Yunasril Ali menyatakan keluarga sakinah dalam perspektif al-Qur'an dan hadits adalah keluarga yang memiliki mahabbah, mawaddah, rahmah, dan amanah.[1] Menurut M. Quraish Shihab, kata sakinah terambil dari bahasa Arab yang terdiri dari huruf-huruf sin, kaf, dan nunyang mengandung makna “ketenangan” atau antonim dari kegoncangan dan pergerakan.[2]
Berbagai bentuk kata yang terdiri dari ketiga huruf tersebut kesemuanya bermuara pada makna sebagaimana telah diterangkan sebelumnya. Misalnya, rumah dinamai maskan karena ia adalah tempat untuk meraih ketenangan setelah penghuninya bergerak bahkan boleh jadi mengalami kegoncangan di luar rumah.
Menurut M. Quraish Shihab, keluarga sakinah tidak datang begitu saja, tetapi ada syarat bagi kehadirannya. Ia harus diperjuangkan, dan yang pertama lagi utama, adalah menyiapkan kalbu. Sakinah/ketenangan demikian juga mawadddah dan rahmat bersumber dari dalam kalbu, lalu terpancar ke luar dalam bentuk aktivitas. Memang, al-Qur'an menegaskan bahwa tujuan disyariatkannya pernikahan adalah untuk menggapai sakinah. Namun, itu bukan berarti bahwa setiap pernikahan otomatis melahirkan sakinah, mawaddah, dan rahmat.[3]
Pendapat M. Quraish Shihab tersebut, menunjukkan bahwa keluarga sakinah memiliki indikator sebagai berikut: Pertama, setia dengan pasangan hidup; Kedua, menepati janji; Ketiga, dapat memelihara nama baik; saling pengertian; Keempat, berpegang teguh pada agama.
Pernikahan sebagai perbuatan hukum antara suami dan isteri, bukan saja bermakna untuk merealisasikan ibadah kepada-Nya, tetapi sekaligus menimbulkan akibat hukum keperdataan di antara keduanya. Namun demikian karena tujuan perkawinan yang begitu mulia, yaitu membina keluarga bahagia, kekal, abadi berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa maka perlu diatur hak dan kewajiban suami dan istri masing-masing. Apabila hak dan kewajiban masing-masing suami dan isteri terpenuhi, maka dambaan suami isteri dalam bahtera rumah tangganya akan dapat terwujud, didasari rasa cinta dan kasih sayang.[4]
Suami dan istri adalah sama-sama bertanggung jawab atas segala sesuatu dalam hidup bersama. Kebahagiaan bagi salah satu dari keduanya adalah juga kebahagiaan bagi yang lain, dan kesusahan bagi salah satunya adalah pula kesusahan bagi yang lain. Hendaknya kerjasama antara keduanya dibangun di atas dasar cinta kasih yang tulus.
Mereka berdua bagaikan satu jiwa di dalam dua tubuh. Masing-masing mereka berusaha untuk membuat kehidupan yang lain menjadi indah dan mencintainya sampai pada taraf ia merasakan bahagia apabila yang lain merasa bahagia, merasa gembira apabila ia berhasil mendatangkan kegembiraan bagi yang lainnya. Inilah dasar kehidupan suami isteri yang berhasil dan bahagia dan juga dasar dari keluarga yang intim yang juga merupakan suasana di mana putera-puteri dapat dibina dengan budi pekerti yang mulia.[5]
Antara suami isteri dalam membina rumah tangganya agar terjalin cinta yang lestari, maka antara keduannya itu perlu menerapkan sistem keseimbangan peranan, maksudnya peranannya sebagai suami dan peranan sebagai isteri di samping juga menjalankan peranan-peranan lain sebagai tugas hidup sehari-hari.[6]
Dengan berpijak dari keterangan tersebut, jika suami isteri menerapkan aturan sebagaimana telah diterangkan, maka bukan tidak mungkin dapat terbentuknya keluarga sakinah, setidak-tidaknya bisa mendekati ke arah itu.
Keluarga sakinah adalah keluarga yang penuh dengan kecintaan dan rahmat Allah. Tidak ada satupun pasangan suami isteri yang tidak mendambakan keluarganya bahagia. Namun, tidak sedikit pasangan yang menemui kegagalan dalam perkawinan atau rumah tangganya, karena diterpa oleh ujian dan cobaan yang silih berganti. Padahal adanya keluarga bahagia atau keluarga berantakan sangat tergantung pada pasangan itu sendiri. Mereka mampu untuk membangun rumah tangga yang penuh cinta kasih dan kemesraan atau tidak. Untuk itu, keduanya harus mempunyai landasan yang kuat dalam hal ini pemahaman terhadap ajaran Islam.
[1] Yunasril Ali. 2002, Tasawuf Sebagai Terapi Derita Manusia, Jakarta: Serambi, hlm. 200
[2] M. Quraish Shihab. 2006, Perempuan, Jakarta: Lentera Hati, hlm. 136
[3] Ibid, hlm. 141
[4] Ahmad Rofiq. 2000, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, hlm. 181
[5] Abdul Aziz al-‘Arusy. 1994, Menuju Islam Yang Benar, terj. Agil Husain al-Munawwar dan Badri hasan, Semarang: Toha Putra, hlm. 160
[6] M. Ibnu Rasyid, 1989, Mahligai Perkawinan, Batang Pekalongan: CV.Bahagia, hlm. 75
No comments:
Post a Comment