HAJI MABRUR

haji
1. Pengertian Haji Mabrur
Haji mabrur menurut bahasa berasal dari bahasa Arab “Hajjun Mabrur”yang masyhur diucapkan dalam bahasa indonesia menjadi “Haji Mabrur”, kedua kata tersebut terdiri dari kata “Hajju” dan “Mabrur”. Lafadz “Hajju” berasal dari akar kata (حَجَّ – يَحُجُّ - حَجاًّ) yakni (قَصَدَ) yang berarti menyengaja atau bermaksud, dari sini maka dapatlah diuraikan bahwa makna atau arti asal kata tersebut adalah menyengaja,[1] yang kemudian pemakaiannya dalam syara’ (agama) adalah menyengaja mengunjungi Baitullah (Ka’bah) untuk berhaji maupun untuk berumrah. Sedangkan, mabrur seperti yang dikutip oleh SudirmanTeba bahwasanya menurut Nurcholis Madjid kata “Mabrur” adalah berasal dari bahasa Arab “Barra” (berbuat baik/patuh), kemudian menjadi “Birrun / al-Birru” yang berarti kebaikan.[2]
Sering juga haji mabrur diterjemahkan sebagai haji yang diterima oleh Allah SWT, dengan kata lain haji mabrur ialah haji yang mendapat kebaikan atau haji yang pelakunya menjadi baik. Jadi, haji mabrur adalah haji yang menjadikan orang setelah melakukan atau sepulang ke kampung halamannya memiliki komitmen sosial yang lebih kuat,[3] komitmen sosial itulah yang sebetulnya menjadi indikasi dari kemabruran haji yakni sepulangnya melakukannya menjadi manusia baik, jangkauan amal dan ibadahnya jauh ke depan serta berdimensi sosial.
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, maka ibadah haji dapat dikatakan hanya ada dua macam yaitu: haji makbul (haji yang diterima) dan haji mardud (haji yang ditolak). Haji yang diterima ini diberi batasan sebagai ibadah haji yang tidak dicampuri dengan dosa, sunyi dari riya’ dan tidak dinodai dengan rofas, fusuq dan jidal. Sedangkan haji mardud dibatasi oleh ciri-ciri bercampur dosa dan keharaman, sebagaimana Rasulullah SAW menjelaskan penolakan Allah SWT kepada orang-orang yang datang berhaji dengan bekal haram,
لاَ لَبَّيْكَ وَ لاَ شَرِيْكَ عَلَيْكَ وَ طَعَامُكَ حَرَامٌ وَ لِبَاسُكَ حَرَامٌ وَ حَجُّكَ مَرْدُودٌ
Tidak ada talbiyah bagimu dan tidak ada pula keberuntungan atasmu karena makananmu haram, pakaianmu haram dan hajimu ditolak.
Para ulama sepakat memberikan batas perbedaan maknaantara kedua istilah haji “maqbul” dan “mardud”. Haji “maqbul” adalah haji yang diterima dan mendapat pahala sesuai dengan yang dijanjikan dan menghapus kewajiban seseorang dari kewajiban haji, sedangkan Haji “mabrur” adalah haji yang mampu menghantarkan pelakunya kelak bisa lebih baik dari pada hari-hari sebelumnya ia berhaji.
عَمَلُهُ بَعْدَ الحَجِّ خَيْرٌ مِنْ قَبْلِهِ
Amal perbuatannnya setelah ibadah haji lebih baik dari pada sebelumnya.
Dengan demikian maka haji mabrur sudah pasti maqbul, akan tetapi tidak semua haji maqbul menjadi haji mabrur, karena kemabruran haji seseorang ditentukan dengan perilaku ibadah dan amaliyahnya setelah pelaksanaan hajinya.
2. Makna Haji Mabrur
Haji mabrur adalah haji yang ditandai dengan berbekasnya makna simbol-simbol amalan yang dilaksanakan di tanah suci, sehingga makna-makna tersebut terwujud dalam bentuk sikap dan tingkah laku sehari-hari.[4]
Pelestarian kemabruran haji tersebut membutuhkan upaya-upaya yang sebenarnya menjadi inti atau hikmah dari beberapa amaliah dalam ibadah haji, yang harus disosialisasikan di luar haji dan senantiasa diamalkan dalam kehidupan sehari-hari antara lain adalah:
a. Pengambilan atau penentuan sikap untuk berbuat sesuai aturan merupakan realisasi pengambilan sikap miqat ihram, sehingga seorang muslim senantiasa dituntut untuk selalu bermiqat dalam satu hal yang akan dikerjakannya untuk berbuat sesuai dengan aturan (syari’at).
b. Mengenakan pakaian ihram melambangkan persamaan derajat kemanusiaan serta menimbulkan pengaruh psikologis bahwa yang seperti itulah dan dalam keadaan demikianlah seseorang menghadap Allah SWT pada saat kematiannya.[5]
c. Senantiasa mendahulukan atau mementingkan panggilan Allah SWT dan tidak membaurkannya dengan niat, pemikiran dan tujuan lain merupakan manifestasi dari ungkapan talbiyah: (لَبَّيْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ).
d. Thawaf yaitu mengelilingi ka’bah sebanyak tujuh putaran yang dimulai dan diakhiri di Hajar Aswad, hakekat dari thawaf ini adalah kitabagai diajak untuk mengikuti perputaran waktu dan peredaran peristiwa namun tetap berdekatan dengan Allah SWT.[6]
e. Kata Sa’i adalah usaha, yang bisa dikembangkan dalam hidup baik pribadi, keluarga maupun masyarakat. Ibadah ini memberikan makna sikap optimis serta usaha yang keras serta penuh kesabaran dan tawakal kepada Allah SWT dalam menghadapi berbagai tantangan yang terjadi.
f. Intropeksi diri dalam setiap saat, apa dan bagaimana ia semestinya bersikap dan berbuat adalah merupakan cerminan makna wukuf di arafah. Hal ini sejalan dengan amanat dari Amirul Mu’minin sayidina Umar bin Khatab ra yang berbunyi:
حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا
Intropeksilah dirimu sebelum diinterogasi dihari perhitungan kelak.
g. Kegiatan untuk menyembelih qurban adalah menyadari bahwa ibadah haji adalah laksana jihad menegakkan agama Allah SWT, memperlihatkan keta’atan yang sempurna serta menunaikan kewajiban bersyukur kepada Allah SWT berupa nikmat tebusan (untuk bershodaqoh kepada fakir miskin).
h. Kesediaan untuk sewaktu-waktu beri’tikaf, berkhalwat, dan mencoba lebih mengenali alam lingkungan sambil berdzikir kepada Allah SWT merupakan cerminan dari pada makna mabit di Muzdalifah.[7]
i. Bertekad membelakangi segala kemaksiatan dan membencinya merupakan makna “ramyul jamarat” (melontar jumroh) dengan janji diri membuang dan melemparkan segala cela’an diri dan mengutuk serta menghancurkan segala kemaksiatan.
j. Wukuf di Arafah mengingatkan manusia akan situasi di Mahsyar kelak pada hari kiamat, telanjang, tidak beralas kaki, kepada gundul, dalam kesedihan, ketakutan dan sebagainya.[8]
k. Menghindari seluruh aktifitas yang dapat berdampak negatif dalam lingkungan kehidupan, merupakan realisasi untuk tidak berburu binatang buruan, memotong pepohonan dan menyakiti orang lain.
l. Cinta kedamaian, berjiwa sosial dan tolong-menolong merupakan makna berjama’ah dalam rangkaian semua ibadah.
m. Kesiapan memberikan kesempatan orang lain mendapatkan kemuliaan, digambarkan dalam kesiapan mengalah untuk cukup melambaikan tangan ke hajar aswad, apabila dalam keadaan sulit untuk menyentuhnya dan sekaligus sebagai makna mengutamakan keselamatan bersama.
n. Selama ibadah haji dilarang melakukan kemaksiatan dan kemarahan adalah merupakan proses melatih diri menahan nafsu dan angkara murka.[9]
o. Memasuki kota Mekkah artinya kita telah sampai di tanah suci yang dimuliakan Allah SWT agar kita selamat dari hukuman pada hari perhitungan.
p. Hijir Ismail yang arti harfiyahnya pangkuan Ismail (ibu nabi Ismail) memberikan pelajaran bahwa Allah SWT memberikan kedudukan untuk seseorang bukan karena keturunan atau status sosial akan tetapi karena kedekatannya kepada Allah SWT.[10]
q. Kendaraan yang mengangkut serta mengantar adalah cerminan bahwa kita ibarat jenazah yang sedang diangkut menuju negeri akhirat.[11]
Itulah makna dan hakekat haji, maka dapatlah dijelaskan bahwa peribadatan kepada Allah SWT, sekalipun berlainan cara dan ragamnya akan tetapi mempunyai satu tujuan yaitu keta’an dan bukti penghambaan diri dengan sebenar-benarnya, ikhlas menta’ati perintah dan hanya berserah diri kepada Allah SWT.[12]
Dengan demikian ibadah haji merupakan kumpulan simbol-simbol yang sangat indah apabila dihayati dan diamalkan secara baik dan benar, maka pasti akan mengantarkan setiap pelakunya dalam lingkungan kemanusiaan yang benar sebagaimana dikehendaki Allah SWT.
3. Kemabruran Haji dalam Berbagai Aspek
a. Kemabruran Haji dalam Aspek Kepribadian
Di kota-kota besar banyak tumbuh sekolah pendidikan kepribadian yang berkaitan erat dengan "publik relation", pekerjaan yang mempunyai hubungan dengan masyarakat. Murid-murid diajarkan tata krama, sopan santun menghadapi orang, berbusana yang baik sehingga orang yang melihatnya senang, berbicara dan bergaul dengan orang-orang sehingga merasa percaya terhadapnya.
Kepribadian tidak bisa terbentuk dalam masa yang singkat, karena kepribadian bersenyawa dengan temperamen yang sifatnya bawaan sejak lahir. Kepribadian tidak cukup hanya dipoles dari luar sebab pembentukan kepribadian tumbuh dari dalam, pembinaannya perlu waktu yang panjang sejak dalam kandungan, balita, anak-anak, remaja, pemuda hingga dewasa, terus berkesinambungan. Pengetahuan teknik seperti berdialog, bergaul dan penampilan semuanya itu hanya bersifat menipu belaka tidak bisa mengubah watak dan tidak bisa mempengaruhi temperamen.
Manasik merupakan pendidikan kepribadian metode ciptaan Allah SWT, berbeda dengan pendidikan yang diciptakan oleh Allah SWT ini, manasik benar-benar dapat mengubah karakter dan mempengaruhi temperamen yang begitu kuat, jika yang dididiknya melakukan ibadah haji dengan benar-benar memahami sandi-sandi (materi kerahasiaan) yang terkandung dalam pelaksanaan ibadah haji. Pendidikan ciptaan Illahiyah yang bernama haji ini sangat memerlukan kematangan jasmani, disamping diperlukan kesehatan jasmani yang prima juga diperlukan adanya kematangan jiwa untuk menghadapi segala macam cobaan dan ujian, selain itu kematangan rohani juga diperlukan sebagai pakaian dalam menerima didikan dari Allah SWT.
Potret haji mabrur tidak hanya dinilai pada saat proses ibadah haji tersebut berlangsung, tapi juga harus dinilai sejak persiapan termasuk bekal yang halal saat melaksanakan sesuai manasik yang diajarkan dan amalan setelah ibadah haji selesai. Indikator kemabruran haji tersebut adalah:
1) Patuh melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT seperti patuh melaksanakan sholat, konsekuen membayar zakat, sungguh-sungguh dalam membangun keluarga sakinah mawadah wa rahmah serta selalu rukun dengan sesama umat manusia dan sayang kepada mahluk Allah SWT.
2) Konsekuensi meninggalkan apa yang dilarang olehAllah SWT, baik berupa dosa besar maupun dosa kecil seperti syirik, riba, zina, judi, membunuh orang, bertengkar, menyakiti orang lain, dan lain-lainya.
3) Gemar melaksanakan ibadah-ibadah sunat dan amalan shalih lainya serta berusaha meninggalkan perbuatan-perbuatan yang makruh dan tidak bermanfaat.
4) Aktif berkiprah dalam memperjuangkan, mendakwahkan Islam serta sungguh-sungguh dalam amar ma’ruf nahi mungkar tidak dengan cara yang mungkar.[13]
5) Memiliki sifat terpuji seperti sabar, syukur, tawakal, tasamuh, pemaaf, tawadhu’ dan lain-lainnya.
6) Malu kepada Allah SWT untuk melakukan perbuatan yang dilarangnya.
7) Semangat dan sungguh-sungguh dalam menambah dan mengembangkan ilmu pengetahuan terutama ilmu-ilmu Islam.
8) Bekerja keras dan tekun untuk memenuhi keperluan diri, keluarga dan dalam rangka membantu orang lain serta berusaha untuk tidak membebani dan menyulitkan orang lain.
9) Cepat melakukan taubat apabila terlanjur melakukan kesalahan dan dosa, tidak membiasakan diri pro-aktif dengan perbuatan dosa, serta tidak mempertontonkan dosa dan tidak betah dalam setiap aktivitas yang dapat menyebabkan dosa.
10) Sungguh-sungguh memanfaatkan segala potensi yang ada dalam dirinya untuk menolong orang lain dan menegakkan “Izzul Islam Wal Muslimin”.
b. Kemabruran Haji dalam Aspek Kehidupan Sosial
Peningkatan iman diwujudkan antara lain dalam bentuk menguatnya kesadaran seseorang tentang kebesaran Allah SWT. Peningkatan ibadah ini dibuktikan dalam bentuk pelaksanaan ibadah secara sempurna, peningkatan-peningkatan amal-amal shaleh diwujudkan antara lain:
1) Menegakkan sholat berjama’ah
Sholat berjama’ah merupakan amaliah yang sangat dipentingkan oleh Rasulullah SAW. Bagi seseorang yang telah melaksanakan ibadah haji, serta memahami dengan betul bahkan menghayati bagaimana penting sholat jama’ah akan menjadi pelopor kemakmuran masjid. Ia akan senantiasa menegakkan sholat berjama’ah di masjid tempat ia tinggal, menjadi teladan kepada masyarakat bahkan ia akan tegakkan sholat jama’ah dimanapun berada.[14]
2) Menyantuni anak yatim dan fakir miskin
Anak yatim dan fakir miskin adalah amanah dari Allah SWT kepada para hambanya yang memiliki kemampuan dan kesanggupan harta benda. Sebagaimana yang diamanatkan dalam ayat suci Al-Qur’an diantaranya adalah:
Adapun terhadap anak yatim maka janganlah kamu berlaku sewenang-wenang. Dan terhadap orang yang meminta-minta maka janganlah kamu menghardiknya. Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).
3) Menjenguk orang sakit dan meninggal
Menjenguk orang sakit, mendatangi orang yang meninggal serta mengantarkannya ke pemakaman serta memberikan ta’ziyah kepada keluarga yang ditimpa bencana merupakan amaliah yang sangat terpuji dan dianjurkan oleh Rasulullah. Seorang muslim yang telah mengerjakan haji apabila mendengar berita tersebut akan senantiasa segera datang dan menyambutnya. Hal ini merupakan manifestasi dari ucapan talbiyah yang pernah ia serukan di tanah suci membekas dalam hati tidak hanya sebatas ucapan bibir saja. Hal ini senada dengan sabda Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya yang berbunyi:
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ رَدُّ السَّلامِ وَ إِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَ تَشْمِيَةٌ الْعَاطِشِ وَ عِيَادَةُ الْمَرِيْضِ وَ إِتْبَاعُ الْجَناَئِزِ
Hak seorang muslim atas muslim yang lainnya ada lima, yaitu menjawab salam, mengunjungi yang sakit, mengantar jenazah, memenuhi undangan dan menjawab orang yang bersin apabila mengucapkan hamdalah.
4) Kerja bakti dan saling tolong menolong
Kerja bakti atau saling tolong menolong adalah perbuatan yang sangat terpuji, di dalam Islam dikenal dengan sebutan “at-ta’awun”. Anjuran untuk saling tolong menolong ini termaktub dalam ayat suci al-Qur’an yang berbunyi:
Dan tolong menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
5) Mendamaikan orang yang berselisih
Seorang yang telah melaksanakan ibadah haji diharapkan dapat mengaktualisasikan predikat yang melekat pada dirinya sebagai duta Allah SWT, sehingga jika seorang haji mendengar ada orang yangbersengketa maka berita itu merupakan undangan dari Allah SWT untuk datang mendamaikannya.
Banyak cara untuk mendamaikan orang yang bersengketa, kewajiban juru damai adalah beriktiar bagaimana dua orang yang berselisih itu bisa Ishlah (damai), sedangkan hasilnya diserahkan kepada Allah SWT. Dan usaha yang paling minim adalah berdoa agar hati kedua orang yang berselisih itu disambungkan kembali oleh Allah SWT dan hidup rukun seperti sediakala.[15]
c. Kemabruran Haji dalam Aspek Ubudiyah
Sesungguhnya kemabruran haji seseorang dapat dilihat dari perubahan sikap, perilaku dan amalan ibadah yang lebih baik (meningkat) dibanding sebelum melaksanakan ibadah haji, oleh karena itu nilai kemabruran haji dalam ubudiyah dapat diaktulisasikan melalui beberapa tahapan baik ubudiyah yang bersifat “Mahdah” atau ibadah murni seperti: sholat, puasa, haji maupun ibadah “Ghairu Mahdah” atau ibadah tidak murni seperti: sabar, syukur, jujur. Indikasikemabruran haji dalam ubudiyah nampak pada kepribadian seseorang yang telah berhaji antara lain sebagai berikut:
1) Kualitas ibadah shalat
Sholat yang berkualitas adalah shalat yang dilakukan dengan khusyu’ dan melahirkan perubahan perilaku seseorang menjadi taat kepada Allah SWT untuk meraih keridhaannya, menjauhkan diri dari perbuatan maksiat dan munkarat yang tidak di senangi oleh Allah SWT. Jika hal ini dikaitkan dengan kemabruran haji seseorang maka jelaslah bahwa orang yang hajinya mabrur otomatis dia akan melaksanakan shalat dengan menjaga waktunya, dilaksanakan dengan ikhlas, khusyu’, rendah diri dan menjauhkan diri dari perbuatan maksiat dan kemungkaran.[16]
2) Meningkatnya ibadah puasa dan membiasakan membaca al-Qur’an
Puasa merupakan ibadah, bahkan puasa bulan Ramadhan termasuk salah satu rukun Islam yang harus dikerjakan oleh seluruh muslim. Untuk menjaga kelestarian haji mabrur maka salah satunya adalah melaksanakan ibadah puasa, baik puasa di bulan Ramadhan atau puasa sunnah serta membiasakan membaca Al-Qur’an untuk menambah pengetahuan agama.
Selain tujuan puasa untuk meraih taqwa kepada Allah SWT, puasa juga dapat mengendalikan syahwat disamping juga untuk meningkatkan kesehatan. Bahkan kedua ibadah ini (puasa dan membaca Al-Qur’an) menjadi syafa’at (penolong) pada hari kiamat kelak.
3) Meningkatkan rasa syukur dan tawakkal
Mensyukuri nikmat dan tawakal merupakan perintah Allah SWT kepada hambanya dan termasuk kategori ibadah, dalam kaitannya dengan kemabruran haji maka kedua harus tetap dijaga dan ditingkatkan. Seseorang yang telah melaksanakan haji berarti dia telah mendapat nikmat yang wajib disyukuri kemudian tawakkal kepada Allah SWT. Syukur kepada Allah ini adalah syukur dalam arti berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya lalu berserah diri kepada Allah SWT. Hal ini seperti yang firmankan Allah SWT dalam Al Qur’an yang berbunyi:
Dan ingatlah tatkala Tuhanmu memerintahkan, sesungguhnya jika kamu bersyukur pasti aku akan menambah nikmat kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmatku) maka sesungguhnya azabku sangat pedih.
4) Memelihara akhlaq terpuji
Akhlaq terpuji atau akhlaqul karimah adalah termasuk amal ibadah yang utama dan menjadi perilaku bagi orang-orang shaleh dalam pergaulan dengan lingkungan dan masyarakatnya. Hal ini telah ditunjukkan oleh para nabi, sahabat dan para ulama selaku pemimpin umat dan sekaligus menjadi panutan atau suri tauladan yang baik.[17]
Sebagai orang yang telah mendapatkan anugerah dari Allah SWT dengan melaksanakan ibadah haji, maka kemabruran haji itu hendaknya dapat diaktualisasikan melalui akhlaq karimah yang melekat pada dirinya, yakni dalam rangka membina hubungan, bergaul dengan kawan sejawat dan menjalin persaudaraan dalam lingkungan masyarakat. Hal ini sebagaimana dalam hadits yang berbunyi:
إِتَّقِ اللهَ حَيْثُماَ كُنْتَ و اتَّبِع السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمحُهاَ وَ خَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
Bertaqwalah kepada Allah dimana saja engkau berada dan susullah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, maka akan menghapus keburukan dan pergaulilahmanusia dengan akhlaq yang baik.
5) Memelihara kejernihan hati dan kejujuran
Kejernihan hati dan kejujuran bagi haji mabrur suatu keharusan yang melekat pada dirinya. Orang mukmin yang terpercaya adalah orang yang hatinya bersih dan jujur, dia tidak mudah terjerumus pada ucapan dan perbuatan maksiat dan kedzaliman yang sering merugikan orang lain.[18]
Perlunya memelihara kejujuran sebagai salah satu indikasi kemaburan haji harus tetap dilestarikan dalam kehidupan sehari-hari baik jujur dalam ucapan maupun perbuatan. Seseorang yang mampu memelihara ucapan yang benar dan perbuatan yang jujur, dialah orang yang tergabung sebagai orang yang sempurna. Rasulullah bersabda dalam haditsnya yang berbunyi:
عن عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنهما أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ رَسول الله صلى الله عليه و سلم أَيُّ المُسْلِمينَ خَيْرٌ قَالَ مَن سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِن لِسَانِهِ وَ يَدِهِ
Dari Abdullah bin Amru bin Al-Ash, bahwasannya seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah SAW, bagaimana muslim yang terbaik? Beliau menjawab, orang yang lisan dan tangannya tidak menyakiti muslim.
Dari uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa kemabruran haji seseorang dalam ubudiyah dapat terlihat manakala dia setelah kembali dari ibadah haji semakin meningkat amal ibadahnya, baik ibadah sholat, puasa, maupun zakat. Disamping itu dia juga dapat menunjukkan akhlaq yang baik, memeliharakejernihan hati, jujur dalam ucapan dan perbuatan.


[1] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakarya, 1972), hal 97.
[2] Sudirman Teba, Jalan Keselamatan Dunia dan Akhirat, (Ciputat: Pustaka Irvan, 2007) hal 175.
[3] Ibid, hal: 176
[4] M. Quraish Shihab, Lentera Hati, (Bandung: Mizan, 2004) hal 215.
[5] Ibid, hal 216.
[6] Muslim Nasution, Haji dan Umroh Keagungan dan Nilai Amaliahnya, (Jakarta: Gema Insani, 1999) hal 39.
[7] Warsito, Kiat-Kiat Melestarikan Haji Mabrur, Makalah disajikan pada Penataran Jamaah Haji, Tanggal 25 Januari (Surabaya: Asrama Haji Sukolilo, 2005) hal 5.
[8] Moch. Anwar, Panggilan Suci dari Mimbar, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1995) hal 90.
[9] Ibid, hal 90.
[10] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2004) hal 336.
[11] Imam Ghozali, Ihya’ Ulumuddin, diterjemahkan Moch. Zuhri, Ihya’ Ulumuddin, (Bandung: Marja, 2001) hal 226.
[12] Syekh Mahmud Syaltut, Al-Islam Aqidah Wa Syari’ah, diterjemahkan Nasharuddin Thaha, Akidah dan Syari’ah Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990) hal 138.
[13] Tim Penyusun, Panduan Pelestarian Haji Mabrur, (Jakarta: Depag, tt) hal 57.
[14] Ibid, hal 79.
[15] Ibid, hal 88.
[16] Ibid, hal 60.
[17] Ibid, hal 67.
[18] Ibid, hal 72.









































































































No comments:

Post a Comment