Seperti halnya kata ‘aql, kata qalb juga mempunyai bebagai macam makna. Qalb adalah bentuk mashdar dari akar qalaba - yaqlibu – qalban yang berarti membalikkan atau memalingkan. Dalam banyak kamus bahasa Arab-Indonesia, kata qalb, bila berdiri sendiri, diartikan dengan hati, jantung dan akal. Bila dalam bentuk ungkapan, seperti qalb al-jaisy berarti tentara yang berada di tengah. Ungkapan qalb kulli syai’ berarti hati, pati, pusat atau sari sesuatu.
Dalam Lisan al-‘Arab, Ibn Manzhur pertama-tama mengartikan arti kata kerja qalaba. Kata tersebut diartikan dengan mengubah sesuatu dari bagian mukanya. Ungkapan qalaba al-syai’ berarti mengubah sesuatu, bagian luar menjadi bagian dalam.[1] Kata qalb (bentuk jamaknya aqlub atau qulub) yang telah menjadi satu istilah diartikan dengan segumpal menggantung dalam dada.[2] Firman Allah Swt., “al-Quran itu diturunkan oleh al-Ruh al-Amin pada qalb-mu”,[3] hemat Ibn Manzhur, sebagaimana dikatakan al-Zujjaj, mempunyai maksud, Jibril menurunkan al-Quran kepadamu sehingga qalb-mu menangkapnya, dan al-Quran itu kokoh berada padanya sehingga selamanya kamu tidak pernah melupakannya.[4]
Berangkat dari beberapa pengertian di atas, jantung (heart) disebut qalb karena memang secara fisik keadaannya terus-menerus berdetak dan bolak-balik memompa darah. Namun, dalam pengertian secara psikis, qalb merupakan suatu keadaan rohaniyah yang selalu bolak-balik dalam menentukan suatu ketetapan. Dalam hubungan ini al-Tirmidziy, sebagaimana dikutip oleh al-Syarqawiy, berkata, “Dinamakan qalb karena ia senantiasa berbolak-balik (taqallub), dan karena qalb berada di antara dua “jari” dari beberapa “jari” Yang Maha Pengasih, di mana Dia membalikkan sesuai dengan kehendak-Nya terhadap diri si qalb.”[5]
Al-qalb juga berarti membelokkan sesuatu dari arahnya. Al-qalb berarti pula memalingkan manusia dari arah atau tujuan yang dikehendakinya. Taqallaba al-syai’ zharan li bathin berarti sesuatu berbalik, di mana bagian luar menjadi bagian dalam, seperti ular berguling-guling di atas tanah yang amat panas oleh terik matahari.[6]
Qallaba al-syai’ yaqlibuhu qalban bermakna memindahkan sesuatu dari tempat yang satu ke tempat yang lain, seperti wa ilaihi tuqlabun (kalian akan dikembalikan kepada-Nya). Qallaba al-umur berarti memikirkan sesuatu dari berbagai seginya.[7] Taqlib al-syai’ berarti mengubah sesuatu dari suatu keadaan ke keadaan yang lain, seperti firman Allah, “yauma tuqallabu wujuhuhum fi al-nur”.[8]
Qallaba kaffaih berarti membolak-balikkan kedua tangannya. Ini merupakan kinayah dari penyesalan,[9] seperti dalam firman Allah fa ashbaha yuqallibu kaffaihi ‘ala ma anfaqa fihi.[10] Inqalaba adalah kembali dan berpindah ke tempat semula (berbalik) atau ke tempat lain (lihat QS. Ali Imran: 144). Taqallaba fi al-umur wa fi al-bilad berarti berpindah-pindah dalam berbagai persoalan dan pulang balik dari satu tempat ke tempat lain dalam suatu negara, seperti disebut dalam al-Quran, fa la yaghrurka taqallubuhum fi al-bilad.[11] Qalbu kulli syai’ lubbuhu berarti qalb dari segala sesuatu adalah lubb-nya (inti, esensi). “ji’tuka bi hadza al-amr qalban, ay mahdhan” berarti aku datang kepadamu membawa masalah/perkara ini dengan setulus hati.[12]
Hemat Ibn Manzhur, kata qalb juga terkadang diungkapkan untuk arti ‘aql. Ia mengutip apa yang dikatakan al-Farra’ mengenai firman Allah, Inna fi dzalika ladzikra liman kana lahu qalb (sesungguhnya di dalam hal itu ada peringatan bagi orang yang memiliki qalb),[13] yang mana bagi al-Farra’ qalb dalam ayat tersebut bermakna ‘aql.[14] Akan tetapi, ada juga ulama yang memaknai qalb dalam ayat tersebut bukan dengan ‘aql, melainkan sebagai tafahhum (pengertian, pemahaman) dan tadabbur (perenungan, pertimbangan). Menurut al-Farra’ dalam bahasa Arab, boleh dikatakan, malaka qalb (engkau tidak memiliki qalb), ma qalbuka ma’ak (bersamamu tiada qalb), dan aina dzahaba qalbuk (kemanakah qalb-mu?). Ketiga ungkapan tersebut menyebutkan kata qalb untuk menyebut ‘aql, sehingga yang dimaksud adalah ma laka ‘aql (engkau tidak memilik akal), ma ‘aqluka ma’ak (bersamamu tiada akal), dan aina dzahaba ‘aqluk? (kemanakah akalmu?).[15]
Dalam Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, kata dasar qalaba diartikan dengan mengubah, membalikkan, merobohkan, atau mengganti. Kata qalb dalam bentuk mashdar diartikan sebagai padanan bagi kata tahwil (pembalikan, pemutaran, perubahan), ‘aks (kebalikan, pembalikan), ithihat (perobohan) dan isqath (penumbangan), tabdil (penggantian) dan taghyur (pengubahan), fu’ad (hati, lubuk hati, jantung), quwwah (kekuatan) dan syaja’ah (keberanian), jauhar (inti), lubb (esensi) dan shamam (bagian dalam), serta kata wasath (pusat, bagian tengah atau tengah-tengah).[16]
Sementara itu, dalam kamus al-Munawwir, Ahmad Warson mengartikan qalb sebagai padanan bagi kata lubb (hati, isi, lubuk hati, jantung, inti), ‘aql (akal), quwwah dan syaja’ah (kekuatan, semangat atau keberanian), bathin (bagian dalam), wasath (pusat, bagian tengah atau tengah-tengah), serta al-mahdh wa al-khalish (bagian yang murni).[17]
Kata qalb, seringkali digandengkan dan disamakan dengan kata fu’ad . Ibn Manzhur mengatakan, putra gurunya menyatakan bahwa qalb berarti fu’ad . Lebih lanjut, Ibn Manzhur menukil pendapat al-Zuhriy yang mengatakan, “Aku melihat sebagian orang Arab memakan daging qalb (lahmah al-qalb) baik keseluruhannya, bijinya, maupun penutupnya dengan qalb dan fu’ad . Dan aku tidak melihat mereka membedakan antara keduanya”.[18]
Al-Raghib al-Ashfahaniy mengatakan bahwa fu’ad itu memang seperti qalb, akan tetapi ia membedakan keduanya dari semua makna-maknanya yang lebih rinci, di mana masing-masing keduanya berbeda dari sisi pemakaiannya. Menurutnya, dikatakan fu’ad karena didalamnya mengandung makna tafa’ud yang berarti tawaqqud (terbakar, menyala). Fa’adtu al-lahm artinya memanggang/membakar daging (syawaituhu), dan lahm fa’id berarti daging panggang/yang dibakar (musyawa). Al-Ashfahaniy kemudian mengutip ayat al-Quran “nurullahi al-maqadah allati taththali’u ‘ala al-af’idah”[19] (Api Allah yang dinyalakan, yang membakar sampai ke hati). Sedang dikatakan qalb, menurut al-Ashfahaniy, apabila didalamnya terkandung makna khusus yang terkait dengan rohani, ilmu, dan keberanian (membela yang benar).
Dalam Tahdzib al-Lughah, al-Azhariy membedakan qalb dan fu’ad dengan mengatakan, disebut jantung karena sifatnya yang berubah-ubah/berbolak-balik, dan disebut fu’ad karena ia terbakar nafsunya terhadap orang yang dikasihi/dicintai-nya.[20] Sedangkan menurut al-‘Askariy, para ahli bahasa tidak membedakan arti antara fu’ad dan qalb, dan setiap dari keduanya dapat dimengerti dari yang lain. Lebih lanjut dia mengatakan, para ahli hadits menyifati fu’ad dengan riqqah (halus) dan qalb dengan layn (lembut). Hal ini dikarenakan fu’ad adalah tutup dari qalb, yang apabila sebuah perkataan halus/membuat simpati (taraqqa), maka akan berlajut sampai pada bagian yang lebih dalam. Akan tetapi, bila keras/salah (ghalath) sampainya ke bagian dalam akan terhalang.[21]
Pendapat al-‘Askariy di atas tampaknya terilhami dari hadits Rasululullah Saw., “kepada kalian (para sahabat) akan datang penduduk Yaman. Mereka itu qalb-nya lebih halus dan fu’ad -nya lebih lembut”.[22] Dalam hadits tersebut, penggunaan kata qalb seolah-olah lebih spesial daripada fu’ad . Karena itulah orang-orang Arab mengatakan, “Ashabtu habbata qalbihi wa suwaida’a qalbih” (aku meraih biji dan kehitaman jantungnya). Ibn Manzhur berpendapat bahwa fu’ad merupakan selaput “jantung” qalb, sedangkan qalb merupakan “empedu” fu’ad .[23]
Pendefinisian seperti ini memperkuat makna khusus yang lebih pada qalb daripada fu’ad , baik dari sisi maknawi (arti abstrak) maupun inderawi untuk dijadikan tamsil. Dengan demikian, terdapat perbedaan arti antara kata fu’ad dan qalb dari makna khusus yang sekunder dan dari sebagian makna-makna di mana masing-masing mempunyai ciri-ciri tertentu yang menonjol.
Selain fu’ad , kata lain yang disandarkan kepada qalb adalah lubb (mufrad dari jama‘ albab) dan shadr (mufrad dari jama‘ shudur). Ibn Manzhur mengatakan lubb seorang lelaki adalah apa yang berada dalam qalb-nya, yaitu akal.[24] Al-Raghib al-Ashfahaniy mengatakan lubb adalah akal murni yang terbebas dari cacat. Lubb lebih suci dari akal, sehingga dikatakan, setiap lubb adalah akal tetapi bukan setiap akal adalah lubb.[25] Adapun shadr disebut sebagai tempat dari qalb. Perkataan al-qulub allati fi al-shudur menurut Ibn Manzhur adalah bentuk taukid, karena qalb tidak ada kecuali dalam shadr.[26]
Al-Raghib al-Ashfahaniy mengungkapkan bahwa dalam al-Quran, setiap dikatakan qalb maka mengisyaratkan pada ‘aql dan ilmu, dan setiap dikatakan shadr mengisyaratkan hal yang sama, serta hal lain yang menyangkut syahwat, hawa nafsu, kemarahan dan lain sebagainya.[27]
[1] Ibn Manzhūr, Lisān al-‘Arab, (Beirut: Dār al-Shādir, 1992), Juz I, hlm. 686-689
[2] ibid. Lihat juga: al-Azhariy, Tahdzīb al-Lughah, (Kairo: Dār al-Mishriyah li al-Ta’līf wa al-Tarjamah, t.th.), juz 9, hlm. 172
[3] QS. al-Syu’arā’: 193-194
[4] Ibn Manzhūr, Op. Cit.
[5] Muhammad ‘Abdullāh al-Syarqawiy, Op.Cit, hlm. 51
[6] Ibn Manzhūr, Op. Cit.. Lihat juga: Muhammad bin Muhammad bin ‘abd al-Razzāq al-Husain al-Zabīdiy, Tāj al-Arūs min Jawāhir al-Qamūs, versi CD: al-Maktabah al-Syāmilah, edisi II, hlm. 871
[7] Ibn Manzhūr, Op. Cit.. Lihat juga: Muhammad bin Muhammad bin ‘abd al-Razzāq al-Husain al-Zabīdiy, Op. Cit., hlm. 875
[8] QS. al-Ahzāb: 66. Al-Rāghib al-Ashfihāniy, Mu‘jam Mufradāt Alfādz al-Qur’ān, (Damaskus: Dār al-Qalam, t.th.) juz II, hlm. 258-259
[9] ibid.
[10] QS. al-Kahfi: 42
[11] QS. al-Mu’minūn: 4, ibid.
[12] Ibn Manzhūr, Op. Cit.
[13] QS. Qāf: 37
[14] Ibn Manzhūr, Op. Cit.
[15] Ibid.
[16] Attabik Ali dan Ahmad Zuhdi, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penerjemahan al-Quran, 1973), hlm. 353
[17] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Pondok Pesantren al-Munawwir, t.th.), hlm. 1232
[18] Ibn Manzhūr, Op. Cit.
[19] Al-Rāghib al-Ashfihāniy, Op. Cit., hlm. 207
[20] Al-Azhariy, Tahdzīb al-Lughah, Op. Cit.
[21] Abū Hilāl al-‘Askariy, al-Furūq al-Lughawiyyah, versi CD: al-Maktabah al-Syāmilah, edisi II, hlm. 433
[22] Lihat juga: al-Azhariy, Tahdzīb al-Lughah, Op. Cit.,Juz III, hlm. 333
[23] Ibn Manzhūr, Op. Cit., Juz III, hlm. 328-329
[24] Ibid., Juz I, hlm. 729-735
[25] Al-Rāghib al-Ashfihāniy, Op. Cit., juz I, hlm. 570
[26] Ibn Manzhūr, Op. Cit., Juz I, hlm. 686-689
[27] Al-Rāghib al-Ashfihāniy, Op. Cit. juz II, hlm. 328
No comments:
Post a Comment