KETENANGAN JIWA

ikan
Jiwa merupakan prinsip hidup, perasaan, pikiran yang bergerak dalam diri manusia. Substansi immaterial yang selalu ada dan yang menghidupkan organisme, totalitas proses mental : pengalaman non rasional.[1] Jiwa ialah roh manusia (yang ada di dalam tubuh dan menjadikankan seseorang hidup). Jiwa juga diartikan seluruh kehidupan batin manusia (yang terjadi dari perasaan, pikiran, angan-angan).[2]
Secara harfiah kata “An Nafs” adalah esensi, hakikat atau realitas sesuatu. Dalam terminologi Aristotelian, sesuatu yang wujud di sebut An-Nafs (jiwa), apakah itu An Nafs yang bersifat hewani (Jasad/jisim) atau An Nafs yang bersifat abstrak. Dalam terminologi etika, An Nafs berarti hayalan atau angan palsu dari ego manusia yang terpisah dan independen. Kata ini juga di sebut jiwa jasmani atau hawa nafsu.[3]
An Nafs itu sendiri artinya diri. Namun, banyak orang memberikan pengertian bermacam-macam, sehingga sulit sekali untuk menetapkan arti An Nafs itu sendiri. Terkadang terjadi kerancuan memberikan nama istilah seperti istilah nyawa, roh, jiwa, nafsu, qalbu dll. Di mana yang seharusnya sebutan tersebut untuk sifat sesuatu, ternyata seakan-akan sifat itu sendiri sebagai oknum (nafs). Misalnya kata qalb, seakan qalbu itu sesuatu yang berdiri sendiri sebagai oknum, padahal qalbu itu artinya sifat yang gamang atau bolak balik, naik turun, maju mundur atau sebagai karakter yang tidak tetap (labil).
Sifat labil yaitu sifat yang mengalami pasang surut seperti gelisah, terkadang juga tenang, berbahagia, sedih, menangis lalu sesaat kemudian tertawa. Hal yang sama terjadi dalam ketaatan dan penolakan terhadap sesuatu. An Nafs yang berbuat demikian itu dinamakan qalbu. Maka dari itu kita sepakat dalam penjelasan mengenai jiwa kadang juga menggunakan istilah “hati” (qalb) untuk menunjukan perbuatan jiwa tersebut. Jiwa itu sebagai wujud atau dirinya, sedangkan hati (qalb) adalah sifat dari jiwa (An Nafs).[4]
Seperti ketika kita menamai “manusia” yang suka korup maka kita menjulukinya sebagai koruptor. Terkadang kita tidak menggunakan sebutan diri manusianya, cukup mengatakannya dengan sebutan pencuri. Demikian juga bahasa Al-Qur’an di dalam menyebutkan istilah jiwa (nafs) terkadang Allah menyebutnya cukup sifatnya saja yaitu Qalb (hati). Allah berfirman :
و ما أبرئ نفسي إنّ النفس لأمّارة بالسوء إلاّ ما رحم ربّي إنّ ربّي غفور رحيم
Dan aku tidak membebaskan diriku (nafs) dari kesalahan. Sesungguhnya An Nafs itu selalu menyuruh kepada kejahatan. (QS. Yusuf 12:53).
Allah berfirman :
و لا أقسم بالنفس اللوّامة
Dan aku bersumpah dengan an nafs (jiwa) yang amat menyesali (diri sendiri). (QS. Al-Qiyamah, 75:2).
Allah berfirman :
يآيها النفس المطمئنة
Wahai jiwa yang tenang.(QS. Al-Fajr, 89:27).
Ketiga ayat di atas menunjukkan bahwa An Nafs itu artinya diri. Nafs Ammarah bissu’ (diri yang buruk), kemudian Nafs Lawwamah (diri yang menyesal), dan An Nafs Muthmainnah (diri yang tenang). Semua sifat itu terdapat pada diri (An Nafs). Diri yang labil dengan kecenderungan terhadap sifat-sifat itulah yang dinamakan qalb (diri) yang terombang-ambing, sedangkan Allah memanggil kepada diri yang tenang dan jernih (Muthmainnah) dalam firman-Nya:
يآيها النفس المطمئنة إرجعي الى ربكِ راضية مرضية
Wahai diri (jiwa/nafs )yang tenang datanglah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai oleh-Nya. (QS. Al Fajr, 89: 27-28).
Dengan demikian Al Qur’an memberikan penjelasan, bahwa sungguh beruntung orang yang membersihkan dirinya dari sifat-sifat yang tidak baik agar tidak diombang-ambingkan oleh sifat-sifat tersebut, sehingga menjadi diri yang muthmainnah. Diri yang muthmainnah adalah diri yang selalu mendapatkan ilham ketaqwaan yang mendorong kepada perbuatan baik dan ikhsan. Firman Allah :
قد أفلح من زكّاها و قد خاب من دسّاها
Sesungguhnya beruntunglah yang mensucikan jiwa itu. Dan merugilah orang yang mengotorinya. (QS. Asy Syams, 91: 9-10 ).
Jiwa manusia terdapat potensi keagamaan yang secara fitrah berasal dari Allah. Akan tetapi potensi itu tidak akan bisa muncul apabila dibiarkan begitu saja tanpa adanya usaha untuk mengembalikan fitrah itu dengan jalan membersihkannya, yaitu dengan jalan mendekatkan diri kepada Allah untuk memperoleh pencerahan dan bimbingan-Nya.[5] Firman Allah:
و الذين جاهدوا فينا لنهدينّهم سبلنا و إنّ الله لمع المحسنين
Dan mereka yang berjuang dan bersungguh-sungguh datang kepada kami, kami pasti akan menunjuki jalan-jalan kami. (QS. Al Ankabut, 29: 69).
Kebanyakan ahli agama, terutama yang yang memperhatikan masalah akhlak kepada Allah, berpendapat bahwa hati manusia merupakan kunci pokok pembahasan menuju pengetahuan tentang Allah. Hati juga berperan sebagai pintu dan sarana Allah memperkenalkan kesempurnaan diri-Nya. Hanya melalui hati manusialah keseimbangan sejati dengan Tuhan bisa dicapai.
Makna dasar kata qalb secara harfiah (bahasa) ialah membalik, kembali, pergi, pergi maju mundur, berubah naik turun. Diambil dari latar belakangnya, hati mempunyai sifat yang selalu berubah, sebab hati adalah tempat dari kebaikan dan kejahatan, kebenaran dan kesalahan. Hati adalah tempat di mana Tuhan mengungkapkan diri-Nya sendiri kepada manusia. Kehadiran-Nya tersasa di dalam hati, dan wahyu maupun ilham diturunkan ke dalam hati para Nabi maupun Wali-Nya.[6] Firman Allah:
و اعلموا أنّ الله يحول بين المرء و قلبه و أنه إليه تحشرون
Ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membuat batasan antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu sekalian akan dikumpulkan. (QS. Al Anfaal, 8: 24)
Hati adalah pusat pandangan, pemahaman, dan ingatan (zikir). Penegasan pengertian tersebut jelas sekali difirmankan Allah,
أفلم يسيروا في الأرض فتكون لهم قلوب يعقلون بها او آذان يسمعون بها فإنها لا تعمى الأبصار و لكن تعمى القلوب التي في الصدور
Apakah mereka tidak pernah bepergian di muka bumi ini supaya hatinya tersentak memikirkan kemusnahan itu, atau mengiang di telinganya untuk didengarkan? Sebenarnya yang buta bukan mata, melainkan ‘hati’ yang ada di dalam dada. (QS. Al Hajj, 22: 46).
Allah berfirman :
و لا تطع من أغفلنا قلبه عن ذكرنا و اتّبع هواه و كان أمره فرطا
Janganlah kamu turutkan orang yang hatinya telah kami alpakan dari mengingat kami (zikir), orang yang hanya mengikuti hawa nafsyunya saja, dan keadaan orang itu sudah keterlaluan. (QS. Al Kahfi, 18: 28).
Iman tumbuh dan bersemayam di dalam hati. Tetapi, dalam hati pula tumbuhnya kekafiran, kemungkaran serta penyelewengan dari jalan yang lurus. Oleh sebab itu Allah tetap menegaskan bahwa perilaku ibadah seseorang tidak bisa hanya dilihat dari sekedar syarat dan rukunnya saja, akan tetapi harus sampai kepada pusat iman, yaitu hati. Karena sering dan banyaknya ibadah yang dilakukan, kerap kali bahkan hampir lupa bahwa peribadatan selalu menuntut pemurnian hati (keikhlasan). Padahal kemurnian hati inilah yang akan menghasilkan sesuatu yang haq serta memberi dampak kepada iman secara langsung.
Iman yang benar mempunyai ciri tersendiri dan diakui oleh Al Qur’an. Seseorang akan tertegun, terharu tatkala nama Allah disebut, bahkan akan terdorong ingin melupakan kegembiraan dan kerinduannya dengan menjerit seraya bersujud dan menangis. Bergetar hatinya dan bertambahlah imannya. Seseorang begitu kokoh dan mantap dalam setiap langkahnya karena keihksanan bersama Allah yang selalu dijaga. seseorang akan selalu berbisik ke dalam lubuk hatinya manakala menghadapi persoalan dan kesulitan di dunia, karena di situlah Allah meletakkan ilham sebagai pegangan untuk menentukan sikap, sehingga seseorang beriman akan selalu terjaga dalam hidayah dan bimbingan Allah Swt.
Secara luas, Al Qur’an menggambarkan hati sebagai pusat dari apa yang membuat seorang manusia menjadi manusiawi, pusat dari kepribadian manusia. karena manusia terikat erat dengan Allah, pusat ini merupakan tempat di mana mereka (manusia) bertemu Tuhan. Pertemuan ini merupakan dimensi kognitif dan juga dimensi moral. Karena hati merupakan pusat sejati dari seorang manusia, Tuhan menaruh perhatian khusus kepadanya di samping memperhatikan amalan-amalan aktual yang dilakukan orang-orang. Firman Allah :
و ليس عليكم جناح فيما أخطأتم به و لكن ما تعمّدت قلوبكم
Tidak ada celanya jika berbuat salah, kecuali jika hatimu menyengaja. (QS. Al Akhzab, 33: 5)
Hati adalah tempat yang dilihat Tuhan, ia merupakan kunci menuju kemunafikan, watak yangpaling buruk dalam pandangan muslim. Kita sudah memahami, bahwa penyebab utama dari ketidakmampuan berbuat baik dan kesulitan menjaga dari perbuatan keji dan mingkar serta tidak didengarnya setiap do’a, adalah tertutupnya mata hati dari nur Ilahi. Oleh karena itu, pertama-tama konsentrasikan masalah mengurus hati dulu, jangan mempersoalkan hal yang lain, karena hati sedang “menderita sakit kronis”. Kita harus perhatikan dengan sungguh-sungguh, dan memasrahkan diri kepada Sang Pembuka Hati. Dialah yang menutup hati manusia, membutakan, menulikan, mengunci mati, dan tidak memberikan kefahaman atas ayat-ayat Allah yang turun ke dalam hati.[7] Kedudukan jiwa berada pada dunia yang lebih halus, sebuah dunia yang lebih dekat dengan tuhan.[8] Dimana dengan jiwa kita bisa berkomunikasi dengan Tuhan, dengan jiwa pula dapat merasakan betapa dekat berada di sisi-Nya.
Jiwa dan roh adalah sama dalam hal penggunaaannya dalam kehidupan rohani orang percaya. Perbedaannya adalah dalam hal acuannya. “Jiwa” adalah pandangan manusia secara horizontal terhadap dunia. “Roh” adalah pandangan manusia secara vertikal dengan Tuhan. Adalah penting untuk memahami bahwa keduanya merujuk pada bagian non-materi dari manusia, namun hanya “roh” yang menunjuk pada kehidupan manusia dengan Tuhan. “Jiwa” menunjuk pada kehidupan manusia dalam dunia, baik secara materi maupun non-materi.[9]
Amin Syukur menjelaskan bahwa Nafs/jiwa bertempat pada roh halus yang bersifat ruhani dan ketuhanan, adapun kedudukan jiwa sendiri tempatnya tidak dapat diketahui tempatnya. Karena jiwa merupakan sesuatu non materi yangtidak bisa dilihat dan diraba. Secara spiritual, jiwa dialiri roh dan bersambung atau bertemu dengan Allah.
Hati merupakan sumber inspirasi akal, ilmu, kesabaran, keberanian, kemuliaan, cinta, kehendak, kerelaan, dan seluruh sifat-sifat yang terpuji. Seluruh anggota badan baik yang tampak maupun yang bersembunyi beserta seluruh kekuatannya, tidak lain hanyalah prajurit hati. Allah swt berfirman :
و لا تقف ما ليس لك به علم إنّ السمع و البصر و الفؤاد كل اولئك كان عنه مسئولا
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya. (QS. Al Isra’, 17: 36).
Abu Hurairah ra berkata, “Hati adalah raja dan anggota badan sebagai bala tentaranya. Bila rajanya baik, baik pula pasukannya dan bila jahat, maka jahat pula pasukannya”.[10] Jadi hati bersemayam di dalam dada, dilindungi, dikelilingi, dan dilayani oleh seluruh anggota badan yang lain. Hati memiliki fungsi sebagai penggerak dari seluruh anggota tubuh.
Jiwa yang yang sehat dan tenteram ialah qalbu yang himmah (keinginanya) pada sesuatu yang hanya menuju kepada Allah Swt, dengan mencintai sepenuhnya, jiwa raganya untuk Allah, segala bentuk amalan, tidur, bangun, dan bicaranya semata-mata hanya untuk-Nya. Ucapan tentang segala hal yang diridhai Allah lebih disukai dari pada segala pembicaraan yang lain, serta fikiran selalu tertuju kepada kepada apa saja yang diridhai dan dicintai Allah.[11] Dengan demikian, kebahagiaan dan ketenangan adalah bersama Allah.

[1] LPKN, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara, LPKN, 1997,hlm. 426
[2] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2005, hlm. 475
[3] Abu Sangkan, Berguru Kepada Allah, (Jakarta: PT.Patrap Thursina Sejati, 2007), hlm. 63
[4] Ibid., hlm. 64
[5] Ibid., hlm. 65
[6] Ibid., hlm. 66
[7] Ibid., hlm, 75
[8] Robert Frager (Syekh Raghib al-Jerahi), Hati, Diri, Jiwa, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2003), hlm. 40
[9] Apa Perbedaan antara Roh dan Jiwa, www.gotquestions.org. hlm. 01
[10] Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah (Terjemah oleh Muhammad Babul Ulum), Tombo Ati, (Jakarta: Maghfiroh Pustaka, 2005), hlm. 29
[11] Abu Sangkan, Penyucian Jiwa, www.google.com. hlm 1-3























































No comments:

Post a Comment