Aliran Asy'ariyah adalah aliran teologi Islam yang lahir pada dasawarsa kedua abad ke-10 (awal abad ke-4). Pengikut aliran ini, bersama pengikut Maturudiyah, mangaku termasuk golongan ahlus sunnah wal jama’ah.[1] Pendiri teologi Asy'ariyah ini adalah Imam Asy'ari (Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy'ari. Abu Hasan al-Asy'ari, nama lengkapnya adalah Abul Hasan bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Abdillah bin Musa bin Abi Burdah bin Abi Musa al-Asy'ari. Ia adalah seorang ulama yang dikenal sebagai salah seorang perantara dalam sengketa antara Ali dan Muawiyah. Abul Hasan al-Asy'ari lahir di Basrah pada 260 H/873 M dan meninggal di Bagdad pada 324 H/935 M.
Dalam suasana Mu’tazilah yang sedang keruh, al-Asy'ari dibesarkan dan dididik sampai mencapai usia lanjut. Ia telah membela aliran Mu’tazilah sebaik-baiknya, tetapi kemudian aliran ini ditinggalkannya bahkan dianggapnya sebagai lawan.[2] Al-Asy'ari semula dikenal sebagai tokoh Mu’tazilah, dia adalah murid dari al-Juba’i, seorang yang cerdas yang dapat dibanggakan serta pandai berdebat, sehingga al-Juba’i sering menyuruh al-Asy'ari untuk menggantikannya bila terjadi suatu perdebatan. Dia menjadi pengikut aliran Mu’tazilah sampai berumur 40 tahun. Pada 300 H, yaitu ketika beliau mencapai umur 40 tahun, dia menyatakan keluar dari Mu’tazilah dan membentuk aliran teologi sendiriyang kemudian dikenal dengan nama Asy'ariyah. Sebabnya Imam al-Asy'ari keluar dari Mu’tazilah tidak begitu jelas.[3]
Al-Asy'ari, sungguhpun telah puluhan tahun menganut paham Mu’tazilah, akhirnya meninggalkan ajaran Mu’tazilah. Sebab yang biasa disebut, yang berasal dari al-Subki dan ibn Asyakir, ialah bahwa pada suatu malam al-Asy'ari bermimpi; dalam mimpi itu Nabi Muhammad saw, mengatakan padanya bahwa madzhab ahli haditslah yang benar, dan madzhab Mu’tazilah salah. Sebab lain bahwa al-Asy'ari berdebat dengan gurunya al-Jubba’i dan dalam perdebatan itu guru tak dapat menjawab tantangan murid.
Salah satu perdebatan itu, menurut al-Subki, sebagai berikut:
Al-Asy'ari : Bagaimana kedudukan ketiga orang berikut: mukmin, kafir, dan anak diakherat.
Al-Jubba’i : Yang mukmin mendapat tingkat baik dalam surga, yang kafir masuk neraka, dan yang kecil terlepas dari bahaya neraka.
Al-Asy'ari : Kalau yang kcil ingin memperoleh tempat yang lebih tinggi di surga, mungkinkah itu?
Al-Jubba’i : tidak, yang mungkin mendapat tempat yang baik itu karena kepatuhannya kepada Tuhan. Yang kecil belum mempunyai kepatuhan yang serupa itu.
Al-Asy'ari : Kalau anak itu mengatakan kepada Tuhan: itu bukanlah salahku. Jika sekiranya Engkau bolehkan aku terus hidup aku akan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik seperti yang dilakukan orang mukmin itu.
Al-Jubba’i : Allah akan menjawab: “aku tahu bahwa jika Engkau terus hidup Engkau akan berbuat dosa dan oleh karena itu akan kena hukum. Maka untuk kepentinganmu aku cabut nyawamu sebelum Engkau sampai kepada umur tanggung jawab”.
Al-Asy'ari : Sekiranya yang kafir mengatakan: “Engkau ketahui masa depanku sebagaimana Engkau ketahui masa depannya. Apa sebabnya Engkau tidak jaga kepentinganku?” Di sini al-Jubbai terpaksa diam.[4]
Terlepas dari soal sesuai atau tidak sesuainya uraian-uraian al-Subki dengan fakta sejarah, jelas kelihatan bahwa al-Asy'ari sedang dalam keadaan ragu-ragu dan tidak merasa puas lagi dengan aliran Mu’tazilah yang dianutnya selama ini. Kesimpulan ini diperkuat oleh riwayat yang mengatakan bahwa al-Asy'ari mengasingkan diri di rumah selama 15 hari untuk memikirkan ajaran-ajaran Mu’tazilah. Sesudah itu ia keluar rumah, pergi ke masjid, naik mimbar dan menyatakan:
Hadirin sekalian, saya selama ini mengasingkan diri untuk berpikir tentang keterangan-keterangan dari dalil-dalil yang diberikan masing-masing golongan. Dalil-dalil yang dimajukan, dalam penelitian saya, sama kuatnya. Oleh karena itu, saya meminta petunjuk dari Allah dan atas petunjuk-Nya saya sekarang meninggalkan keyakinan-keyakinan lama dan menganut keyakinan-keyakinan baru yang saya tulis dalam buku-buku ini. Keyakinan-keyakinan lama saya lemparkan sebagaimana saya melemparkan baju ini.[5]
Di sini timbul pertanyaan, apa sebenarnya yang menimbulkan perasaan ragu dalam diri al-Asy'ari yang kemudian mendorongnya untuk meninggalkan paham Mu’tazilah? Berbagai tafsiran diberikan untuk menjelaskan hal ini.
Menurut Ahmad Mahmud Subhi keraguan itu timbul karena al-Asy'ari menganut madzhab Syafi’i. al-Syafi’i mempunyai pendapat teologi yang berlainan dengan ajaran-ajaran Mu’tazilah, umpamanya al-Syafi’i berpendapat bahwa al-Qur'an tidak diciptakan, tetapi bersifat qadim dan bahwa Tuhan dapat dilihat di akherat nanti.[6]
Menurut Hammudah Ghurabah, ajaran-ajaran seperti yang diperoleh al-Asy'ari dari al-Jubba’i menimbulkan persoalan-persoalan yang tak mendapat penyelesaikan yang memuaskan.[7] Umpamanya soal mukmin, kafir, dan anak kecil tersebut di atas. Dari kalangan kaum orientalis, Mac Donald berpendapat bahwa darah Arab Padang Pasir yang mengalir dalam tubuh al-Asy'ari yang mungkin membawanya kepada perubahan mazhab itu.[8] Arab padang pasir bersifat tradisional dan patalistis sedang kaum Mu’tazilah bersifat rasionil dan percaya kepada kebebasan dalam kemauan dan perbuatan.
Patut juga diperhatikan pendapat Ali Musthafa al-Ghurabi bahwa keadaan al-Asy'ari 40 tahun menjadi penganut Mu’tazilah, membuat kita tidak mudah percaya bahwa al-Asy'ari meninggalkan paham Mu’tazilah hanya karena di dalam perdebatan, dimana al-Jubba’i gurunya tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan. Sayyed Amir Ali menuduh, mungkin sekali karena faktor ambisi, sehingga al-Asy'ari keluar dari Mu’tazilah. Dengan caranya yang licik, dia dapat mempengaruhi dan meyakinkan orang banyak serta menggabungkan diri dengan golongan Ahmad bin Hanbal (Ahlul Hadits) yang waktu itu mendapat simpati Khalifah dan masyarakat.[9]
Bagaimanapun juga banyak analisa orang dikemukakan tentang alasan keluarnya al-Asy'ari dari Mu’tazilah dan dalam suatu perdebatan tidak mendapat jawaban yang memuaskan baginya, sehingga menimbulkan keraguan. Harus pula diakui bahwa saat itu golongan Mu’tazilah sedang berada dalam masa kemunduran. Demikian pula pertentangan paham sesama kaum muslimin seperti tak akan bisa teratasi.
Al-Asy'ari, sebagai seorang ulama yang gairah akan keselamatan dan keutuhan Islam serta kaum muslimin, ia sangat khawatir perbedaan dan pertentangan pendapat pada waktu itu, akan menyeret ke dalam situasi yang tak diinginkan. Oleh sebab itu, perlu segera adanya pedoman yang dapat jadi pegangan umat. Faktor-faktor inilah yang lebih dekat kepada kemungkinan, mengapa al-Asy'ari keluar dari Mu’tazilah, di mana kemudian membentuk aliran teologi baru.
[1] Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992, hlm. 131.
[2] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, Cet. 8, Pustaka al-Husna Baru, Jakarta, 2003, hlm. 127. Lihat juga A. Hanafi, Tologi Islam Ilmu Kalam, Bulan Bintang, Jakarta, 1974, hlm. 54.
[3] Ahmad Amin, Zuhr al-Islam, al-Nahdah, Kairo, 1965, hlm. 65.
[4] Ahmad Mahmud Subhi, Fi Ilm al-Kalam, Dar al Kutub al-Jamiah, Kairo, 1969, hlm. 187.
[5] Ahmad Amin, Op.Cit, hlm. 67.
[6] Ahmad Mahmud Subhi, Op.Cit, hlm. 13.
[7] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Cet. 5, Universitas Indonesia (UI Press), 1986, hlm. 67.
[8] Abu al-Husein Abd al-Rahim ibn Muhammad ibn Ustman, Development of Muslim Theology, Jurisprudence and Constitutional Theory, Lahore, 1964, hlm. 187.
[9] Nurchilis Majid, Khazanah Intelektual Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1984, hlm. 28.
No comments:
Post a Comment