Puasa dalam pandangan Islam adalah ibadah vertikal, langsung kepada Illahi Rabbi dilakukan oleh seseorang hamba secara sendiri-sendiri (individual). Pesan untuk berpuasa bagi segenap umat Islam disandarkan pada etika yang terdapat dalam al-Qur’an yang menjadi pedoman mutlak bagi kebebasan maupun keabsahannya dalam kehidupan.[1] Jelas al-Qur’an menyatakan bahwa tujuan puasa yang hendaknya diperjuangkan adalah untuk mencapai ketakwaan atau realisasi ketakwaan yakni menjalankan perintah Allah dan menjauhkan diri dari segala sesuatu yang dilarang-Nya[2] dan la’allakum tattatquun. Ini berarti bahwa menahan diri dari lapar dan dahaga bukan tujuan utama dari puasa. Puasa merupakan satu ibadah yang unik. Segi keunikannya misalnya, bahwa puasa merupakan rahasia antara Allah dan pelakunya. Bukankah manusia yang berpuasa dapat bersembunyi untuk minum dan makan? Bukankah sebagai insan, siapapun yang berpuasa, memiliki keinginan untuk makan atau minum pada saat-saat tertentu dari siang hari puasa?
Kalau demikian, apa motivasinya menahan diri dari keinginan itu tentu bukan karena takut atau segan dari manusia, sebab jika demikian, dia dapat bersembunyi dari pandangan mereka. Namun kenyataannya manusia melaksanakan ibadah puasa hanya karena Allah SWT semata,[3] bukan karena unsur lain.
Berpuasa bagi orang Islam bukan saja berbakti kepada Allah, tetapi disiplin jiwa dan moril, suatu kesadaran hidup yang tinggi bukankah tidak ada daya nafsu yang lebih besar dari pada melepaskan lapar, sedang makan dan minuman dibawah dipelupuk mata, meskipun demikian, daya nafsu ini dikalahkan oleh orang yang berpuasa.[4]
Puasa telah lama dikenal oleh umat manusia, namun mereka bukan berarti telah usang atau ketinggalan zaman. Karena generasi abad sekarang inilah masih melakukannya. Puasa dalam arti “mengendalikan dan menahan diri untuk tidak makan dan minum dalam waktu–waktu tertentu” dilakukan antara lain dengan tujuan memelihara kesehatan atau merampingkan tubuh, atau dalam bentuk mogok makan sebagai pertanda protes atas perlakuan pihak lain, atau dilakukan sebagai tanda solidaritas atas malapetaka yang menimpa teman atau saudara, sepertiyang terdapat disentara suku-suku di India dan lainnya yang hingga kini masih berlaku. Puasa dengan makna ragam tujuan dan bentuk tersebut dihimpun oleh satu esensi, yaitu “pengendalian diri”. Puasa yang dilakukan umat Islam digaris bawahi oleh al-Qur’an sebagai “bertujuan untuk memperoleh takwa”.
Tujuan tersebut tercapai dengan menghayati arti puasa itu sendiri. Memahami dan menghayati arti puasa memerlukan pemahaman terhadap dua hal pokok yang menyangkut hakikat manusia dan kewajibannya di bumi ini.
Pertama, manusia diciptakan oleh Tuhan dari tanah, kemudian dihembuskan kepadanya Ruh ciptaan-Nya, dan diberikan potensi untuk mengembangkan dirinya hingga mencapai satu tingkat yang menjadikannya wajar untuk menjadi Khalifah (pengganti) Tuhan dalam memakmurkan bumi ini.
Kedua, dalam perjalanan manusia menuju ke bumi, ia (Adam) melewati (”transit” di) surga, agar pengalaman yang diperolehnya disana dapat dijadikan bekal dalam menyukseskan tugas pokok di bumi ini. Pengalaman tersebut antara lain adalah persentuhannya dengan keadaan di surga itu sendiri.[5]
Ibadah puasa bukan hanya sekedar rutinitas tahunan (bulan Ramadhan) dengan mengerjakan amal ibadah seperti membaca al-Qur’an, shalat tarawih dan berbagai aktivitas rutin lainnya, akan tetapi lebih dari itu, ibadah puasa hendaknya dapat mendidik seseorang mengantarkan pribadi-pribadi yang tangguh, memiliki komitmen moral yang tinggi serta membentuk kepribadian muslim yang paripurna.[6]
Secara jelas al-Qur’an menyatakan bahwa tujuan puasa yang hendaknya diperjuangkan adalah untuk mencapai ketakwaan atau la’allakum tattaqun.[7] Dalam rangka memahami tujuan tersebut agaknya perlu digaris bawahi, banyak diantara orang yang berpuasa tidak memperoleh sesuatu dari puasanya, kecuali rasa lapar dan dahaga.[8] Banyak orang berpuasa tidak ada nilai baginya kecuali lapar dan dahaga. Dan banyak orang bangun malam tidak ada nilai baginya selain terjaga (tidak tidur) dan kepayahan.[9] Itu adalah hasil yang diperoleh oleh orang yang berpuasa ketika tidak tahu apa yang menjadi tujuan pokoknya.
Ada pengartian arti takwa itu sendiri; yang diartikan menurut masing-masing huruf hijaiyyah pembentuk kata ’taqwa’ (dalam bahasa Arab), memberikan ciri-ciri orang yang bertakwa sebagai berikut.
Pertama, Tawadu’, maksudnya, sopan santun, tidak sombong, tidak berbuat sewenang-wenang. Orang yang bertakwa meyadari bahwa dirinya bukan apa-apa. Apa yang ada pada dirinya: pangkat, kedudukan, jabatan atau kekayaan, hanyalah barang titipan yang pada saatnya nanti akan diambil oleh Allah, karena Allah lah pemiliknya yang hakiki, maka dari itu sungguh tidak pantas ketika puasa seseorang menyombongkan diri dengan modal barang titipan.
Kedua, Amanah, maksudnya, bersikap sederhana, bila seseorang telah mampu menyadari siapa dirinya dan mampu menekan egonya yang tidak baik, maka ia tidak akan bersikap aneh (yang menyalahi aturan agama). Tidak ambisius untuk mencapai sesuatu dengan jalan yang tidak benar.
Ketiga, wara’, menjaga diri dari semua perbuatan dan makanan yang tidak halal, orang yang bertakwa tidak akan melakukan penyelewengan, tidak akan korup dan tidak akan melakukan perbuatan yang tidak benar.[10]
Puasa merupakan suatu rangka pokok dari rangka-rangka pembinaan iman, dalam nash al-Qur’an dan al-Hadits, serta ijma’ yang muktabar menyatakan bahwa puasa benar-benar suatu rangka dari kerangka pembinaan iman puasa. Suatu rukun dari rukun dari rukun-rukun Islam, dan suatu ibadah ruhiyah yang positif yang difardhukan secara tetap dan teguh.[11]
Puasa merupakan salah satu ibadah besar dalam agama Islam. Ia termasuk dalam amal badani, amal nafsi (amal yang berkaitan dengan jiwa) dan amal Ijabi (amal yang positif) karena itu puasa melibatkan jasmani dan rohani sekaligus, hal ini berbeda dengan ibadah lain, yang lain hanya melibatkan jasmani atau rohani saja, disamping itu pula puasa Ramadhan dilakukan dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga hal ini terasa berat.
Dikatakan amal badani karena puasa menuntut adanya kemampuan dari segi fisik. Yang diwajibkan puasa adalah orang-orang yang mampu untuk melaksanakannya. Diluar itu tidak ada kewajiban baginya, karena ia merupakan salah satu syarat wajib berpuasa. Oleh sebab itu, orang-orang yang tidak mampu seperti orang sakit, orang dalam perjalanan, orang yang sudah tua renta hamil atau menyusui tidak diwajibkan berpuasa akan tetapi bagi mereka adalah mengganti pada hari-hari yang lain atau membayar fidyah.
فمن كان منكم مريضا او على سفر فعدّة من أيّام أُخر و على الذين يطيقونه فدية طعام مسكين
Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berkata), maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak puasa) membayar fidyah (yaitu): memberi makan seorang miskin. (Qs. al-Baqarah: 184)
عن ابي هريرة رضي الله عنه ان رسول الله صلى الله عليه و سلم قال الصيام جُنّة فإذا كان احدكم صائما فلا يرفث و لا يجهل و ان امرؤ قاتله او سابه فليقل انّي صائم مرتين و الذي نفسي بيده لخلوف فم الصائم أطيب عند الله تعالى من ريح المسك يترك طعامه و شرابه من أجلي الصيام لي و انا أجزي به و الحسنةبعشر أمثالها (رواه البخاري)
Dari Abi Hurairah r.a Sesungguhnya Rasulullah telah bersabda: “Puasa itu benteng, janganlah ia berkata keji, dan mencaci maki! Seandainya ada orang yang mengajaknya berkelahi atau mencaci makinya hendaklah ia dikatannya: “Saya ini berpuasa” dua kali. Demi Tuhan yang nyawa Muhammad berada ditangan-Nya, bau mulut orang yang berpuasa, lebih harum disisi Allah dari pada bau kasturi, firman-Nya: “Ditinggalkannya makan minum dan syahwat karena aku. Puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku yang akan memberikannya ganjaran, sedang setiap kebajikan itu akan memberinya ganjaran sepuluh kali lipat”.[12]
Menurut Quraish Shihab puasa yang dilakukan umat Islam digaris bawahi al-Qur’an sebagai: ”bertujuan untuk memperoleh takwa”. Tujuan tersebut tercapai dengan menghayati arti puasa itu sendiri. Memahami dan menghayati arti puasa memerlukan pemahaman terhadap dua hal pokok menyangkut hakekat manusia dan kewajibannya di bumi ini.
Pertama, manusia diciptakan oleh Allah dari tanah kemudian dihembuskan kepadanya ruh ciptaan-Nya dan diberikan potensi untuk mengembangkan dirinya hingga mencapai satu tingkat yang menjadikannya wajar untuk menjadi Khalifah (pengganti) Tuhan dalam memakmurkan bumi ini Tuhan menciptakan manusia diberi potensi untuk memiliki sifat-sifat Tuhan sesuai dengan kemampuan sebagai makhluk.
Kedua, dalam perjalanan manusia menuju ke bumi Adam melewati surga, agar pengalamannya disana dapat dijadikan bekal dalam menyukseskan tugas pokoknya di bumi. Hal ini mendorongnya untuk menciptakan bayangan surga di bumi, sebagaimana pengalamannya dengan setan mendorongnya untuk berhati-hati agar tidak terpedaya lagi sehingga mengalami kepahitan yang dirasakan ketika terusir dari surga.[13]
[1] Syahrin Harahap et. al., Nasehat Para Ulama’ Hikmah Puasa, Berpuasalah Agar Hidup dibimbing Menuju-Nya, Raja Grafindo Jaya, Jakarta, 2001, hlm. 137.
[2] Wabah al-Zuhaili, Puasa Dan I’tikaf, Kajian Berbagai Mazhab, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1998, hlm.86.
[3] Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1992, hlm. 530-531.
[4] R.H. Su’dan, al-Qur’an Dan Panduan Kesehartan Masyarakat, Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta, 1997, hlm. 223.
[5] Quraish Shihab, Op. Cit., hlm. 307.
[6] Syahrin Harahap, et,al., Op. Cit., hlm. 137.
[7] Quraish Shihab, Op. Cit., hlm. 230.
[8] Ibid.,hlm. 231.
[9] Rahman, Hikmah Puasa Tinjauan Ilmu Kesehatan, PT. Mawardi Prima, Jakarta, 2001, hlm. 58.
[10] Nur Ahmad (eds), Kompas, Jakarta, 2000, hlm. 66-67.
[11] Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Pedoman Puasa, Pustaka Rizki Pustaka, Semarang, 2000, hlm. 15.
[12] Syeih Ibrahim al-Bajuri, Hasiyah al-Bajuri ‘Ala Ibnu Qasim, al-Ma’arif, Bandung, t.th, hlm. 226.
[13] Quraish Shihab, Op. Cit., hlm.307-308.
No comments:
Post a Comment