Secara generik pengertian Ahlusunnah Wa al Jama’ah (selanjutnya disebut Aswaja atau Sunni) adalah mereka yang selalu mengikuti perilaku Sunnah nabi dan para sahabatnya (ma ana ‘alaihi al-yaum wa ashhabi). Aswaja adalah golongan pengikut yang setia mengikuti ajaran-ajaran Islam yang dilakukan oleh nabi dan para sahabatnya.
Sedangkan menurut Dhofier, Aswaja dapat diartikan sebagai para pengikut tradisi nabi dan kesepatan ulama (Ijma’ ulama). Dengan menyatakan diri sebagai pengikut nabi dan ijma’ ulama, para Kiai secara eksplisist membedakan dirinya dengan kaum moderis Islam, yang berpegang teguh hanya al-Qur’an dan al-Hadist dan menolak ijma’ ulama.[1]
Sebelum istilah Aswaja untuk menunjuk pada kelompok, madzhab, atau kekuatan politik tertentu, ada beberapa istilah yang digunakan untuk memberi identifikasi terhadap aliran dan kelompok yang nantinya dikenal sebagai Aswaja. Marshall Hadgson menyebutnya Jama’i Sunni, sedangkan pakar lain menyebutkan Proto Sunnisme (embrio aliran sunni). Akan tetapi, istilah yang paling umum digunakan adalah Ahlusunnah wa al Jama’ah dan Ahlusunnah wa al Jama’ah wa al-atsar. Istilah ini digunakan oleh kelompok madzhab Hambali untuk menyebut kelompok dirinya yang merasa lebih berpegang pada perilaku nabi dan menentang kelompok rasionalis, filosofis, dan kelompok sesat.
Secara generik pengertian Ahlusunnah Wa al Jama’ah (selanjutnya disebut Aswaja atau Sunni) adalah mereka yang selalu mengikuti perilaku Sunnah nabi dan para sahabatnya (ma ana ‘alaihi al-yaum wa ashhabi).Aswaja adalah golongan pengikut yang setia mengikuti ajaran-ajaran Islam yang dilakukan oleh nabi dan para sahabatnya.
Selama ini yang kita ketahui tentang ahlusunnah waljama’ah adalah madzhab yang dalam masalah aqidah mengikuti Imam Abu Hasan al Asy’ari dan Abu Mansur al Maturidi, dalam praktek peribadatan mengikuti salah satu madzhab empat, dan dalam bertawasuf mengikuti imam Abu Qasim al Junaedi dan imam Abu Hamid al Ghazali.
Kalau kita mempelajari Ahlussunnah dengan sebenarnya, batasan seperti itu nampak begitu simple dan sederhana, karena pengertian tersebut menciptakan definisi yang sangat eksklusif. Untuk mengkaji secara mendalam, terlebih dahulu harus kita tekankan bahwa Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) sesungguhnya bukanlah madzhab, Aswaja hanyalah sebuah manhaj Al-fikr (cara berpikir) tertentu yang digariskan oleh para sahabat dan muridnya, yaitu generasi tabi’in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam mensikapi situasi politik ketika itu. Meski demikian, bukan berarti dalam kedudukannya sebagai Manhaj Al fikr sekalipun merupakan produk yang bersih dari realitas sosio-kultural maupun sosio-politik yang melingkupinya.
Ahlusunnah tidak bisa terlepas dari kultur bangsa Arab “tempat Islam tumbuh dan berkembang untuk pertama kali”. Seperti kita ketahui bersama, bangsa arab adalah bangsa yang terdiri dari beraneka ragam suku dan kabilah yang biasa hidup secara peduli. Dari watak alami dan karakteristik daerahnya yang sebagai besar padang pasir watak orang arab sulit bersatu dan bahkan ada titik kesatuan diantara mereka merupakan sesuatu yang hampir mustahil.
Di tengah-tengah kondisi bangsa yang demikian rapuh yang sangat labil persatuan dan kebersamaannya, Rasulullah diutus membawa Islam dengan misi yang sangat menekankan ukhuwah, persamaan dan persaudaraan manusia atas dasar ideologi atau iman. Selama 23 tahun dengan segala kehebatan, kharisma, dan kebesaran yang dimilikinya, Rosulullah mampu meredam kefanatikan qabilahmenjadi kefanatikan agama (ghiroh islamiyah).
Jelasnya Rosulullah mampu membangun persatuan, persaudaraan, ukhuwah dan kesejajaran martabat dan fitrahmanusia. Namun dasar watak alami bangsa arab yang sulit bersatu, setelah Rosulullah meninggal dan bahkan jasad beliau belum dikebumikan benih-benih perpecahan, genderang perselisihan sudah mulai terdengar, terutama dalam menyikapi siapa figure yang tepat mengganti Rosulullah (peristiwa bani Saqifah).
Perselisihan internal dikalangan umat Islam ini, secara sistematis dan periodik terus berlanjut pasca meninggalnya Rosulullah, yang akhirnya komoditi perpecahan menjadi sangat beragam. Ada karena masalah politik dikemas rapi seakan-akan masalah agama, dan aja juga masalah-masalah agama dijadikan legitimasi untuk mencapai ambisi politik dan kekuasaan.
Unsur-unsur perpecahan dikalangan internal umat Islam merupakan potensi yang sewaktu-waktu bisa meledak sebagai bom waktu, bukti ini semakin nampak dengan diangkatnya Ustman Bin Affan sebagai kholifah pengganti Umar bin Khattab oleh tim formatur yang dibentuk oleh Umar menjelang meninggalnya beliau, yang mau tidak mau menyisahkan kekecewaan politik bagi pendukung Ali waktu itu.
Fakta kelabu ini ternyata menjadi tragedi besar dalam sejarah umat Islam yaitu dengan dibunuhnya Kholifah Ustman oleh putra Abu Bakar yang bernama Muhammad bin Abu Bakar. Peristiwa ini yang menjadi latar belakang terjadinya perang Jamal antara Siti Aisyah dan Sayidina Ali. Dan berikutnya keadaan semakin kacau balau dan situasi politik semakin tidak menentu, sehingga dikalangan internal umat Islam mulai terpecah menjadi firqoh-firqoh seperti Qodariyah, Jabbariyah, Mu’tazilah dan kemudian lahirlah Ahlussunnah. Melihat rentetan latar belakang sejarah yang mengiringi lahirnya Aswaja, dapat ditarik garis kesimpulan bahwa lahirnya Aswaja tidak bisa terlepas dari latar belakang politik.[2]
[1] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 148
[2] Ali Maschan Musa, Nasionalisme Kiai : Kontruksi Sosial Berbasis Agama, Surabaya : LKiS, 2007, hal.98-100
Sayyidina Utsman dibunuh oleh Muhammad bin Abu Bakar?moho referensi....
ReplyDelete