SALAT TANPA WUDHU DAN TAYAMUM

images (78)
Bila tidak ada yang dapat menyucikan, yaitu air dan tanah, seperti orang yang berada dalam tahanan yang tidak tersedia di dalamnya, dan tidak ada sesuatu yang dapat dijadikan tayammum atau karena sakit yang tidak bisa berwudhu dan tidak bisa bertayammum, atau tidak ada seseorang yang mewudhukannya atau mentayammumkannya; apakah ia diwajibkan salat dalam keadaan tidak suci? Dan kalau berdasarkan ketentuan wajibnya salat, lalu ia salat, tetapi apakah wajib mengulanginya lagi setelah mampu (bisa) bersuci?
Menurut mazhab Maliki: gugurlah kewajiban melaksanakan salat maupun qadha'nya. Hanafi dan Syafi'i: pernah untuk melaksanakan dan menggantinya itu tidak gugur. Artinya melaksanakannya, menurut Hanafi adalah ia harus melaksanakan seperti orang yang salat. Sedangkan menurut Syafi'i: la wajib salat yang sebenar-benarnya. Maka kalau udzurnya telah hilang, ia wajib mengulanginya lagi sebagaimana yang dituntut syara'.
Menurut sebagian besar Imamiyah bahwa kewajiban melaksanakan itu gugur, tetapi wajib menqadha'nya (menggantinya). Mazhab Hambali: bahkan diwajibkan melaksanakannya, dan gugurlah kewajiban menqadha'nya.[1]
Uraian yang lebih jelas dan rinci dari pandangan berbagai mazhab dapat ditemukan dalam Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba’ah, karya Abd al-Rahman al-Jaziri. Dalam kitab ini dijelaskan bahwa,
a. Madzhab Hanafi
Mereka berpendapat bahwa orang yang tidak mendapatkan dua perabot bersuci yaitu air dan debu suci atau sebagainya, maka ia salat ketika telah memasuki waktu salat. Salat ini hanya rupa (shurah)-nya saja yaitu dengan sujud kemudian kembali menghadap kiblat tanpa bacaan, tasbih, tasyahhud dan sebagainya. Juga tidak dengan niat salat, baik ia dalam keadaan junub atau hadats kecil. Salat yang hanya rupanya saja ini tidak menggugurkan fardhu, melainkan yang fardhu itu tetap menjadi tanggungannya sampai ia mendapatkan air untuk wudhu atau debu suci yang dapat dipakai untuk tayammum. Jadi orang yang tidak mendapatkan dua perabot bersuci boleh mengerjakan salat yang hanya dalam rupanya saja walaupun ia dalam keadaan junub.[2]
b. Mazhab Maliki
Mereka berpendapat bahwa orang yang tidak mendapatkan dua perabot bersuci yaitu air dan debu suci, maka gugur kewajiban salatnya. Ini berpegang pada pendapat yang muktamad, sehingga tidak perlu mengerjakan salat dan tidak perlu qadha. Kemungkinan dalam hal ini mereka berpegang pada hadits :
لا يقبل الله صلاة بغير طهور
Allah tidak menerima salat tanpa bersuci.
Akan tetapi, dalam hadits ini tidak ada yang menunjukkan adanya pengulangan dan golongan Hanafi tidak mengatakan bahwa salat tanpa suci itu dapat diterima, melainkan mereka mengatakan bahwa salat itu harus diulangi.
c. Madzhab Syafi'i
Mereka berpendapat bahwa orang yang tidak mendapatkan air atau tidak mendapatkan debu yang suci atau tidak mampu menggunakan air dan debu, dan ada kalanya ia dalam keadaan junub atau hadats kecil, maka ia tetap mengerjakan salat dengan sebenarnya. Akan tetapi ia hanya meringkas dengan bacaan al-Fatihah saja dan wajib mengulangi salatnya apabila lelah mendapatkan air. Apabila orang junub mendapatkan air, maka ia wajib mandi dan wudhu kemudian mengulangi salatnya apabila telah mendapatkan air.
Apabila orang junub mendapatkan air, maka ia wajib mandi dan wudhu kemudian mengulangi salat yang dikerjakan tanpa wudhu dan tanpa tayammum. Apabila orang yang dalam keadaan hadats kecil mendapatkan air, maka ia wajib wudhu dan mengulangi salatnya. Sedangkan apabila salah satu di antara dua orang, yaitu orang yang junub dan berhadats kecil mendapatkan debu yang suci atau lainnya; yang dapat digunakan tayammum, maka ia tetap tidak boleh bertayammum untuk mengulangi salatnya yang dikerjakan tanpa wudhu dan tanpa tayammum. Kecuali kuat dugaannya bahwa ia berada pada tempat yang tidak terdapat air atau sama dugaannya antara ada air dan tidak ada air tanpa diunggulkan salah satunya.
d. Madzhab Hambali[3]
Mereka berpendapat bahwa orang yang tidak mendapatkan dua perabot bersuci, ia tetap salat dengan sebenarnya dan tidak perlu mengulangi. Hanya saja wajib meringkas yang fardhu-fardhu saja dan syarat-syarat yang menjadikan sah salatnya.
Imam Taqiyuddin menjelaskan:
Andaikata orang itu tidak menemukan air dan tidak menemukan tanah, ia wajib salat karena memuliakan waktu dan wajib mengulangi salatnya sesudah menemukan air. Salatnya tetap dikatakan sah. Jadi kalau orang itu menemukan air, wajib menghutangi salatnya. Jika orang itu menemukan tanah, apakah dia wajib mengulangi salatnya? Dilihat dulu. Jika tanah itu ditemukan di tempat yang boleh menggugurkan qadha', wajib mengulangi salat. Jika tidak, maka tidak wajib mengulanginya. Sebab tidak ada gunanya salat dengan tayammum, salat itu wajib diulangi. Malah menurut kata sebagian Ulama, tidak boleh diqadha.[4]
Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf dalam kitabnya menegaskan, “barang siapa tidak mendapatkan air maupun tanah, maka hendaklah ia kerjakan salat fardu sajadan kemudian mengulanginya lagi bila ia telah mendapatkan salah satu dari keduanya.”[5]
Berdasarkan uraian di atas, penulis menyimpulkan bahwa sebagian besar ulama berpendapat orang yang hendak mengerjakan salat fardu dalam kondisi tidak ada air dan tanah untuk tayamum maka orang tersebut wajib menunaikan salat, namun ia wajib mengulangi bila kemudian ada air atau tanah.

[1] Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj. Masykur, Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, Fiqih Lima Mazhab,Jakarta: Lentera, 2001, hlm. 66
[2] Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Beirut: Dar al-Fikr, 1972, juz 1, hlm. 166
[3] Ibid, hlm. 168-169. Pandangan berbagai mazhab ini dapat dilihat juga dalam Ahmad Abd Madjid, Masa'il Fiqhiyyah: Mambahas Masalah-Masalah Fiqh yang Aktual, Jatim: Garoeda Buana, 1991, hlm. 133
[4] Imam Taqiyuddin Abu Bakar ibn Muhammad Al-Hussaini, Kifayah al-Akhyar, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, tth, hlm. 63.
[5] Imam Abu Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf, Al-Tanbih Fi Fiqh asy Syafi'i, Terj. Hafid Abdullah, Kunci Fiqih Syafi'i, Semarang: CV.Asy Syifa, 1992, hlm. 13.
























No comments:

Post a Comment