DASAR CINTA

images (71)
Dalam kebudayaan modern berkembang pemahaman bahwa bersikap egois (mementingkan diri sendiri) adalah sebuah sikap yang harus dihindari. Berfikir egois adalah sebuah dosa. Sebaliknya, mencintai orang lain adalah tindakan mulia. Tentu saja, pengertian ini menjadi kontradiktif dalam praktik kehidupan masyarakat modern, yang lebih didominasi pemahaman perlunya mementingkan diri sendiri; dan kendali imperatif ini juga berarti melakukan yang terbaik untuk kebaikan umum.
Eksistensi dari tipe yang terakhir tidak dipengaruhi eksistensi tipe pertama, yang secar terus menerus menyakinkan kita bahwa egoism adalah dosa besar dan mencintai orang lain adalah kebajikan. Mementingkan diri sendiri, yang sering digunakan dalam terminologi ini, diartikan sama dengan mencintai diri sendiri.[1]
Karena ajaran cinta memiliki dasar dan landasan, baik di dalam Al-Qur’an maupun Sunah Nabi SAW. Hal ini juga menunjukkan bahwa ajaran tentang cinta khususnya dan tasawuf umumnya, dalam Islam tidaklah mengadopsi dari unsur-unsurkebudayaan asing atau agama lain seperti yang sering ditudingkan oleh kalangan orientalis.[2]
Semisal tertuang dalam QS. Al-Baqarah ayat 165;
Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman, sangat besar cinta mereka kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).”
Dan dalam hadist disebutkan sebagai berikut;
Tiga hal yang barang siapa mampu melakukannya, maka ia akan merasakan manisnya iman, yaitu: pertama Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya; kedua: tidak mencintai seseorang kecuali hanya karena Allah; ketiga benci kembali kepada kekafiran sebagaimana ia benci dilemparkan ke neraka.”[3]
Sedangkan secara filosofis cinta Dalam mengelaborasi dasar-dasar filosofis ajaran tentang cinta (mahabbah) ini, al-Ghazali merupakan ulama tasawuf yang pernah melakukannya dengan cukup bagus. Menurut beliau, ada tiga hal yang mendasari tumbuhnya cinta dan bagaimana kualitasnya. Yang pertama cinta tidak akan terjadi tanpa proses pengenalan (ma’rifat) dan pengetahuan (idrak). Manusia hanya akan mencintai sesuatu atau seseorang yang telah ia kenal.Karena itulah, benda mati tidak memiliki rasa cinta. Dengan kata lain, cinta merupakan salah satu keistimewaan makhluk hidup. Jika sesuatu atau seseorang telah dikenal dan diketahui dengan jelas oleh seorang manusia, lantas sesuatu itu menimbulkan kenikmatan dan kebahagiaan bagi dirinya, maka akhirnya akan timbul rasa cinta. Jika sebaliknya, sesuatu atau seseorang itu menimbulkan kesengsaraan dan penderitaan, maka tentu ia akan dibenci oleh manusia.[4]
Kedua cinta terwujud sesuai dengan tingkat pengenalan dan pengetahuan. Semakin intens pengenalan dan semakin dalam pengetahuan seseorang terhadap suatu obyek, maka semakin besar peluang obyek itu untuk dicintai. Selanjutnya, jika semakin besar kenikmatan dan kebahagiaan yang diperoleh dari obyek yang dicintai, maka semakin besar pula cinta terhadap obyek yang dicintai tersebut. Kenikmatan dan kebahagiaan itu bisa dirasakan manusia melalui pancaindranya. Kenikmatan dan kebahagiaan seperti ini juga dirasakan oleh binatang.
Namun ada lagi kenikmatan dan kebahagiaan yang dirasakan bukan melalui pancaindra, namun melalui mata hati. Kenikmatan rohaniah seperti inilah yang jauh lebih kuat daripada kenikmatan lahiriah yang dirasakan oleh pancaindra. Dalam konteks inilah, cinta terhadap Tuhan terwujud. Ketiga manusia tentu mencintai dirinya. Hal pertama yang dicintai oleh makhluk hidup adalah dirinya sendiri dan eksistensi dirinya. Cinta kepada diri sendiri berarti kecenderungan jiwa untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menghindari hal-hal yang bisa menghancurkan dan membinasakan kelangsungan hidupnya.
Ajaran cinta ilahi yang dikumandangkan oleh tasawuf sebenarnya bisa dijadikan sarana kita untuk lebih memperhalus jiwa. Kehalusan jiwa yang dihasilkan oleh tasawuf ini diperlukan agar agama tidak selalu dipahami secara legal-formalistik belaka yang biasanya ditampilkan oleh kalangan ahli fikih. Dengan demikian, agama pun diharapkan bisa menjadi berwajah toleran, humanis, dan menerima realitas pluralistik yang ada di tengah di masyarakat.
Meski demikian, ajaran cinta dalam Al-Qur’an sendiri, juga menghendaki keseimbangan antara sisi individual dan sosial; antara emosional dan rasional. Dari term-term cinta yang ditampilkan Al-Qur’an justru bersifat dinamis dan menghendaki aktualisasi riil dalam realitas sosial. Cinta dalam Al-Qur’an hampir selalu ditempatkan dalam konteks untuk mewujudkan kebaikan dan keadilan sosial.

[1] Erich Fromm, Cinta Seksualitas Matriarki Gender, Jalasutra, Yogyakarta, 2002, hal. 235
[2] Lihat kajian tentang sumber-sumber tasawuf dan tudingan para orientalis, misalnya, dalam Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman, Suatu Pengantar tentang Tasawuf, terj. Ahmad Rofi’ Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1985) hal. 22-34.
[3] Muhammad bin Ismail Abu Abdillah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ as-Shahih al-Mukhtashar, ed. Mushtafa Dib al-Biqha, (Beirut: Dar Ibnu Katsir, 1987), juz 1, hal. 14.
[4] Lihat, penjelasan al-Ghazali pada Kitab al-Mahabbah wa asy-Syauq wa ar-Ridha, dalam al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, (Beirut, Dar al-Ma’rifah, tt), juz 4, hal. 296-300















No comments:

Post a Comment