SYAIKH MAHMUD SYALTUT

mahmut syalthut
1. Biografi Mahmud Syaltut
Istilah Syaikh dalam bahasa Arab adalah gelar kehormatan yang sejak zaman pra-Islam hanya diberikan kepada orang yang memiliki kualitas istimewa. Makna yang terkandung dalam konsep tersebut mencakup beberapa ungkapan dan ekspresi, yang dalam bahasa Inggris digunakan untuk menunjuk pengertian “pemimpin”, “kepala kaum”, “yang terhormat”, “yang dituakan”, “pemuka masyarakat”, dan juga “penasehat”. Dalam sejarah Islam, gelar syaikh al-Din (pemimpin agama) diberikan kepada orang-orang tertentu yang memiliki pengetahuan tentang ilmu-ilmu yang bersumber dari kitab suci.[1]
Syaikh yang pengaruhnya meliputi daerah pelosok yang sangat luas, yang tidak selalu dapat dikontrol dengan mudah dari pusat kota, menjadikannya sebagai nara sumber yang penting bagi negara, secara historis syaikh-syaikh yang paling berkuasa dapat bertindak sebagai perantara yang menjembatani wilayah yang terjangkau oleh pemerintah dengan yang tidak terjangkau. Hubungan mereka dengan wilayah yang tak terjangkau oleh pemerintah itulah yang membuat mereka menonjol dalam sejarah kehidupan politik.[2]
Karena reputasi seorang syaikh bergantung pada empat karakter penting. Kemampuannya dalam menyelesaikan pertikaian, yang membutuhkan pengetahuan terperinci mengenai hukum adat (urfatan awayid). Sistem hukum yang kerap berbeda dengan hukum Islam, kemampuannya dalam menunjukkan keramah-tamahan yang luar biasa dan memberikan hadiah serta bantuan keuangan bagi para pengikutnya; kemampuannya dalam memimpin penyerbuan dan peperangan; serta kemampuannya berunding dengan pemeritah agar kesepakatan yang dicapai tetap menguntungkan kedudukan suku bangsanya, dan sedapat mungkin tetap mempertahankan otonomi masyarakat suku yang diwakilinya.[3] Karena kehidupan seseorang besar adalah diukur menurut kadar perjuangan dan pengorbanannya dalam mencapai nilai-nilai tertinggi dan contoh-contoh utama bagi masyarakat.
Syaikh Mahmud Syaltut adalah salah seorang dari mereka yang menempuh jalan ini dengan pandangan yang jauh. Beliau adalah seorang ulama fiqh yang luas pandangannya, tahu tentang hukum-hukum syari’at yang cocok bagi kebutuhan manusia sesuai perkembangan zaman, asalkan tidak bertentangan dengan pokok-pokok syari’at yang pasti. Ia tergolong ulama yang berfikir maju dan sangat gigih berjuang untuk cita-cita pembaharuan dalam pemikiran Islam pada umumnya dan perbaikan Al-Azhar pada khususnya.
Mahmud Syaltut adalah salah seorang putra Mesir terbaik, ia lahir di desa Maniah Bani Mansur, Distrik Itai al-Beirud, karisidenan Buhairah Mesir, 23 April 1803 Mesir dan wafat di Kairo 19 Desember 1963. Beliau adalah ulama dan pemikir Islam yang memiliki reputasi international.[4]
Sejak usia kecil, ia menunjukkan kecerdasan yan tinggi. Ia berhasil menghafal seluruh ayat al-Qur’an dalam usia 13 tahun, pada tahun 1906 ia memasuki lembaga pendidikan agama, al-Ma’had ad-Din, di Iskandariyah. Ia dikenal sebagai murid yang cerdas dan berhasil memperoleh asy-Syahadah al-Alimiyyah (setingkat Master of Arts) dari Universitas al-Azhar (1918) dantercatat sebagai lulusan terbaik.[5] Ia kemudian menjadi guru dibekas sekolahnya di Iskandariyah, sambil menulis mengenai berbagai masalah keagamaan, terutama dalam bidang syari’at.[6]
Pada tahun 1927 ia diangkat menjadi dosen pada tingkat takhassus (spesialisasi; pendalaman) di Universitas al-Azhar sewaktu Syaikh al-Maraghi menjadi Rektor.[7]
Ia mulai banyak menulis surat-surat kabar untuk mendukung program al-Maraghi dalam rangka memajukan Universitas al-Azhar. Cita-citanya untuk memperbarui Universitas al-Azhar tinggi dan dinamis, sehingga terkadang mengambil bentuk yang revolusioner, sehingga kalangan pimpinan al-Azhar tidak bisa menerimanya dan bahkan mengeluarkan Mahmud Syaltut dari al-Azhar pada 1931 (1351 H).[8] Namun, Mahmud Syaltut bukannya tinggal diam bahkan lebih gencar menurunkan tulisan-tulisan dan kritiknya demi perbaikan Universitas al-Azhar. Tidak lama kemudian, ia kembali diangkat menjadi pengajar di al-Azhar, dan diberi jabatan sebagai wakil Dekan pada Fakultas Syari’ah, di samping sebagai pengawas pada sekolah-sekolah agamanya.[9]
Pada tahun 1937, ia mewakili Universitas al-Azhar pada Konggres International tentang perundang-undangan (al-Qanun al-Muqaran) yang diadakan di Den Haag. Uraiannya yang ilmiah dan menarik tentang Syari’ah Islam dalam konggres ini menjadikan semua peserta sadar akan kebenaran Islam sebagai agama yang dapat membimbing manusia untuk setiap zaman dan tempat. Pada tahun 1941 ia mengetengahkan sebuah risalah tentang “Pertanggungan Jawab Sipil dan Pidana Dalam Syari’at Islam” (al-Mas’uliyah al-Madaniyyah wa al-Jina’iyyah fi asy-Syari’ah al-Islamiyyah). Dalam kajian ini, Syaltut mengemukakan secara garis besar visinya tentang Islam yang telah direformasi dan tentang syari’at yang dapat menjadi salah satu sumber bagi perundang-undangan modern. Tesis-tesisnya dalam risalah ini mendapat sambutan baik, sehingga secara aklamasi ia diangkat menjadi anggota termuda Majelis Ulama Besar (Hai’ah Kibar al-Ulama).[10]
Pada tahun 1942 ia menyampaikan sebuah pidato penting mengenai perbaikan Univesitas al-Azhar dalam bidang kebahasaan. Realisasi dari pidatonya terwujud pada tahun 1946 dan terbentuklah lembaga bahasa dan ia sendiri diangkat menjadi salah seorang anggotanya.[11]
Dia juga diundang untuk mengajar fiqh dan sunnah di Fakultas Hukum Universitas Kairo serta menjadi pengawas umum bagi Musaqabah al-Buhuts al-Islamiyyah (pengawas penelitian Islam). Sebuah jabatan yang memungkinkannya melakukan perjalanan luas keseluruh dunia Islam untuk lebih memajukan hubungan diantara bangsa-bangsa Islam.
Pada 1957, dia menjadi Sekretaris Jenderal Organisasi Konferensi Islam dan Sekretaris Muda al-Azhar.[12] Di bawah pemerintahan Republik Persatuan Arab beliau diangkat menjadi Penasehat Muktamar Islam. Kemudian diangkat juga menjadi Wakil Rektor dan akhirnya yaitu pada tanggal 21 Oktober 1958 menjadi Rektor daripada Universitas Al-Azhar sampai sekarang.[13]
Puncak kariernya dalam lingkungan universitas adalah terpilihnya ia menjadi Rektor Universitas al-Azhar yang ke-41 (21 Oktober 1958). Sebagai Rektor Universitas Al-Azhar ia memiliki peluang besar untuk merealisasikan cita-cita dan pemikirannya selama ini mengenai Universitas Al-Azhar. Untuk itu pada tahun 1960 ia memisahkan Institut Pembacaan Al-Qur’an kedalam masjid Al-Azhar dengan susunan rencana pelajaran tertentu dalam masalah-masalah keislaman. Ini mengembalikan fungsi Universitas Al-Azhar pada posisi sebagai pusat kajian Al-Qur’an bagi seluruh umat Islam secara bebas tanpa terikat jam pelajaran dan ujian. Selain itu, untuk mengantisipasi perkembangan ia mendirikan komplek Universitas Al-Azhar disamping masjid Al-Azhar sebagai tempat tinggal pelajar, yang dilengkapi dengan perpustakaan dan ruang belajar.[14]
Pada tahun 1961, Mahmud Syaltut mengeluarkan Undang-Undang baru (nomor 103 tahun 1961) menyangkut kepentingan Universitas Al-Azhar secara keseluruhan: Organisasi, kurikulum, maupun pendirian fakultas-fakultas baru seperti fakultas pertanian, fakultas teknik, fakultas kedokteran, disamping fakultas agama (Syari’ah dan Ushuluddin) dan fakultas sastra yang telah ada.
Undang-undang ini pada dasarnya merupakan perwujudan cita-cita yang amat besar dari Syaltut untuk mencetak ulama’-ulama’ sebagaimana ulama’-ulama’ klasik yang menguasai selain ilmu agama, juga ilmu kedokteran, ilmu pasti dan sebagainya. Untuk itu Syaltut pernah berkata, “sesungguhnya peraturan baru ini bagi Universitas Al-Azhar adalah pelaksanaan prinsip-prinsip utama Islam mengenai kemanusiaan dan penciptaan lapangan kerja bagi anak-anak Universitas Al-Azhar dalam berbagai bidang untuk mewujudkan cita-cita kaum muslimin diseluruh pelosok dunia terhadap institut mereka yang kuno itu.” Peraturan ini juga dianggap sebagai batas pemisah antara Al-Azhar periode khalifah al-Mu’iz Lidinillah (341-365 H/953-975 M) dan Al-Azhar periode Gamal Abdel Nasser (1954-1970 M).[15]
Disamping jabatan-jabatan penting di Universitas al-Azhar, Mahmud Syaltut juga memangku jabatan penting sebagai anggota badan tertinggi untuk hubungan-hubungan kebudayaan dengan luar negeri pada kementerian pendidikan dan pengajaran Mesir. Ia juga menjadi anggota Dewan tertinggi untuk penyiaran radio Mesir, anggota Badan tertinggi untuk bantuan musim dingin, dan ketua badan penyelidikan Adat serta Tradisi pada kementerian sosial Mesir.[16]
Prestasi-prestasi lain pada masa jabatan Syaltut yang memiliki dampak jangka panjang terhadap Mesir dan dunia Islam, meliputi pembentukan Al-Majlis Al-Ala li Al-Syu’un Al-Islamiyah (dewan tinggi untuk urusan-urusan Islam), yang mempertemukan untuk pertama kalinya wakil-wakil dari delapan mazhab Islam (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, Ja’fari, Zaidi, Ibadi, dan Zahiri) di Kairo pada tahun 1962 guna melakukan diskusi teologis. Pertemuan ini menghasilkan penerbitan ensiklopedi pertama yang merangkum penafsiran berbeda atas muamalah (kegiatan yang berkenaan dengan hubungan antar manusia), menurut delapan mazhab itu Mausu’at Nashir Li al-Fiqh al-Islami.[17]
2. Aktifitas Keilmuan dan Pemikiran
Sebagai seorang ulama dan pemikir, Mahmud Syaltut memiliki pemikiran dan berwawasan luas, Mahmud Syaltut selalu berusaha memberantas kekakuan dan kejumudan berfikir yang mana pemikiran Syaltut sangat relevan untuk perkembangan kehidupan umat pada zamannya. Ia berpendapat bahwa pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Di dalam kitab tafsirnya ia menyatakan “li kulli mujtahid nasib” (setiap mujtahid akan memperoleh bagian pahala). Ia juga aktif memberantas kefanikan mazhab yang sering mambawa perpecahan dikalangan umat Islam.[18]
Mahmud Syaltut tampil sebagai seorang yang sangat peduli terhadap persatuan umat Islam. Selama 25 tahun terakhir dalam kehidupannya, ia bergelut dan terlibat dalam memelopori jama’ah taqrib bain al-mazahib (organisasi untuk mendekatkan mazhab-mazhab), sebuah oraganisasi yang didirikan oleh sekelompok ulama Suni dan Syiah untuk menghilangkan fanatisme mazhab dalam bidang hukum Islam, tanpa menghapuskan mazhab-mazhab itu sendiri.
Pada tahun 1958, Mahmud Syaltut mengeluarkan fatwa yang ketika itu masih dinilai kontroversial dikalangan Suni. Dalam fatwa itu ia menyatakan bahwa beribadah menurut Syi’ah sama dengan ia memainkan peran penting dalam memperkenalkan kajian hukum Syiah ke dalam kurikulum Universitas tersebut.[19]
Sebagai seorang ulama’ dan pemikir yang pemikirannya sangat relevan untuk perkembangan kehidupan umat pada zamannya, ia adalah seorang ahli fiqh yang berilmu dan berpandangan luas, kedalaman ilmu dan keluasan pandangannya menyebabkan mampu mengemukakan hukum-hukum Islam yang relevan dengan kebutuhan manusia dan kehendak zamannya. Dalam menghadapi persoalan-persoalan baru, ia memiliki pemikiran dan pendapat hukum tertentu yang membedakannya dengan ulama’-ulama’ lain.
Secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga kelompok, antara lain:
a. Pendapat hukum yang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zaman dan dengan realitas baru yang dihadapi umat Islam, diantaranya pendapat-pendapat mengenai kesaksian sebagai berikut:
1) Kesaksian hukum seorang non muslim adalah sah dalam pengadilan syari’ah. Hal itu dikatakannya dalam karyanya al-Islam Aqidah wa Syari’ah (Islam Akidah dan Syari’ah). Pendapat ini sesuai dengan iklim sosio-politik dewasa ini, yaitu banyak kaum muslimin yang hidup dinegara-negara yang semua warganya secara teoritis sama dan sederajat.
2) Kesaksian kaum wanita dapat dipandang sama nilainya dengan kesaksian kaum pria, bahkan dalam masalah-masalah keluarga kemungkinan besar lebih bisa diandalkan.
b. Pendapat hukum yang moderat, misalnya dalam perkara inseminasi buatan dan keluarga berencana.
c. Pendapat hukum yang ketat dan memperlihatkan kehati-hatian.
Mahmud Syaltut juga memperhatikan sikap kehati-hatian dan secara ketat berpegang pada ajaran tradisional Islam, misalnya ketika menafsirkan ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan nikah antar agama. Dalam masalah lain ia juga mempunyai pendapat hukum yang tradisional, dalam pengertian tidak sejalan dengan pemikiran hukum sebagian ulama’ pembaru. Misalnya, ia menolak gagasan untuk menghalangi praktek poligami.[20]
Di samping memiliki pandangan luas dalam hukum Islam, ia juga seorang ahli tafsir yang melaksanakan penafsiran langsung pada al-Qur’an dengan mengumpulkan ayat-ayat tentang suatu masalah, lalu ayat itu ditafsirkannya sebagai jawaban terhadap suatu masalah. Salah satu karyanya adalah penafsiran ayat-ayat yang berhubungan dengan wanita, al-Qur’an wa al-Mar’ah, sehingga ia dipandang sebagai salah seorang pelopor metode tafsir maudhu’i (tafsir tematis) metode tafsir yang dianggap paling banyak sumbangannya dalam menangkap pesan al-Qur’an untuk menjawab problema manusia abad modern.[21]
Ia menganjurkan Umat slam terutama pada ulama’ agar mengadakan ijtihad langsung pada al-Qur’an, karena menurutnya ada ayat al-Qur’an yang menunjukkan hukum-hukum secara tidak tegas (zanni ad-dalalah), sehingga dapat ditafsirkan dengan bermacam-macam tafsiran. Oleh karena itu, kesempatan untuk melakukan ijtihad terbuka seluas-luasnya, untuk maksud tersebut sebagai Rektor ia banyak mengeluarkan dana untuk pengkajian al-Qur’an, antara lain dengan mengadakan kerjasama dengan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tahun 1961,[22] dan di IAIN ini ia mendapat gelar “Doktor Honoris Causa”, disamping dari negerinya sendiri.
3. Karya-Karyanya
Mahmud Syaltut sejak muda sudah dikenal sebagi ulama’ yang produktif. Ia meninggalkan banyak karya, antara lain :
a. Al-Fatwa.
b. Al-Islam Aqidah wa Syari’ah.
c. Min Taujihat al-Islam.
d. Al-Mas’uliyah al-Madaniyyah wa al-Jina’iyyah Fi al-Syari’ah al-Islamiah.
e. Muqaranah al-Mazahib Fi al-Fiqh.
f. Manhaj al-Qur’an Fi Bina’ al-Mujtama’.
g. Fiqh al-Qur’an wa al-Sunnah.
h. Tanzim al-Nasl.
i. Al-Qur’an wa al-Mar’ah.
j. Tanzim al-Alaqah al-Dauliyyah Fi al-Islam.
k. Al-Qur’an wa al-Qital.
l. Al-Islam wa Wujud al-Duali Li al-Islam.
m. Al-Islam wa al-Takaful al-Ijtima’i.[23]
Demikianlah sekilas biografi atau riwayat hidup Syaikh Mahmud Syaltut, beliau semasa hidupnya adalah profil ulama’ besar, ahli dalam bidang tafsir, fiqh dan teologi yang mana karya-karya ilmiyahnya sangat bermanfaat untuk dunia Islam.
Ulama’ Sarjana besar ini telah berpulang ke Rahmatullah pada tanggal 19 desember 1963. Dengan berpulangnya beliau di dunia Islam pun kehilangan seorang tokoh penting dan ulama’ besarnya yang berpandangan jauh dan memiliki ilmu yang luas tentang Islam dan hukum-hukumnya.[24]


[1] John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam Modern, terj. Eva Y.N et.al, Bandung : Mizan, cet. Ke-I, 2001, hlm. 286.
[2] Ibid
[3] Ibid, hlm. 287.
[4] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam 4, Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Houve, cet. Ke-I, 1993, hlm. 341.
[5] Ibid
[6] Abdul Aziz Dahlan, et.al, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 5, Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, cet. Ke-I, 1996, hlm. 1689.
[7] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op.cit, hlm. 342.
[8] Harun Nasution, IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, 1992, hlm. 591.
[9] Ibid
[10] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, loc.cit, hlm. 342.
[11] Ibid
[12] John L. Esposito, op.cit, hlm. 290.
[13] Syaikh Mahmud Syaltut, Al-Islam Aqidah wa al-Syari’ah, alih bahas, Bustami A. Gani dan B. Hamdani Ali, MA, Jakarta : Bulan Bintang, cet ke-4, 1983, hlm 129.
[14] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op.cit, hlm. 342.
[15] Ibid
[16] Ibid, hlm.343.
[17] John L. Esposito, op.cit, hlm. 291-192.
[18] Abdul Aziz Dahlan, et.al, op.cit, hlm. 1689
[19] Ibid, hlm. 1689-1690.
[20] Ibid, hlm. 1690-1691.
[21] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op.cit, hlm. 343.
[22] Ibid
[23] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, op.cit., hlm 243.
[24] Syaikh Mahmud Syaltut, Al-Islam Aqidah wa al-Syari’ah (1), Alih bahasa, Bustami A. Ghani dan B. Hamdani Ali MA, op.cit, hlm 150.








































































No comments:

Post a Comment