī al-Kabīr, Jilid 2, (Beirut: Dār al-Kutub al-ilmiyyah, 1994), hlm. 276.
[3] Ibn Arabī, Al-Futūḥāt.., Jilid 2, hlm. 20.
[4] Pendapat ini justru bertentangan dengan fuqahā yang mengkategorikan waktu tersebut sebagai salah satu di antara lima waktu yang dimakrūhtaḥrīmkan, berdasarkan hadith dalam Al-Baihaqī, Al-Sunan al-Kubrā li al-Baihaqī, Jilid 2, (Maktabah Syamilah), hlm. 454.
[5] Ibn Arabī, Al-Futūḥāt.., Jilid 2, hlm. 20-21.
[6] Penulis agaknya menyangsikan hadith yang disebut Ibn Arabī di atas, karena setelah penulis telusuri ada sedikit perbedaan redaksi antara yang ditulisnya dengan redaksi yang terdapat dalam kitab-kitab hadith yang ada. Dalam kitab-kitab hadith yang ada, disebutkan bahwa, orang-orang Islam kelak akan melihat Dzat Allah seperti bulan purnama, bukan seperti matahari sebagaimana yang Ibn Arabī sampaikan, sebagaimana yang terdapat dalam Al-Baghawī, Sharḥal-Sunnah, Jilid 1, (CD. Maktabah Syamilah), hlm. 288.
[7] Ibn Arabī kali Ini nampaknya sependapat dengan konsep tasawuf akhlāqī yang menjadi konsensus umum dalam kelompok ini, bahwa orang mukmin yang baik adalah orang yang seimbang antara rasa takut dan pengaharapannya kepada Allah. Lihat dalam Ibn Qāsim, Ḥāshiyah Kitāb al-Tawḥīd li Ibn Qāsim, Jilid 35, (CD. Maktabah Syamilah), hlm. 1.
[8] Ibn Arabī, Al-Futūḥāt.., Jilid 2, hlm. 21-22.
[9] Ibid. hlm. 22.
[10] Ini menurut Ibn Mubārak al-Ḥanafī. Lihat dalam Abī al-Maḥāsin Abdul Wāḥid bin Ismā’īl al-Rūyānī, Baḥr al-Madhhab fi Furū’i Mahdhhab al-Imām al-Shāfi’ī, Jilid 2, (Beirut: Dār Iḥyā’i al-Turāth al-‘Arabī, 2002), hlm. 14.
[11] Pendapat yang terakhir inilah yang diikuti Ibn Arabī.Ini pendapat Imām Abū Ḥanīfah. Bahkan Imām Mālik berpendapat yang berbeda sama sekali dengan ulama madhhab lain yaitu akhir waktu Ẓuhur adalah sama dengan akhir waktu Aṣar yaitu sampai terbenamnya matahari. Lihat dalam Muḥyī al-Dīn Abī Zakariyyā Yaḥyā bin Sharf al-Nawawī, Al-Majmū’ Sharh al-Muhadhdhab, Jilid 4, (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 2002), hlm. 38-39.
[12] Pendapat ini adalah berasal dari Abū Sa‟īd al-Istakhrī. Lihat dalam Abī al-Maḥāsin, Baḥr.., hlm. 16.
[13] Berdasarkan hadith dalam Al-Ṭaḥāwī, Sharh Ma’ānī al-Aṭṭhār, Jilid 1 (CD. Maktabah Syamilah), hlm. 150
[14] Ibn Arabī sependapat dengan madhhab Shāfi’ī yang berpendapat akhir waktu shalat Aṣar dan waktu-waktu shalat yang lain adalah sekedar bisa melakukan satu rekaat. Salah satu tokoh madhhab ini yang berpendapat demikian adalah Abī Alī bin Khairān dengan mendasarkan pada hadith Nabi dalam Al-Baihāqī, Sunan al-Ṣaghīr li al-Baihāqī, Jilid 1, (CD. Maktabah Syamilah), hlm. 225
[15] Lihat dalam Abd al-Razzāq, Muṣannaf Abd al-Razzāq, Jilid 3, (CD. Maktabah Syamilah), hlm. 7.
[16] Ibn Arabī, Al-Futūḥāt.., Jilid 2, hlm. 26-27.
[17] Lihat dalam Ibn Khuzaimah, Ṣaḥīḥ Ibn Khuzaimah, Jilid 2, (CD. Maktabah Syamilah), hlm. 138
[18] Ibn Arabī, Al-Futūḥāt.., Jilid 2, hlm. 28.
[19] Ibid.
[20] Ibn Arabī, Al-Futūḥāt.., Jilid 2, hlm. 29.
[21] Jāmi’u al-‘Ulūm wa al-Ḥikam, Jilid 1, (CD. Maktabah Syamilah), hlm. 365.
[22] Aḥādīth al-Mukhtārah min al-Ṣaḥīḥain, Jilid 1, (CD. Maktabah Syamilah), hlm. 68.
[23] Ibn Arabī, Al-Futūḥāt.., Jilid 2, hlm. 29-30.
[24] Ibid. hlm. 30.
No comments:
Post a Comment