ZIKIR DAN OTAK MANUSIA

ZIKIR
Zikir dapat diartikan dengan "mempelajari" (zaakara darsahu bima'na thaala'ahu) dan pezikir terkadang diartikan sebagai orang yang berfikir (al-muzakkirah ay al-mufakkirah).[1] Jelaslah bahwa zikir tidak hanya perkara besar tapi juga sistematis, detail dan terencana dalam wilayah persambungan antara alam bawah sadar (subconscious mind) dengan alam sadar (conscious mind) yang kerap kali muncul tapi justru sering tidak disadari disebabkan kelalaian terhadap hamparan fisikal dunia lebih mendominasi menguasai gambar lima indranya.
Semua ini tercipta dari wujud yang terencana bukan wujud yang tiba-tiba ada karena hal ini sifat ciptaan jadi bersumber ke pencipta dengan sebab-sebab yang berantai sampai ke pusat segalanya yang tidak dapat disebabkan lagi karena Dia adalah adalah Wujud dari setiap wujud atau pusat sebab yang tak tersebabkan. Bahkan power of mind dan gerakan syaraf-syaraf tidak sekedar wujud dan fenomena tapi merupakan bukti adanya wujud pusat rasional yang mutlak dengan menciptakan alat bantu rasio mencerap rasionalitas yakni otak untuk bertafakur (zikir-fikir) yang bentuk padat dari kumpulan trilliunan sel yang membentuk dan tersaksikan dalam istilah tubuh (alam raya sel).
Mengapa zikir menjadi sesuatu yang dekat dengan kerja syaraf otak? Secara simple dapat dijelaskan, bahwa “mengingat” adalah gerak pikir sehingga berzikir ya berpikir. Adapun ruang gerak berpikir adalah dari otak sebagai alam geraknya pikiran. Otak dari sisi pembawaannya merupakan media penghubung alam nyata ke alam ghaibiyyah (alam ma'nawiyyah atau abstrak). Hal ini disebabkan otak memiliki dua kriteria, antara lain :
Pertama, Otak secara fisik terbungkus OS. Cranii (tempurung kepala) dan jika dibedah, maka otak yang awalnya tidak tampak menjadi terlihat putih. Inilah dasar otak dapat menghubungkan dengan dunia luar.
Kedua, Otak secara fungsional adalah alamnya pikiran yang lebih condong pada sifat ma'nawiyyah (abstrak). Dari sini, maka otak adalah penghubung dengan dunia-dalam yang tak tersentuh alam kasat.[2]
Otak jika ditempati zikir akan mengalami pergeseran (metamorfosa) ke alam malaikat disebabkan ia adalah satu-satunya penghubung antara manusia dengan Allah SWT dan itu hanya malaikat. Di sini zakir memasuki dimensi tak terbatas (dunia ma'nawiyyah yang bersifat baqa’/"kekal"). Wajarlah jika zikir terkadang disebut sebagai malaikat, dan otak (brain) adalah sebagai alam malaikat.[3]
Semakin jelaslah jika zikir dalam prosesnya memiliki intensitas dengan otak yang bukan hanya langsung dari energi hati dengan areanya merasakan tapi juga konsentrasinya ke wilayah otak dan syaraf-syarafnya. Keduanya terkemas menjadi proses ibadah, di mana gerak fisik dan non-fisik akan menyambung dan bersinergi dalam membentuk manusia seutuhnya yang mengenal dirinya. Pada tahap ini setahap demi setahap manusia semakin mencintai Tuhannya lewat keserasian pada-Nya dengan kenaikan kapasitas pengenalan-Nya sampai pada akhirnya zikir mampu membawa manusia ke rahmat Allah yang dinamakan dengan fana (trans-personal). Inilah sosok manusia yang sudah melewati dirinya dan bertemu Tuhan.
Zikir dalam aktualisasinya bukan sekedar ingatan/sebutan semata tapi juga sebagai kesinambungan antara manusia dengan hati dan kehadiran hatinya yang bersifat kontinyu yang bila jeda sedikit saja maka itulah hijab dan menurunkan keutamaan zikir. Imam al-Ghazali menyatakan bila zikir memiliki proses awal dan akhir. Awalnya, ia menimbulkan perasaan 'uns (kedekatan hubungan) serta cinta sedang proses akhirnya justru zikir itu ditimbulkan oleh 'uns dan cinta tersebut, serta bersumber dari keduanya.[4]


[1] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab-Indonesia, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997, Cet. Ke-14, hlm. 448.
[2] Syeikh Achmad Syakir Ibnu Muhammad, Aku, Thoriqoh dan Tasawuf, Demak-Indonesia: Tanjung Masyarakat Inti, 2001, hlm. 89.
[3] Ibid., hlm. 90.
[4] Al-Ghazaali, Rahasia Zikir dan Doa, terj. Muhammad al-Baqir, Bandung: Kharisma, 1996, Cet. Ke-5, hlm. 37-38.











No comments:

Post a Comment