MUSIK DAN TARIAN SUFI


Para sufi memiliki ekspresi kecintaan pada Ilahi yang bermacam-macam. Di antaranya yaitu dengan musik dan tarian spiritual atau tarian sufi. Musik dan tarian sufi merupakan tradisi sufi yang sangat produktif dalam teori maupun dalam prakteknya,[1] karena bertujuan langsung kepada Allah. Kelompok sufi tertentu menggunakan musik dan tarian sebagai latihan memusatkan konsentrasi dan menghilangkan kekacauan pikiran.[2]

Di antara perbedaan-perbedaan pendapat yang menjadi kebolehan musik dan tarian sufi, ada sebuah pendapat yang bersikap bijak menengahinya yaitu dari Dzun Nun sebagaimana dikutip oleh Nicholson:  
  
 “Musik adalah pengaruh surga yang mendorong hati untuk mencari Tuhan. Karenanya barang siapa yang mendengarkan (dengan baik) secara rohaniah ia tengah mendekati Tuhan. Tetapi barang siapa mendengarkan hanya untuk sensasi, maka la termasuk orang yang tidak beriman.”[3]

Dalam hal ini yang diperbolehkan hanyalah musik untuk konser spiritual yang dipraktekkan oleh perhimpunan-perhimpunan sufi.[4]

 Musik spiritual adalah pengaruh dari Ilahi yang menggerakkan hati manusia kepada Allah. Bagi mereka yang mendengarkan musik secara spiritual dan memperhatikan secara hakikat serta tidak hanya sekedar suara lahirnya  saja, maka mereka akan sampai kepada Allah yang merupakan pusat dari segala sesuatu, termasuk asal suara musik tersebut. Allah tidak hanya bisa dicapai melalui musik, dalam arti bahwa sebab mencapai Allah bukanlah musik, tetapi musik bisa dijadikan cara untuk mencapai Allah.[5]

Musik mempunyai arti penting dari sudut pandang spiritual. Membaca al-Qur'an pun merupakan musik yang tradisional.[6] Bahkan setiap getaran yang menimbulkan suara disebut musik.[7]

Irama musik akan berpengaruh pada jiwa seseorang, tepatnya pada debar jantung seseorang.[8] Dengan demikian dapat menjadi sebuah penenang jiwa. Seperti halnya binatang kijang yang menjadi lebih tenang ketika mendengarkan musik dari si pemburu, apalagi manusia yang mempunyai perasaan dan akal pikiran.[9]

 Karena pada dasarnya setiap makhluk memiliki jiwa, maka memiliki kecenderungan untuk merasakan alunan musik spiritual.[10] Oleh karena itulah musik banyak dimanfaatkan oleh kaum sufi sebagai medium untuk membangkitkan dan menguatkan kecintaan mereka  kepada Allah,[11] karena di dalam tasawuf, musik berfungsi menyejukkan batin para sufi yang sedang melaksanakan perjalanan spiritualnya.[12]

Seperti halnya musik, tarian spiritual atau tarian  sufi pun memiliki tujuan yang sama, karena keduanya nantinya akan saling mengiringi. Tarian sufi adalah suatu ritual keagamaan yang paling tua, karena hal ini dilakukan di dunia Islam pada zaman awal.[13]

Dasar tarian sufi yang dipraktekkan juga terletak pada pergerakan nafas dalam mengucapkan kata-kata  suci dalam dzikir sufi.  Di mana irama nafas ini menjadikan tubuh bergerak secara otomatis,[14] seperti halnya  sebuah tarian yang ringan.

Oleh karena itu selama pertunjukan tarian, para darwis menghindari ekspresi-ekspresi yang kesannya dibuat-buat. Dengan demikian hendaknya ekspresi itu terjadi dalam ketidaksadaran bahkan mencapai  ekstase, hai ini diperbolehkan bagi kalangan fuqara' yang telah menolak kehidupan yang bersifat duniawi. Gerakan-gerakan ini untuk merespon panggilan batin.[15]

Pada dasarnya, tarian secara fisik tidak ada dalam syariat maupun dalam tasawuf. Tetapi bukan hanya sebatas itu  kita memahami tentang tarian. Selama tarian itu bernilai secara lahir, yaitu gerak jasad yang penuh dengan kesenangan duniawi saja, maka semua itu akan sia-sia dan bahkan dilarang dalam agama.

Tetapi lain halnya jika tarian itu dapat mempunyai nilai yang lebih dalam lagi, dalam hal ini tasawuf mengajarkan tarian sufi untuk mencapai  ekstase. Hal ini berhubungan dengan jiwa seseorang yang mana tarian dilaksanakan untuk bisa merasakan kehadiran Allah SWT, dalam dzauq atau perasaan yang dimiliki.[16]

Dalam hal ekstase, Junaid mengungkapkan dalam sebuah syair yang dikutip oleh Nasr :

"Ekstaseku adalah ketika aku memindah diriku dari eksistensi melalui anugerah dari Dia yang menunjukkan padaku kehadiran.”[17]

Dari uraian di atas, jelas bahwa antara musik dan tarian spiritual adalah sebagai bagian dan ritual ketaatan para sufi yaitu sebagai cara berdzikir kepada Allah SWT.[18]

Sama' ini mempunyai kekuatan yang berasal dari manifestasi Allah SWT. Karena pada awalnya, jiwa manusia bersatu dengan jiwa Universal, yaitu Allah SWT. Kemudian musik berfungsi di dalam hati untuk dirasakan, sebagai pembangkit atas jiwa yang terperangkap dalam ikatan kehidupan duniawi.[19] Seperti disebutkan dalam al-Qur’an surat Al-A’raf : 172 :

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari Sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka {seraya berfirman) : "Bukankah Aku in Tuhanmu ?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan : "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah, terhadap ini ( Keesaan Tuhan )."[20]

Perjanjian awal itulah yang dibangkitkan oleh musik dalam hati yang terperangkap dalam ikatan duniawi.[21] Karena bagi sama', hati haruslah hidup dan nafsu haruslah mati,[22] mengingat bahwa sama' sebagai praktek pelepasan kegelisahan duniawi dan untuk membuka hati yang bertujuan untuk mensucikan jiwa. Perlu juga ditegaskan bahwa konser spiritual ini bukan hanya sebagai hiburan yang menarik, tetapi ditujukan untuk Allah.[23]

Dari banyak sufi, Jalaluddin Rumi adalah satu sosok yang mampu mencapai ekstase luar biasa. Beliau selalu mengidentikkan suara-suara berirama yang didengar nya sebagai musik. Lalu akan didengarkan seperti mendengarkan asma-asma Allah dalam setiap hembusan nafasnya. Seperti suara denting palu seorang pandai di pasar pun dapat membuat al-Rumi bergerak spontan untuk melakukan tarian berputarnya selama berjam jam.[24]

 Dalam suatu riwayat, Qadhi Izzuddin, seorang yang tidak suka musik dan tarian, suatu hari didatangi al-Rumi dan disuruh masuk ke madrasah al-Rumi dengan tarian spiritual sedang dilakukan oleh para darwis di dalamnya. Kemudian al-Rumi berkata bahwa majelis suci itu sangat sesuai dengan kondisinya yang tidak berada dalam pengalaman spiritual. Lalu Qadhi pun dipenuhi dengan spiritualitas yang kuat dan ikut melantunkan kidung spiritual seperti murid-murid al-Rumi yang ada di dalam majelis itu.[25]

Memang terasa janggal jika kita hanya memandang  musik dan tarian sufi sebatas pengertian secara lahir saja. Menurut Imam Ghazali, seperti yang dikutip oleh C. Ramli Bihar Anwar yang berjudul "Bertasawuf Tanpa Tarekat", bahwa secara kondisional sesuai dengan keadaan seorang yang mengamalkannya, musik dan tarian ini bisa menjadi lebih ampuh untuk menyibak hati manusia dalam hal mencapai ekstase dibandingkan dengan al-Qur'an sekalipun.

Tetapi perlu dijelaskan bahwa hal ini hanya berlaku bagi orang-orang pilihan saja. Semakin orang itu akrab dengan al-Qur'an, maka dia akan lebih terbiasa dan akhirnya menyebabkan daya rohani al-Qur'an terkadang terasa berkurang. Lain halnya jika orang awam yang mendengarkan al-Qur'an, selama mempunyai motivasi membuka hati dan dengan anugerah Allah SWT. tentunya,  maka hatinya akan tersentuh oleh gema al-Qur'an.

Sepertinya juga dicontohkan oleh Abu Bakar, ketika orang Arab Badui mendengar bacaan al-Qur'an untuk pertama kalinya, mereka sangat tersentuh. Kemudian Abu Bakar berkata bahwa dahulu beliau juga seperti itu, tetapi sekarang hatinya sudah mengeras. Demikian halnya orang yang pertama kali melaksanakan haji, mereka akan merasa takjub dengan melihat langsung kota suci itu. Tetapi lain dengan orang Arab yang tinggal di situ, mereka telah terbiasa dengan suasana dan keadaan kota itu sehingga tidak lagi merasa takjub. Beberapa hal inilah yang melatarbelakangi para sufi mengembangkan konser spiritual yang menggunakan musik dan tarian sebagai penunjang bagi kehidupan keagamaan mereka.[26]




[1] Seyyed Hossein Nasr, (Editor), Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam Manifestasi, terj. Tim Penerjemah Mizan, Mizan, Bandung, 2003,  hlm. 600-601
[2] William C. Chittick,  Jalan Cinta Sang Sufi; Ajaran-Ajaran Spiritual Jalaluddin Rumi, terj. M. Sadat Ismail dan Achmad Nidjam, Qalam, Yogyakarta, 2001, hlm. 503
[3] Reynold A. Nicholson,  Aspek Rohaniah Peribadatan Islam di dalam Mencari Keridlaan Allah, terj. A. Nashir Budiman, Edisi I, PT. Raja Grafindo, Jakarta, 1995, hlm. 63
[4] Seyyed Hossein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, terj. A. Nashir Budiman, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1985, hlm. 13-14
[5] Ibnu Usman Al-HUjwiri, Kasyf Al-Mahjub; Menyelami Samudra Tasawuf, terj. Ahmad Afandi. Pustaka Sufi, Yogyakarta, 2003, hlm. 475
[6] Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, terj. Drs. Sutejo, Mizan, Bandung, 1994, hlm. 165
[7] Abdul Muhayya, Bersufi Melalui Musik; Sebuah Pembelaan Musik Sufi oleh Ahmad Ghazali, Gama Media, Yogyakarta, 2003, hlm. 29
[8] Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam Manifestasi, op. cit., hlm. 614
[9] Ibnu Usman Al-Hujwiri, Kasyf Al-Mahjub; Menyelami Samudra Tasawuf, terj. Ahmad Afandi. Pustaka Sufi, Yogyakarta, 2003, hlm. 471
[10] Seyyed Hossein Nasr, dkk., Spiritualitas dan Seni Islam, op. cit., hlm. 169
[11] Abdul Muhayya, op. cit., hlm. 34
[12] Ibid., hlm. 32
[13] Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono, dkk., Pustaka Firdaus, Jakarta, 2000, hlm. 227
[14] Titus Burckhardt, Mengenal Ajaran Kaum Sufi, terj.Azyumardi Azra dan Bachtiar Effendi, PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, 1984, hlm. 142
[15] Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam Manifestasi, op. cit. hlm. 607-608
[16] Ibnu Usman Al-Hujwiri, op.cit., hlm. 489
[17] Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam Manifestasi, op. cit., hlm. 609
[18] Seyyed Hossein Nasr, dkk., Warisan  Sufi,  terj.  Gafna  Razha Wahyudi, Pustaka Sufi, 2002, hlm. 121
[19] Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Islam Manifestasi, op. cit., hlm. 608-609
[20] Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah, Al-Qur’an dan Terjemah, Depag, 1986, hlm. 250
[21] Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis  Spiritualitas Islam Manifestasi, op. cit., hlm. 609
[22] Seyyed Hossein Nasr, dkk., Wrisan Sufi, op. cit., hlm. 155
[23] Syaikh Fadhlalla Haeri, Jenjang-Jenjang Sufisme, terj. Ibnu Burdah dan Shohifullah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hlm. 119
[24] Mojdeh Bayat, Mohammad Ali Jamnia,  Para Sufi Agung; Kisah dan Legenda, terj. Erna Novana, Pustaka Sufi, 2003, hlm. 147-148
[25] Idries Shah, Butiran Mutiara Hikmah, terj. Ilyas Hasan, Lentera, Jakarta, 2002, hlm. 52
[26] C. Ramli Bihar Anwar, Bertasawuf tanpa Tarekat, Hikmah dan Iiman, Jakarta, 2002, hlm. 89-90

UNSUR ESTETIKA DALAM TARIAN SPIRITUAL


Estetika berarti hal mengenai keindahan, tentang apresiasi keindahan yang meliputi alam, seni dan sastra yang merupakan penilaian terhadap keindahan.[1] Dalam ibadah yang dilakukan oleh kaum sufi, unsur estetika merupakan hal yang penting, seperti pendapat Schimmel yang dikutip oleh Fritz Meier :

"Sama' (tarian musikal sakral) membuka pintu gerbang surga karena itu sama’ menjadi salah satu aspek terpenting bahkan dapat dikatakan poros, dari syair al-Rumi.”[2]

Sama’ merupakan seni, dan seni adalah basis dan sebab dari cinta. Karena perasaan cinta itulah yang mengantarkan semua hal menuju kepada puncak keindahan yang juga merupakan kesempurnaan abadi yaitu Allah SWT. Menurut lbnu Arabi, seperti yang dikutip oleh A. E. Affifi, bahwa kita hendaknya mencintai Allah karena Dia itu indah. Dan Allah mencintai kita sebagai manusia dan juga mencintai semua ciptaannya karena Dia  mencintai keindahan.

Dalam arti bahwa semua ciptaan Allah adalah sebuah bentuk, balk yang abstrak misalnya sifat-sifat, maupun bentuk rill seperti  manusia. Keduanya mencerminkan wujud. Dan pada dasarnya semua wujud atau ciptaan adalah seni, dan seni adalah keindahan.[3]

Para sufi bisa dikatakan sebagai pengolah seni, karena dengan jalan bertasawuf mereka akan menjadi lebih sadar akan keindahan Ilahi dengan menciptakan karya-karya seni yang indah sesuai dengan keindahan kodrat penciptaannya sendiri dan juga sesuai dengan norma-norma seni yang sesungguhnya, dengan memancarkan keindahan Sang Seniman Agung, Allah SWT.[4]

Praktek-praktek tasawuf dalam tradisinya yang mengandung aspek Ilahiah telah menjadikan suasana kehidupan rohani para sufi memancarkan keindahan. Karena Islam sendiri menyebut tasawuf sebagai keindahan, sehingga karya-karyanya pun merupakan karya yang indah dan berbobot, di antaranya berupa musik dan tarian spiritual.[5]

Irama musik dapat memanggil hati  manusia, untuk menyerahkan jiwanya sepenuhnya pada Sang Pencipta segala sesuatu, termasuk pencipta indahnya irama musik yang terdengar, yaitu Allah SWT. Karena sebenarnya irama musik yang selaras itu adalah aspek  keagungan Allah, dan aspek yang lain yaitu aspek keindahan yang berada dalam melodi musik tesebut.[6]

Hal ini dimaksudkan untuk memperingatkan manusia dalam hubungannya dengan Allah Yang Maha Indah melalui perasaan dan gerak hati yang mendalam pada jiwa seseorang.[7]

 Hal ini bisa dikatakan bahwa mendengarkan musik, adalah pengaruh Ketuhanan yang menggerakkan hati untuk melihat Allah. Mereka yang mendengarkan secara spiritual akan sampai pada Allah, dan mereka yang mendengakan secara sensual akan jatuh ke dalam kesesatan.[8]

Sehubungan dengan hal di atas, menurut Al-Qusyayri sebagaimana yang dikutip oleh Seyyed Hossein Nasr menyatakan bahwa musik dalam nyanyian bisa dilagukan dengan suara yang indah selama penyanyi itu tidak memiliki hawa nafsu yang hanya bersifat kesenangan yang dilarang agama. Dan dalam hal ini penyanyi hendaknya memiliki niat untuk pelaksanaan ibadah, sehingga musik dan nyanyian memiliki makna yang tepat.[9]

Seperti halnya musik, tarian spiritual pun demikian. Tarian musikal yang bernuansa  estetis ini melambangkan penyatuan spiritual antara sang Sufi dengan Allah SWT, dan merupakan cara untuk mencapai kesempurnaan tertinggi dalam pengalaman spiritual.[10]

Pada zaman kuno para pengarang memandang tarian sebagai gerakan dewa-dewi atau gerakan bintang di langit.  Sedangkan pada zaman pertengahan kadang-kadang dipandang sebagai tarian kebahagiaan abadi, seperti yang digambarkan sangat indah dalam lukisan-lukisan. Keindahan ini juga dilambangkan oleh Ruzbihan dalam kutipan Schimmel, sebagai penggemar sama'. Menurutnya, untuk mendapatkan kenikmatan rohani diperlukan tiga hal yang bersifat indah, yaitu bau-bauan harum, wajah cantik dan suara merdu.[11]

Sedangkan Jalaluddin Rumi yang mengembangkan tarian spiritual dengan iringan musik dalam Tarekat Maulawiyahnya[12] menggunakan citra yang luar biasa dalam menggambarkan keindahan dan  kekuatan tarian spiritual. Dia menggambarkan gerakan-gerakan ini didorong oleh kekuatan Kekasih yang melihat pencinta, sehingga pada waktu ekstase memungkinkan Allah hadir dalam hati pencinta.[13]

Indah berasal dari Yang Maha Indah, Allah SWT, karena indah adalah salah satu sifat-Nya. Meskipun kita tidak dapat melihat-Nya, tetapi kita bisa melihat dan merasakan indah melalui mata dan telinga, yaitu dengan menikmati musik dan tarian sufi sebagai seni. Oleh karena itu antara keindahan dan tasawuf memiliki hubungan sangat erat., sebab seni dan tasawuf sama-sama merupakan keindahan.[14]




[1] Bidang Perkamusan dan Peristilahan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi I, Balai Pustaka, Jakarta,1998, 236
[2] Fritz Meier, Sufisme Merambah ke Dunia Mistik Islam, terj. Sunarto, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm. 113
[3] A. E. Affifi, Filsafat Mistik Ibnu Arabi, terj. Sjahrir Mawi dan Nandi Rahman, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1989, hlm. 238-239
[4] Seyyed Hossein Nasr,  Tasawuf Dulu dan Sekarang, terj. A. Nashir Budiman, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1985, hlm. 14
[5] Ibid., hlm. 12-13
[6] Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam Manifestasi, terj. Tim Penerjemah Mizan, Mizan, Bandung, 2003, hlm. 609
[7] Imam Ghazali,  Mutiara ihya Ulumuddin, terj. H. Rus’an, Wicaksana, Semarang, 1984, hlm. 315
[8] Seyyed Hossein Nasr, Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam Manifestasi, op. cit., hlm. 598
[9] Seyyed Hossein Nasr, dkk., Warisan Sufi, terj. Gafna Raiza Wahyudi, Yogyakarta, 2002, hlm. 152
[10] Fritz Meier, op. cit., hlm. 112
[11] Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono, dkk., Pustaka Firdaus, Jakarta, 2000, hlm. 231
[12] Fritz Meier, op. cit., hlm. 110
[13] Annemarie Schimmel, Dimensi Mistik dalam Islam, op. cit., hlm. 234
[14] Fritz Meier, op. cit., hlm. 114

TARIAN SPIRITUAL


Di dalam tasawuf banyak sekali pengertian yang digunakan untuk memaknai tarian spiritual. Secara etimologi, dua kata ini tidak tepat jika diartikan secara terpisah. Karena antara kata tarian dan spiritual memiliki arti yang berlawanan. Tarian berarti gerakan badan yang berirama dan diiringi dengan musik.[1] Sedangkan spiritual berarti kejiwaan, rohani, batin, mental, moral[2] yang non materiil.[3]

 Jadi akan lebih tepat  jika diberi pengertian secara tergabung, yang mana tarian spiritual berarti gerakan badan yang berirama dan mempunyai makna yang bersifat rohani. Secara terminologi, tarian spiritual adalah tarian yang dilakukan oleh kaum sufi yang merupakan salah satu bentuk praktek dalam tasawuf yang disebut juga tarian dzikir,[4] karena mengiringi dzikir yang dilakukan oleh kaum sufi.[5]

Seperti telah disinggung di atas, bahwa tarian spiritual memiliki banyak sekali istilah dan pengertian yang semakna. Meskipun tarian ini dalam bahasa Arab disebut raqsh, tapi tarian spiritual kebanyakan tidak memakai kata tersebut, karena bermaksud untuk menghindari campur aduk  antara tarian spiritual dengan bentuk-bentuk tarian hiburan yang bersifat kesenangan dan dunia saja. Oleh karena itu, tarian spiritual biasa disebut sama’[6] yang juga berarti untuk keseluruhan dalam konser spiritual, termasuk musik dan nyanyian yang dilantunkan.[7]

Tarian spiritual adalah suatu ekspresi para darwis[8] yang mempunyai keinginan untuk menyerahkan diri kepada Allah SWT.[9]  Karena itulah gerakan-gerakan tarian ini merupakan jalan mengantarkan penari dalam berkonsentrasi kepada Allah,[10] yaitu sebagai upaya untuk menyatu dengan pengalaman spiritual.

Tarian ini telah dilakukan oleh banyak tarekat sufi, tetapi al-Rumi menjadikan tarian sakral ini sebagai ciri khas dalam tarekatnya.[11] Hal ini karena tarian spiritual memiliki gerakan yang khas dan mengandung makna-makna tertentu sehingga di antara Tarekat-tarekat yang lain, yang paling masyhur dengan tarian spiritual hanyalah tarekat yang didirikan oleh Jalaluddin Rumi yaitu Tarekat Maulawiyah.[12]

Tarian sufi dalam Tarekat Maulawiyah merupakan karya agung yang selama beberapa abad menyebarkan nafas spiritual dan terus menyuburkan kehidupan spiritual kaum muslim, bahkan yang bukan muslim sekalipun,[13] karena dalam pelaksanaannya, tarian ini dilakukan dalam pertemuan beragama.[14]

Jika pelakunya adalah orang Kristen, maka akan dapat menjadi orang Kristen yang sempurna dan jika pelakunya adalah orang muslim, maka akan menjadi Muslim yang sempurna pula, mengingat tujuan utamanya adalah untuk kesempurnaan.[15]

Sama’ disebut juga konser spiritual, yaitu konser yang menggunakan musik dan tarian sebagai penunjang kehidupan keagamaan para sufi yang melaksanakan.[16] Dari konser inilah penonton dapat menyaksikan bahkan ikut  merasakan betapa eksotik[17] tarian ini. Tarian ini dalam Tarekat Maulawiyah sering disebut sebagai tarian berputar yang diiringi oleh musik,[18] sebagai ritual para darwis.[19]

Kaum sufi menjadikan tarian dan gerakan sebagai cara untuk mengungkapkan perasaan cintanya kepada Allah SWT.[20] selama rasa cinta itu ada. Tetapi jika dalam hati yang ada hanya nafsu, maka tarian ini pun hanya akan mengumbar nafsu belaka. Oleh karena itu tradisi sufi ini harus sepenuhnya dilakukan oleh para darwis yang terbebas dari nafsu-nafsu duniawi, sehingga tidak sembarang orang bisa ikut dalam pelaksanaan tarian ini.[21]

Latihan para darwis ini merupakan usaha dalam mencapai suatu cita dalam merasakan lebih dalam tentang keagungan Allah, dan juga agar bisa merasakan kehadiran-Nya dalam setiap gerak, tempat dan waktu.[22] Oleh karena itu disebut juga pembuka jiwa, untuk meningkatkan kesadaran akan kehadiran Allah SWT.[23] Maka tarian ini pun dapat dimaknai sebagai gerak jiwa manusia dalam mendekati Allah.[24] Oleh karena ditujukan hanya untuk Allah, maka rasa berserah diri kepada Allah akan membawa ketenangan pada jiwa seseorang.

Tarian spiritual adalah bagian dari praktek melepaskan segala kegelisahan duniawi,[25] yaitu kondisi kejiwaan yang sedang terguncang dan mempunyai emosi tertentu. Hal ini dapat diatasi dengan dzikir, memuji dan menyerahkan diri kepada Allah SWT.[26] Bahkan tarian ini juga sebagai cara untuk mencapai kesadaran ekstatik[27] dalam penyatuan dengan Allah SWT.[28]




[1] Abdurrahman al-Baghdadi,  Seni dalam Pandangan Islam; Seni Vokal, Musik dan Tari, terj. Islisyah Asman dan Rahmat Kurnia, Gema Insani Press, Jakarta, 1991, hlm. 85
[2] Bidang Perkamusan dan Peristilahan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi I, Balai Pustaka, Jakarta,1998, hlm. 857
[3] Pius A. Partanto, M. Dahlan Al-Barry,  Kamus Ilmiyah Populer, Arkola, Surabaya, 1994,    hlm. 721
[4] Titus Burckhardt,  Mengenal Ajaran Kaum Sufi, terj.Azyumardi Azra dan Bachtiar Effendi, PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, 1984, hlm. 143
[5] William C. Chittick, Tassawuf  Di Mata Kaum Sufi, terj. Zaimul Am, Mizan, Bandung, 2002, hlm. 143
[6] Sama’ secara harfiah berarti pendengaran, tetapi istilah ini juga mengacu pada setiap tradisi sufi yang berkaitan dengan musik dan nyanyian, termasuk tarian. Lihat Jalaluddin Rumi, Jalan Menuju Cinta, terj. Asih Ratnawati, Terompah, Yogyakarta, 2000, hlm. 248
[7] Seyyed Hossein Nasr, ( Editor ), Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam Manifestasi, terj. Tim Penerjemah Mizan, Mizan, Bandung, 2003, hlm. 622
[8] Darwis adalah seseorang yang mengikuti suatu aliran spiritual di bawah bimbingan seorang guru besar spiritual. Lihat Jalaluddin Rumi, op. cit., hlm. 244
[9] Seyyed Hossein Nasr, op. cit., hlm. 625
[10] Martin Lings, Ada Apa dengan Sufi, terj. Achmad Maimun, Pustaka Sufi, Yogyakarta, 2004, hlm. 109
[11] Mulyadi Kartanegara,  Jalaluddin Guru Sufi dan Penyair Agung, Teraju, Jakarta, 2004,  hlm. 15
[12] Carl W. Ernst,  Ajaran dan Amaliyah Tasawuf, terj. Arif Anwar, Pustaka Sufi, Yogyakarta, 2003, hlm. 238
[13] Seyyed Hossein Nasr, Spiritualitas dan Seni Islam, terj. Drs. Sutejo, Mizan, Bandung, 1994, hlm. 127
[14] Martin Lings, op., cit., hlm. 108
[15] Kabir Helminski, Hati yang Bermakrifat, terj. Abdullah Ali, Pustaka Hidayah, Bandung, 2002, hlm. 35
[16] C. Ramli Bihar Anwar, Bertasawuf tanpa Tarekat, Hikmah dan Iiman, Jakarta, 2002, hlm. 90
[17] Eksotik  yaitu bergaya asing, luar biasa, istimewa, aneh. Lihat Bidang Perkamusan dan Peristilahan, op. cit., hlm. 221
[18] Annemarie Schimmel, Dunia Rumi; Hidup dan Karya Penyair Besar Sufi, terj. Saut Pasaribu, Pustaka Sufi, Yogyakarta, 2002, hlm. 44
[19] Mulyadi Kartanegara, ibid
[20] William C. Chittick, op. cit., hlm. 145
[21] C. Ramli Bihar Anwar, op. cit., hlm. 91-92
[22] A. J. Arberry, Pasang Surut Tasawuf, terj. Bambang Herawan, Mizan, Bandung, 1985, hlm. 118-119
[23] Syaikh Fadhalla Haeri, Jenjang-Jenjang Sufisme, terj. Ibnu Burdah dan Shohifullah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hlm. 116
[24] Annemarie Schimmel,  Dimensi Mistik dalam Islam, terj. Sapardi Djoko Damono dkk., Pustaka Firdaus, Jakarta, 2000, hlm. 232
[25] Syaikh Fadhlalla Haeri, op. cit., hlm. 119
[26] Idries Shah, Butiran Mutiara Hikmah, terj. Ilyas Hasan, Lentera, Jakarta, 2002, hlm. 52
[27] Ekstatik berarti mendalam, yang disebabkan oleh cinta pada Ilahi. Lihat Fathullah Gullen, Kunci-Kunci Rahasia Sufi, Cet. I, terj. Tri Wibowo Budi Santoso, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 237
[28] Leslie Winnes, Menari Menghampiri Tuhan; Biografi Spiritual Rumi, terj. Sugeng Hariyanto, PT. Mizan Pustaka, Bandung 2001, hlm. 21