Dalam al-Qur’an penjelasan tentang penciptaan alam semesta dan fenomena-fenomenanya secara eksplisit tidak kurang dari 750 ayat, yang pada umumnya ayat-ayat ini memerintahkan manusia untuk memperhatikan dan meneliti alam semesta.[1] Perintah ini bukan berarti bahwa al-Qur’an adalah ensiklopedi kealaman, karena al-Qur’an bukan sebuah sains yang menguraikan alam semesta secara rinci.
“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah ‘Arsy-Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya, dan jika kamu berkata (kepada penduduk Makkah): "Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati", niscaya orang-orang yang kafir itu akanberkata: "Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata" (Q.S. Hud: 7)
Penciptaan alam semesta (al-samawat wa al-ardd), sebagaimana ungkapan ayat di atas, berlangsung selama enam tahapan. Al-Sama pada ayat di atas dipahami dapat sebagai ruang kosong, yang didalamnya terdapat galaksi-galaksi, bintang-bintang. Ada pandangan yang mengatakan langit itu sebagai bola raksasa yang menguasai seluruh ruang alam. Sedang kata al-ardh dipahami sebagai bumi, memuat berbagai materi-materi alam, yang berguna bagi kelangsungan makhluk hidup.
Menurut A. Baiquni, bumi baru terbentuk sekitar 4.5 miliar tahun yang selalu yang lalu sekitar matahari, dan tanah ini baru terjadi miliar tahun yang lalu sebagai kerak di atas magma. Sementara kata wa ‘arsy ala al-ma, dipahami sebagai pusat pemerintahan yang di sekitarnya ada zat alir atau sop kosmos. Semula al-samawat wa al-ardd bersatu padu, kemudian oleh Allah dipisahkan untuk satu tujuan tertentu dan kemudian dari air diciptakanlah segala yang hidup, mulai dari iblis, setan, malaikat, manusia, jin, dan tumbuh-tumbuhan.
Penciptaan alam yang terdapat dalam surat hud ayat 7 tersebut dikuatkan oleh surat al-Sajdah ayat 4 yang artinya:
“Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy Tidak ada bagi kamu selain dari padaNya seorang penolongpun dan tidak (pula) seorang pemberi syafa'at maka apakah kamu tidak memperhatikan?”
Dalam ayat tersebut, ditemukan berita tambahan bahwa Allah bersemayam di Arsy. Kalimat ala arsy istawa, menurut kebanyakan mengandung kinayah (kiasan), sama halnya dengan kalimat wa kana arsyuhu ala al-ma. Barangkali inilah yang dimaksud ayat-ayat metaforis. Jika bertemu dengan ayat-ayat sejenis ini, maka harus dipahami secara metaforis pula. Menurut M. Quraish Shihab, metaforis atau biasa disebut dengan ta’wil mengandung makna memakai kata atau ungkapan dari obyek atau konsep berdasarkan kiasan atau persamaan. Ta’wil berarti adanya kosa kata atau susunan kata pada mulanya digunakan untuk makna ungkapan tertentu yang dialihkan kepada makna lain.[2] Dengan kata lain, pemahaman atau pemberian pengertian atas fakta-fakta tekstual dari sumber al-Qur’an dan sunnah hingga seolah-olah yang ditampakkan bukan makna lahiriah teks, melainkan lebih pada makna dalam (batin) yang dikandungnya dengan beberapa indikator. Jika memahami kalimat ala arsy istawa dan wa kana arsyuhu ala al-ma, maka makna yang muncul adalah Allah berkuasa atas seluruh alam semesta beserta apa yang terkandung di dalamnya.
Dalam surat Hud ayat 7 dan surat al-Sajadah ayat 4, tentang tahapan penciptaan alam semesta, di sana terjadi pengulangan kalimat yang hampir sama. Memang munculnya ayat-ayat atau kalimat yang sama dalam al-Qur’an, barang kali ingin menunjukkan suatu hal yang dianggap sangat penting diketahui manusia, itu sebabnya, tidak semua ayat atau kalimat dalam al-Qur’an mengalami pengulangan kata.
Maka, hal yang dianggap penting terjadinya pengulangan kata dalam dua ayat tersebut, pada surat Hud (11) ayat 7 penciptaan alam semesta dikaitkan dengan zat alir atau sop kosmos yang menunjukkan keadaan alam dalam beberapa fase penciptaannya, maka dalam surat al-Sajadah (32) ayat, penciptaan alam semesta dihubungkan dengan kemaha-kuasaan Allah atas seluruh alam semesta beserta apa yang terkandung di dalamnya. Dengan kata lain, segala yang diciptakan-Nya harus tunduk dengan aturan yang telah ditetapkan-Nya. Rangkaian pengulangan al-Qur’an semacam ini, dimaksudkan agar isi pembicaraan yang diungkapkan Allah sepadan dengan daya nalar manusia yang terbatas. Al-Qur’an memberikan petunjuk kepada manusia dalam masalah ini.
Dalam al-Qur’an, Allah memberitahukan apa yang hendaknya kita renungkan dan kita amati. Perenungan yang diajarkan dalam al-Qur’an seseorang yang beriman kepada Allah akan dapat lebih baik merasakan kesempurnaan, hikmah abadi, ilmu, dan kekuasaan Allah dalam ciptaan-Nya. Jika seorang beriman mulai berfikir sesuai dengan cara-cara yang diajarkan dalam al-Qur’an, ia pun akan menyadari bahwa seluruh alam semesta adalah sebuah tanda karya seni dan kekuasaan Allah, dan bahwa “alam semesta adalah bukan pencipta karya seni itu sendiri.”
Dalam al-Qur’an untuk merenungi berbagai kejadian dan benda alam, yang dengan jelas memberikan kesaksian akan keberadaan dan keesaan Allah beserta sifat-sifat-Nya. Segala sesuatu yang memberikan kesaksian ini disebut tanda-tanda bukti yang teruji kebenarannya.[3] Orang-orang yang dapat mengamati senantiasa ingat akan hal ini akan memahami bahwa seluruh jagat raya tersusun hanya dari tanda-tanda kebesaran Allah.
[1] Thanthawi Jauhari, Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, Jilid I, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), hlm. 3.
[2] Budy Munawar Rachman (ed), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 1.
[3] Fersis Firdaus, Alam Semesta, (Yogyakarta: Insani Cita Press, 2004), hlm. 35
No comments:
Post a Comment