SHALAT DAN SIKAP SOSIAL

khusyu
Menengok makna sosial dari shalat yang notabene merupakan roh dari ibadah ini menjadi sesuatu yang penting untuk diperhatikan bersama di tengah situasi keberagamaan yang sering berhenti sebatas permukaan. Merasa cukup saleh ketika usai melakukan shalat, merasa berdosa ketika hal-hal yang dianggap sunat dalam shalat tidak dilakukan, namun perasaan yang sama tidak dimiliki manakala gejolak sosial yang terjadi di masyarakat masih penuh dengah gejolak.
Bahkan dalam masyarakat ada seorang yang tekun menunaikan shalat, tidak hanya fardhu yang dijalankan bahkan menjalankannya berjamaah, namun tekun pula mengerjakan perbuatan-perbuatan (mengeluarkan kebijakan) yang merugikan orang banyak.
Berdasarkan dari hal itu, umat Islam tidak diwajibkan melaksanakan shalat, tetapi diwajibkan mendirikan shalat. Shalat tidak hanya sekadar gerakan dan bacaan yang sifarnya ritual-individual, tetapi harus berdampak pada perilaku sehari-hari. Bahwa shalat merupakan tiang agama (imaduddin), dan yang tidak melaksanakannya berarti meruntuhkan agamanya. Demikian pula bahwasanya shalat dapat mencegah diri pelakunya dari perbuatan keji dan munkar (QS. Al-Ankabut: 45).
Masalahnya sekarang, mengapa tidak sedikit seorang muslim yang rajin melaksanakan shalat, tetapi perbuatan keji dan munkar tetap saja dilakukannya. Bisa jadi, shalat yang tidak membuat seseorang menjauhkan diri dari perbuatan keji dan munkar adalah shalat yang dilakukan sekadar menggugurkan kewajiban bukan sebagai sarana komunikasi dengan Tuhan. Kekhusyukan dan kesempurnaannya kurang diperhatikan. Atau karena shalat yang dilakukannya tidak berlandaskan keikhlasan melainkan riya, ingin dipuji orang, atau bermotif duniawi. Padahal, Allah swt mengecam keras hal tersebut, sebagaimana firman-Nya:
Kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat; yaitu orang yang lalai dalam shalatnya dan mereka yang riya. (Q.S al- Maa’uun: 4-5)
Shalat bukanlah sekadar melaksanakan gerakan dan bacaan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Artinya, shalat tidak hanya sekadar gerak badan dan bacaan (ritual-individual), tetapi harus pula tercermin dalam perilaku sehari-hari (shalat sosial). Semua pengakuan Allah swt sebagai Tuhan, Muhammad saw sebagai Rasul, harus terbuktikan dalam perilaku, berupa ketaatan terhadap semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.
Shalat sebagai simbul kepasrahan seorang Muslim pada Allah swt. Shalat menjadi simbul keislaman seseorang, karena hakikat Islam sendiri adalah penyerahan diri sepenuhnya pada kehendak Allah, sebagaimana makna asal kata "Islam," aslama, yakni menyerahkan diri.
Ketika memulai shalat dengan takbir, sambil mengangkat kedua tangan, itu menjadi simbul pengakuan keagungan Allah. Tujuan hakiki dari shalat sendiri adalah pengakuan hati bahwa Allah sebagai pencipta yang agung dan pernyataan patuh pada-Nya. Bagi seseorang yang telah melakukan shalat dengan penuh rasa taqwa dan keimanan, hubungannya dengan Allah akan kuat, istiqamah dalam beribadah pada-Nya, dan menjaga ketentuan-ketentuan yang digariskan-Nya.
Shalat harus dilaksanakan secara khusyuk. Artinya, secara sungguh-sungguh, ikhlas karena Allah, tertib bacaan dan gerakannya, dan tidak lalai, tidak menunda-nunda, dan pikiran tidak ke mana-nama selagi shalat. Salah satu kunci mencapai kekhusyukan dalam shalat adalah mengerti apa yang diucapkan selama shalat, mulai dari bacaan takbir hingga salam. Artinya, mengerti dan memahami arti dari bacaan shalat.
Jika kita tidak mengerti apa yang kita ucapkan, sama halnya dengan mengigau. Kita tidak menyadari apa yang tengah diucapkan. Karena itu, bagi yang belum mengerti atau mengetahui satu per satu arti dan makna bacaan shalat, mulai dari takbir, doa iftitah, surat Al-Fatihah, bacaan ruku', sujud, tahiyat, hingga salam, belum terlambat kiranya memulai untuk mencari tahu dan memahaminya.
Shalat bukanlah beban, melainkan kebutuhan pokok dalam kehidupan seorang Muslim. Shalat juga merupakan mediator untuk mendapatkan pertolongan dan ampunan Allah, serta ketenangan jiwa. Shalat pun merupakan saranauntuk mencapai kemenangan dan keberuntungan.
Dengan shalat akan tercipta hubungan yang amat dekat dengan Allah SWT (taqarrub), sehingga terasa adanya pengawasan dari-Nya terhadap segala perilaku seorang muslim, yang pada gilirannya akan memberikan ketenangan dalam jiwa sekaligus mencegah terjadinya kelalaian yang dapat memalingkan dari ketaatan pada-Nya.
Tidak ada perintah Allah swt yang seketat shalat. Ibadah ini wajib dilaksanakan setiap Muslim dalam kondisi apa pun, selama seorang masih hidup. Tidak mampu berdiri, boleh sambil duduk. Tidak mampu sambil duduk, boleh sambil berbaring. Tidak heran, menurut Hadits Nabi saw, amal pertama yang akan dihisab di akhirat nanti adalah shalat, jika shalatnya baik, tanpa cela, maka akan baik pula seluruh amal; jika shalatnya jelek, maka akan buruk pulalah seluruh amal. Bahkan Shalat juga merupakan tiang agama.
Shalat yang baik dan benar adalah shalat yang tidak saja memenuhi syarat dan rukun, ditambah kekhusyukan dalam pelaksanaannya, tetapi juga berdampak pada kebaikan perilaku sehari-hari. Seluruh bacaan dan gerakan shalat, jika direnungkan, menimbulkan sekaligus mencerminkan perilaku yang seharusnya dilakukan seorang muslim dalam kehidupannya.
Takbir sebagai pembuka shalat dan pengakuan serta sikap dasar dalam kehidupan seorang Muslim hanya Allah yang Maha Besar, sehingga hanya Dia pula yang ditaati, ditakuti, dan dipuji. Pengabdian, permohonan, dan penyandaran hidup hanya kepada Allah semata.
Gerakan-gerakan shalat seperti rukuk, iktidal, sujud, dan tahiyat merupakan simbol penghormatan hakiki kepada Allah. Tatkala sujud, kepala kita disejajarkan dengan tanah. Setidaknya hal itu bermakna di hadapan Allah, manusia dengan tanah sama-sama makhluk, maka tidak pantas jika kita berlaku angkuh, gila hormat, dan sebagainya, sebab pujian dan penghormatan hakiki hanya pantasdiberikan kepada Allah SWT.
Shalat ditutup dengan salam, sambil menengok ke kanan dan ke kiri. Ketika menutup shalat itu kita mendoakan orang di sekitar kita agar diberi keselamatan dan keberkatan. Bacaan dan gerakan itu bermakna, seorang Muslim hendaknya menebar keselamatan dan kedamaian kepada sesama, bukan menebar benih kecelakaan, kerusuhan, atau permusuhan. Muslim sejati tidak akan mengganggu orang lain dengan perkataan kotornya, umpatannya, atau ucapan-ucapan yang menyakitkan hati. Ia pun tidak akan mencelakakan orang lain dengan ulahnya. Muslim sejati senantiasa menghadirkan kemaslahatan dan manfaat bagi orang lain, bukan menjadi pembawa bencana dan kesulitan bagi orang lain.
Implikasi lain yang tercermin dari shalat yang bermutu adalah sistem. Lingkungan shalat akan melahirkan sebuah sistem unggul. Masjid adalah tempat yang dimuliakan Allah. Orang-orang yang memasuki mesjid hanyalah mereka yang mengerti arti hidup dan ingin selalu mengejar kedekatan jarak dengan Allah dan karunia-Nya.
Orang-orang yang hendak mendirikan shalat selalu dalam keadaan suci, baik secara lahir maupun secara batin, berkat siraman air wudhu. Saat shalat berjamaah dimulai, imam tampil ke depan dan menginstruksikan para makmum menyempurnakan shafnya. Para makmum pun taat tanpa membantah. Mereka dengan segera akan meluruskan, merapatkan, dan merapikan shafnya. Demikian pula ketika shalat sedang berlangsung, semua taat dan disiplin mengikuti gerakan imam sesuai dengan yang telah disyariatkan.
Mengambil makna yang tersirat dari sistem shalat, maka teman bergaul, tata tertib, serta lingkungan yang kita masuki, akan sangat mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Kita ibaratkan dengan dua ekor kupu-kupu. Yang satu masuk ke dalam mobil dan mobil pun melesat maju, sedangkan yang lainnya tidak ikut masuk ke dalam mobil, tetapi terbang dengan menggunakan sayapnya. Ukur saja dalam waktu lima menit, pasti akan tampak beda kecepatan maupun jarak yang ditempuhnya. Kupu-kupu yang terbawa mobil "terbangnya" akan lebih jauh dibanding kupu-kupu yang hanya terbang mengunakan sayapnya.
Berangkat dari pemaparan di atas. Jelas sudah, bahwa pada dasarnya filosofi setiap ibadah shalat adalah berdimensi ganda yakni dimensi hablu minallah dan hablu minannas, artinya, setiap ibadah di samping akan membentuk terwujudnya kesalehan individual, sehingga termasuk ibadah shalat tentunya juga memiliki dimensi ganda. Hal ini dapat dilihat dari maksud shalat itu sendiri yakni Innashshalata tanha 'anil fahsya-i wal munkar (Sesungguhnya shalat itu mencegah perbuatan keji dan munkar) (QS.al-Ankabut: 45).
Dari ayat tersebut, mestinya jelas bahwa esensi ibadah shalat adalah terwujudnya sikap sosial yang baik di samping terwujudnya kesalehan individual. Dalam bahasa agama, inilah yang disebut sebuah pencapaian pada hakikat ibadah.
Oleh karena itu, keliru manakala dalam menjalankan ibadah shalat hanya berorientasi pada asal sah ibadahnya (habluminallah). Karena orientasi semacam itu baru dalam mencapai kerangkanya saja belum mencapai hakikatnya. Sedangkan untuk mencapai hakikat ibadah shalat, kiranya perlu mengaktualisasikan ibadah tersebut dalam dua dimensi sekaligus yakni keabsahan habluminallah dan realisasi nilai ibadah dalam hablu minannas. Jadi jelas, hakikat ibadah shalat adalah berdimensi sosial. Inilah hakikat melaksanakan ibadah shalat sebenarnya.
Berangkat dari situ jelaslah bahwa ibadah shalat mengandung pendidikan akhlak sosial. Pendidikan akhlak sosial yang terbentuk dari ibadah shalat ini juga dikatakan ada empat akhlak di mana siapa saja yang menjalankannya maka dia telah menggabungkan semua kebajikan yakni,
1. Ta'dzim hurumat al-muslimin (menjunjung kehormatan semua orang Islam).
2. Khidmat al-Fuqara wa al-masakin (melayani kaum fakir dan miskin).
3. Wa al inshaf min nafsih (jujur dan adil mengenai diri sendiri), dan
4. Tark al-intishar la ha (tidak memberi pertolongan hanya semata karena kepentingan diri sendiri).



























No comments:

Post a Comment