Khauf dan rajâ’ dalam tasawuf digolongkan oleh sebagian sufi sebagai bagian dari ahwâl perjalanan spiritual, yaitu sesuatu yang menempati atau menghiasi hati yang merupakan karunia. Sedangkan sebagian sufi yang lain menggolongkan khauf dan rajâ’ sebagai tahapan dalam maqâmât. Maqâm adalah tahapan adab seorang hamba dalam wushul kepada Allah melaui jalan ibadah, riyâdah dan mujâhadah. Al-Qusyairy merupakan salah satu sufi yang menggolongkan khauf dan rajâ’ ke dalam maqâmât. Sedangkan menurut al-Sarraj al-Thusi, khauf dan rajâ’ merupakan bagian dari ahwâl.[1]
Berikut berbagai tanggapan para sufi mengenai khaufdan rajâ’:
Al-Wasithy menegaskan, “Takut (khauf) dan harap (rajâ’) adalah kendali bagi diri agar ia tidak dibiarkan dengan kesia-siaannya.” Ia juga berkata, “Jika Tuhan menguasai wujud manusia yang paling dalam (sirr), maka harapan dan ketakutan tidak akan tersisa lagi. Sebab takut dan harap itu sendiri merupakan akibat-akibat belaka dari rasa indera hukum kemanusiaan.”[2]
Abu Ali ar-Rudbary berkomentar, “Khauf dan rajâ’ adalah seperti sepasang sayap burung. Manakala kedua belah sayap itu seimbang, si burung pun akan terbang dengan sempurna dan seimbang. Tetapi manakala salah satunya kurang berfungsi, maka hal ini akan menjadikan si burung kehilangan kemampuannya untuk terbang. Apabila khauf dan rajâ’ keduanya tidak ada, maka si burung akan terlempar ke jurang kematiannya.”[3]
Al-Husain bin Manshur al-Hallaj berkata, “Barangsiapa takut akan sesuatu selain Allah atau berharap sesuatu selain Dia, maka semua pintu akan tertutup baginya dan rasa takut akan mendominasinya, menabiri hatinya dengan tujuh puluh tabir, yang paling tipis diantaranya adalah keraguan. Yang membuatnya takut adalah perenungannya atas akibat-akibat nanti dan perasaan khasyyah jika perilakunya berubah.”[4]
Menurut Imam Ahmad bin ‘Atha’, pada khauf dan rajâ’ ada dua hal yang harus diperhatikan hingga ia menjemput maut, yaitu jangan sampai ia terlalu merasa aman secara berlebihan dalam harapan dan jangan sampai putus asa akan kepastian Allah.[5]
Abu Bakar al-Wasithy menyatakan bahwa khauf dan rajâ’ adalah pasangan yang saling beriringan. Saat hati dalam tahanan khauf, maka saat pancaran cahaya bintang menembus, cahaya rajâ’ pun jadi penguasa yang menerangi. Cinta, takut dan harapan akan senantiasa berjalan beriringan secara bergantian.[6] Manakala khauf dilengkapi dengan rajâ’, seseorang akan menemukan keberanian yang mampu menghancurkan penyakit-penyakit dalam dirinya. Khauf kepada Allah membawa pengetahuan tentang Allah yang membuka pintu cinta kepada Allah.
Menurut al-Muhasibi, khauf dan rajâ’ penting dalam perjalanan spiritual seseorang membersihkan jiwa. Al-Muhasibi mengaitkan khauf dan rajâ’ dengan etika-etika keagamaan lainnya. Menurutnya, ketika disifati dengan dua sifat tersebut, seseorang secara bersamaan disifati pula dengan sifat-sifat lainnya. Khauf berhubungan dengan sikap wara’, karena sikap wara’ adalah buahnya. Pangkat wara’ menurut al-Muhasibi adalah ketakwaan, pangkat ketakwaan adalah muhâsabah al-nafs, pangkat muhâsabah al-nafs adalah khauf dan rajâ’, dan pangkat khauf dan rajâ’ adalah pengetahuan tentang janji dan ancaman Allah.[7]
[1] Abdullah bin Ali as-Sarraj at-Tusi, al-Luma’ fî Târîkh at-Tasawuf al-Islâmi, (Libanon: Dar Al-Qatab Al-Ilmiyah, 2007), hlm. 40-41.
[2] Al-Qusyairy al-Naisabury, Ar-Risâlah al-Qusyairiyyah fî ‘Ilmi At-Tasawufi, terj. Mohammad Luqman Hakim dengan judul Risâlatul Qusyairiyyah: Induk Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Risalah Gusti, 2000), hlm. 127
[3] Ibid., hlm. 134.
[4] Ibid., hlm. 127.
[5] Abdullah bin Ali as-Sarraj at-Tusi, Op. Cit., hlm. 58.
[6] Ibid., hlm. 58.
[7] Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Tasawuf, (Penerbit Amzah, 2005), hlm. 120.
Bismillahirrohmaanirrohiim mohon share jzkk Moga diterima sebagai amal soleh In Syaa Allah Aamiin Allahumma Aamiin
ReplyDelete